Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kegagalan Itu Tempatnya di Masa Lalu

25 April 2021   06:23 Diperbarui: 25 April 2021   06:26 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meninggalkan kampung halaman (dokpri)

Pada hari ke sepuluh ramadhan, suami mengajak berkeliling kota di saat menjelang waktu berbuka puasa, atau ngabuburit. Dengan kendaraan roda dua, kami menyusuri jalan-jalan kota yang relatif sepi. Waktu baru menunjukkan pukul 16.30 saat itu.

Sambil melewati bangunan pertokoan, mesjid dan rumah-rumah penduduk, saya sengaja membidik dengan kamera ponsel. Belakangan saya memang keranjingan meng-capture apa saja. Malah sengaja ikut grup foto di laman media sosial. 

Gumpalan awan sore yang cerah (dokpri)
Gumpalan awan sore yang cerah (dokpri)

Sungguh bersyukur saat itu, berkesempatan menikmati langit sore yang cerah. Apalagi selama beberapa bulan, suami sibuk dengan pekerjaannya. Barulah sekitar dua minggu terakhir, dapat mengajak saya jalan-jalan santai. Dan ini yang ketiga kali.

Saat memasuki jalan Perjuangan-dekat kampus universitas Mulawarman, hati saya seperti dibawa bernostalgia. 

Sudah lama saya tidak melewatinya. Selain itu, ada kenangan kegagalan yang masih saya ingat.

Saya melihat jembatan gantung yang dulu dibuat dari jalinan kayu ulin (endemik Kalimantan Timur), kini sudah berganti jembatan besar yang kokoh. 

Aliran air di bawahnya yang mengarah ke waduk Benanga, tampak  dalam proses pengerukan. Sebuah eskapator, terlihat parkir meneguhkan opini di hati.

Matahari sore semakin tergelincir. Situasi jalan pun berubah ramai. Sebagiannya adalah para pekerja yang baru saja pulang, sebagian lagi para pemburu takjil yang berpacu dengan sisa waktu. 

Saya bersiap membidik gedung yang sudah terlihat dari kejauhan. Gedung ini, adalah tempat kegagalan saya pernah bersemayam. 

Sebuah ojol datang dari arah belakang. Ia mempertahankan kecepatan kendaraan, saat berada di sisi belakang kendaraan kami. 

Beberapa saat sebelumnya, suami sempat mengingatkan kemungkinan jambret handphone. Sekalipun tak terbiasa mendengar kejahatan seperti itu di Samarinda, tapi kami sering melihat contoh di televisi.

Rupanya suami sangat waspada. Tiba-tiba wajahnya menengok ke belakang menatap tajam dengan pandangan tak suka. Ojol pun menambah kecepatan dan melesat. Saya pun buru-buru menyudahi kegiatan saya.

Gambar yang saya ambil, adalah gedung 27 September, tempat dilaksanakannya ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN) universitas Mulawarman setiap tahunnya. 

Di sanalah, dua puluh satu tahun yang lalu, angan-angan saya menjadi mahasiswa terkubur. Saya gagal.

Tahun 1999 dan 2000 adalah saat saya mendapatkan kegagalan yang tidak mudah. Sebanyak dua kali saya mencoba, sebanyak itu pula saya tertolak masuk.

Sebenarnya, ada banyak kampus swasta di sini. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) pun ada. Tapi saya hanya punya satu kampus idaman, Universitas  Negeri Mulawarman yang bergengsi.

Apakah saya kecewa?

Ya, bahkan saya sangat terpukul. Sempat tidak ingin makan sehari-dua hari. Sempat tidak ingin pulang ke rumah, setelah mengambil koran pengumuman nama-nama yang lolos.

Demikianlah, sekelumit kisah kegagalan saya.

Kegagalan adalah tidak adanya persesuaian angan, cita-cita, rencana serta niat dengan kenyataan yang datang. Tapi bagi saya, kegagalan itu tempatnya di masa lalu. 

Selanjutnya, kita akan mempunyai hati yang baru, kekuatan yang baru serta semangat yang baru untuk menjalani takdir hidup kita yang lain.

Bisa saja takdir yang tidak kita angankan, tidak dicita-citakan, justru takdir yang sangat menarik dan sangat kita syukuri di kemudian hari.

Dua puluh satu tahun, waktu yang saya butuhkan untuk sampai pada level bersyukur seperti sekarang. Waktu yang panjang tersebut, telah menyembuhkan kekecewaan bahkan luka yang tidak terlihat mata.

Pembaca yang budiman, apakah yang sebaiknya dilakukan saat kita mendapatkan kegagalan seperti tersebut? 

