Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Kurma

Ramadhan Pertama Tanpa Ibu

19 April 2021   23:28 Diperbarui: 20 April 2021   00:13 1251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ramadhan datang. Menghabiskan pekan pertama di sepuluh hari pertama yang penuh rahmat.

Jika saya ditanya, adakah nostalgia suasana ramadhan masa kecil yang saya rasakan? Jawabannya, tidak juga.

Semasa kecil, saya dan adik berpuasa berdua, dan berbuka juga berdua, tanpa kehadiran orang tua.

Ibu saya, adalah pejuang keluarga kami. Ibu bekerja di sebuah pabrik kayu lapis. Waktu itu, hutan Kalimantan masih sangat memungkinkan untuk dikelola  sebagai sumber pendapatan daerah dan masyarakat pada umumnya. Gaji karyawan seperti ibu, terbilang lebih dari cukup.

Kisah Laduman

Di kampung kami, pada tahun '80an, bulan puasa identik dengan Laduman. Merupakan meriam bambu yang mudah dibuat sendiri. Bahan bakunya juga mudah didapat di kebun dekat pemukiman warga. Tinggal memilih usia bambu yang pas, panjang satu setengah hingga dua meter, lalu dibuatkan satu lubang kecil.

Permainan seperti ini,  ala si bolang yaa, Sahabat Kompasianer. Hanya memanfaatkan apa yang ada di alam sekitar. Gratis dan kedaerahan.

Memainkan Laduman ini juga memiliki kelebihan sendiri, di samping risiko bahaya anak-anak bermain api kecil. Justru api besar berawal dari api kecil, bukan?

Kelebihannya adalah dapat memupuk kebersamaan antar teman-teman, karena ia dimainkan bersama secara bergantian. Kurang lebih lima sampai tujuh orang anak.

Suara yang terdengar adalah "dumm!!" Nyaring sampai radius cukup jauh. Di bagian lain juga terdapat Laduman yang dibunyikan oleh anak-anak kelompok lain. Maka terdengarlah suara saling bersahutan, mengiringi suara jamaah yang sedang tadarus di Langgar (surau). 

Adik saya, laki-laki, tiga tahun lebih muda dari saya, waktu itu sempat mempunyai Laduman. Bapak yang membuatkan, serta mengawasi selama adik dan teman-temannya bermain di halaman rumah kami.

Selama beberapa tahun, khas suasana ramadhan ini masih dapat saya nikmati di kampung, meskipun dari Laduman anak lain. Bapak, hanya sekali itu membuatkan untuk adik.

Selanjutnya di tahun 2000-an, permainan berganti dengan kembang api, mercon dan petasan. Kali ini alat bermain mereka harus dibeli, dan dari tahun ke tahun mungkin saja ada sedikit peningkatan harga.

Menurut saya, permainan pengganti ini, meski sama-sama mempunyai risiko dari api yang dianggap kecil, tidak dapat menciptakan suasana kebersamaan dan kekeluargaan seperti halnya meriam bambu anak kampung.

Apa boleh buat, zaman sudah berganti dan mengedepankan kepentingan individu.

Salah satu contoh, pada zaman sekarang, permainan petasan mengalami pelarangan oleh pihak yang berwajib. Ditambah adanya pandemi covid 19. Masing-masing orang memegang ponselnya sendiri-sendiri di kamar mereka. Larut dalam game online hingga berjam-jam. Syukur-syukur kalau sempat tidur beberapa saat sebelum datang waktu sahur.

Kedua hal ini, sama-sama sebagai sarana hiburan. Tradisi bermain bersama teman-teman, kini menjadi nostalgia suasana ramadhan masa kecil yang tak terlupakan deh!

Kenangan berpuasa

Di masa kecil pula, saya yang hanya punya satu adik laki-laki, tidak punya kakak atau adik lainnya, bisa dibilang berpuasa berdua-dua saja. 

Saat sahur, ibu membangunkan kami berdua dan sudah pula menyediakan masakan. Kami bertiga menikmatinya dengan kebekuan. 

Bukan karena suasana subuh yang dingin, tapi karena kami bertiga tidak ada yang berbakat mencairkan suasana. Ibu tak suka bercanda, dan juga tak suka banyak bicara. Dari kebiasaan ini, saya pun tercetak menjadi anak yang pendiam sampai dewasa.

Ibu kami, pada jam 06.30 saat itu, sudah harus meninggalkan rumah menuju pabrik. Pekerjaannya dimulai jam tujuh pagi sampai sebelas malam. Ibu meninggalkan sejumlah uang untuk saya dan adik, guna membeli takjil sederhana yang dijual beberapa tetangga.

Biasanya kami memilih es cendol dan mihun. Esoknya, masih seperti itu lagi. Paling-paling menu bergeser pada kolak pisang dan gorengan. Terus begitu selama sebulan.

Di rumah, saat beduk magrib berbunyi, saya dan adik berbuka puasa berdua-dua pula, dalam suasana sepi tanpa kehadiran orang tua ataupun suara saling canda. Acara tv sangat terbatas waktu itu. Kami tak dapat menonton siaran selain TVRI karena tak mempunyai antena parabola. 

Begitulah. Berbeda pada zaman anak-anak saya sekarang. Selain didampingi Abah dan ibunya, kami pun ramai bercanda-canda karena semua berbakat saling hibur. Mau menonton tv pun, siaran pilihan ada sepuluh, bisa ditangkap oleh antena duduk. Mau bermain game pada ponsel, mereka punya dua dan hanya perlu bergantian. Yang penting sudah mengerjakan ibadah sholat magrib dan mengaji.

Hal-hal inilah yang saya syukuri, dan tekankan kepada ketiga anak saya. Hidup ini hanya perlu dijalani dengan rasa syukur. Selebihnya, berdoalah tentang apapun yang mereka inginkan. 

Saya sering berkata pada mereka, Allah itu suka kepada orang yang berdoa, dan tidak suka keoada orang yang tidak membutuhkan Allah sehingga tidak meminta apapun.

"Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina." (QS Mukmin ayat 60)

Ramadhan tanpa ibu

Selama dua puluh tahun, ibu bekerja dan menjadi pejuang keluarga kami. Seringkali saya dilanda kesepian karena hal ini.

Namun saat saya dan adik dewasa, ibu mendahului, kembali kepada Allah swt sang mahapencipta.

Tahun pertama kami melalui ramadhan tanpa ibu, adalah tahun lalu. Tahun ini menjadi saat yang kedua. Ternyata bukan kesepian lagi yang saya rasakan, tapi sebuah kehilangan yang besar. Semoga ibu selalu mendaoat rahmat Allah di alam sana, aamiin.

Semoga ramadhan ini berjalan dengan limpahan berkah dari Allah swt. 

Untuk Sahabat Kompasianer, semoga puasanya lancar dan sehat selalu yaa. 

Salam hangat, Ayra Amirah.

Samber THR 2021
Samber 2021 Hari6

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun