Setiap kali saya selesai menulis cerita fiksi, saya berjalan kaki menuju kantor pos yang berjarak sekitar 200 meter dari rumah. Saya menempelkan perangko dan menyerahkan kepada petugas.
Majalah remaja dan buku-buku, saat itu menjadi sumber ilmu sekaligus hiburan.
Tapi lagi-lagi Dewi Fortuna belum berpihak pada saya. Sekian banyak cerpen yang saya kirimkan, tidak satu pun yang dianggap memenuhi kriteria redaksi.
Justru saya tidak kecewa. Naskah cerita yang di-retour, saya simpan dengan baik hingga bertahun-tahun kemudian. Jiwa saya telah menjadi kuat, kalau hanya untuk merasa kecewa.
5. Menanamkan keyakinan
Tahun-tahun berlalu. Suatu hari saya hengkang lagi dari kampung halaman, menuju kota yang lebih kecil dari sebelumnya. Kali ini berjarak hampir 20 jam dengan kecepatan kapal PELNI.Â
Saya telah berubah, dari kegagalan yang dulu. Sama sekali tidak terobsesi untuk menjadi mahasiswa atau sarjana. Biarlah jika Allah menganggap hal tersebut tidak baik untuk saya. Saya pasti mempunyai takdir lain yang jauh lebih baik.
Pembaca yang budiman, demikian kisah pengalaman saya, bagaimana kegagalan pernah menghampiri saya.
Seperti perjalanan ngabuburit bersama suami yang dimulai pada saat cuaca sedang cerah, namun saat kami mengarah pulang ke rumah, langit kian redup dan lampu-lampu kendaraan mulai menyala.
Setiap perjalanan pasti menemukan entah kelokan, tanjakan dan turunan. Terkadang menemukan jalan yang rusak, berlubang bahkan kemacetan lalu lintas.Â