Berikut tips move on dari kegagalan ala saya:

1. Berdamai dengan keadaan

Saat saya berjam-jam menunda pulang ke rumah, duduk sendirian di gazebo halaman perpustakaan umum kota, yang terpikir adalah bagaimana mengatakan hal ini kepada orang tua?

Apakah rasa kecewa harus menciptakan masalah baru, dengan membuat panik orang tua saat anak gadisnya tak pulang?

Bukankah ribuan peserta ujian masuk saat itu, yang terjaring hanya beberapa ratus orang saja. Lalu sikap apa yang mereka ambil saat ini? Mungkin saja mereka akan beralih ke kampus-kampus pilihan lainnya. Lalu saya akan begini terus?

2. Mencari udara segar

Meninggalkan kampung halaman (dokpri)
Meninggalkan kampung halaman (dokpri)

Sore hari, saya memutuskan pulang ke rumah, tentu dengan kondisi lesu dan tidak bersemangat.

Akhirnya, saya merencanakan perjalanan ke luar Kalimantan, nekad seorang diri saja.

Di kota tujuan, saya menghidupi diri dari hasil bekerja. Sesekali saya mengirim surat kepada orang tua sebagai pelepas rindu. 

Saat itu masih zaman wartel. Sempat juga melakukan panggilan interlokal, tapi lebih banyak berkabar melalui surat.

Dengan berada di perantauan, sedikit banyak perasaan saya teralihkan. Banyak hal menarik dari kehidupan penduduk lokal yang saya pelajari. 

Sesuai rencana, saya kembali ke kampung halaman setahun kemudian. Di atas kapal PELNI yang membawa saya selama sebelas jam, air mata kesedihan mengalir bersama pertanyaan: kapan saya akan kembali ke kota itu lagi?

3. Buat fokus baru

Ibu saya, adalah orang paling terpukul saat saya meninggalkan rumah setelah kegagalan itu.

Demi menghibur dan menyenangkan hati saya, ibu mengganti mesin ketik yang biasa saya gunakan untuk belajar menulis cerpen, dengan komputer bekas yang dibeli dari hasil menabung beberapa lama.

Inilah fokus baru saya. Selama berjam-jam sejak pagi, saya menulis khayalan-khayalan tentang hidup yang damai, tentang cinta yang lembut, dan kebahagiaan yang murni.

4. Kegagalan membuat saya kuat

Setiap kali saya selesai menulis cerita fiksi, saya berjalan kaki menuju kantor pos yang berjarak sekitar 200 meter dari rumah. Saya menempelkan perangko dan menyerahkan kepada petugas.

Majalah remaja dan buku-buku, saat itu menjadi sumber ilmu sekaligus hiburan.

Tapi lagi-lagi Dewi Fortuna belum berpihak pada saya. Sekian banyak cerpen yang saya kirimkan, tidak satu pun yang dianggap memenuhi kriteria redaksi.

Justru saya tidak kecewa. Naskah cerita yang di-retour, saya simpan dengan baik hingga bertahun-tahun kemudian. Jiwa saya telah menjadi kuat, kalau hanya untuk merasa kecewa.

5. Menanamkan keyakinan

Tahun-tahun berlalu. Suatu hari saya hengkang lagi dari kampung halaman, menuju kota yang lebih kecil dari sebelumnya. Kali ini berjarak hampir 20 jam dengan kecepatan kapal PELNI. 

Saya telah berubah, dari kegagalan yang dulu. Sama sekali tidak terobsesi untuk menjadi mahasiswa atau sarjana. Biarlah jika Allah menganggap hal tersebut tidak baik untuk saya. Saya pasti mempunyai takdir lain yang jauh lebih baik.

Pembaca yang budiman, demikian kisah pengalaman saya, bagaimana kegagalan pernah menghampiri saya.

Seperti perjalanan ngabuburit bersama suami yang dimulai pada saat cuaca sedang cerah, namun saat kami mengarah pulang ke rumah, langit kian redup dan lampu-lampu kendaraan mulai menyala.

Langit kian redup, lampu-lampu kendaraan mulai menyala (dokpri)
Langit kian redup, lampu-lampu kendaraan mulai menyala (dokpri)

Setiap perjalanan pasti menemukan entah kelokan, tanjakan dan turunan. Terkadang menemukan jalan yang rusak, berlubang bahkan kemacetan lalu lintas. 

Inti dari seluruh perjalanan itu, bagaimana kita bisa merasa bahagia dan bersyukur. Bisa pulang ke rumah dan bertemu dengan anak-anak yang menanti. Bisa memeluk mereka kembali, dan mungkin akan mendidik mereka dari kegagalan orang tuanya. Mendampingi mereka untuk mendapatkan keberhasilan.

Semoga ya, Sahabat.

Samarinda, 25 April 2021
Ayra Amirah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun