Kami biasanya pergi ke lapangan basket. Iseng melihat-lihat beberapa orang yang sedang latihan. Sambil tentunya ngobrol tak penting dalam waktu cukup lama.
Suatu hari teman semasa SMP kami, muncul. Namanya Susan. Ia membawa serta temannya dari SMU swasta. Celakanya, saya justru merasa senang. Serasa reuni kecil, bisa bertemu teman yang sudah terpisah dua tahun.
Beberapa kali "geng jalan-jalan" menerima undangan mampir ke sekolah Susan, yang jaraknya lumayan jauh. Bukan apa-apa. Sekedar membunuh waktu, dan nongkrong tak jelas.
Ongkos naik angkutan umum (taksi) pun diabaikan. Bukannya langsung pulang ke rumah, saat ada pengumuman guru sedang rapat. Kami justru berkeliaran tak tentu tujuan.
Sahabat Kompasianer, kelihatan yaa, masa putih abu-abu itu masa yang rentan. Kebiasaan tak bermanfaat, dilakoni begitu saja.Â
Bahkan, saya yang sangat suka membaca buku pada awalnya, terpengaruh untuk menghabiskan waktu di jalan. Lupa pulang ke rumah.Â
Tak terlintas dalam benak pada saat itu bahwa orang tua akan merasa khawatir. Mereka menunggu anak gadisnya dengan hati gelisah. Mau menelepon, pada saat itu belum zaman handphone. Masih zaman telepon fleksi dan wartel. Hehee.
Sahabat Kompasianer, apakah yang sebaiknya dilakukan pihak orang tua saat mempunyai anak remaja yang labil dan mudah mendapatkan pengaruh dari teman-temannya?
Berikut tips mendampingi remaja labil:
1. Bekali dengan ilmu agama dan moral sejak dini. Apa yang diberikan di masa kanak-kanak, akan tercermin saat mereka tumbuh dewasa. Membentuk kepribadian adalah sebuah proses, bukan sim salabim. Jadi, bekal ilmu agama serta moral harus diberikan secara bertahap, sejak dini.
2. Tempatkan anak dalam lingkungan yang sehat. Misalnya keluarga yang penuh kasih sayang, mempunyai kebiasaan baik, komunikatif, terbuka dan mengayomi. Serta eman-teman yang berkegiatan positip, kreatif, dan ceria. Hindarkan anak dari mantan pencandu, penjudi aktif, residivis dan seterusnya.