Adik saya, laki-laki, tiga tahun lebih muda dari saya, waktu itu sempat mempunyai Laduman. Bapak yang membuatkan, serta mengawasi selama adik dan teman-temannya bermain di halaman rumah kami.
Selama beberapa tahun, khas suasana ramadhan ini masih dapat saya nikmati di kampung, meskipun dari Laduman anak lain. Bapak, hanya sekali itu membuatkan untuk adik.
Selanjutnya di tahun 2000-an, permainan berganti dengan kembang api, mercon dan petasan. Kali ini alat bermain mereka harus dibeli, dan dari tahun ke tahun mungkin saja ada sedikit peningkatan harga.
Menurut saya, permainan pengganti ini, meski sama-sama mempunyai risiko dari api yang dianggap kecil, tidak dapat menciptakan suasana kebersamaan dan kekeluargaan seperti halnya meriam bambu anak kampung.
Apa boleh buat, zaman sudah berganti dan mengedepankan kepentingan individu.
Salah satu contoh, pada zaman sekarang, permainan petasan mengalami pelarangan oleh pihak yang berwajib. Ditambah adanya pandemi covid 19. Masing-masing orang memegang ponselnya sendiri-sendiri di kamar mereka. Larut dalam game online hingga berjam-jam. Syukur-syukur kalau sempat tidur beberapa saat sebelum datang waktu sahur.
Kedua hal ini, sama-sama sebagai sarana hiburan. Tradisi bermain bersama teman-teman, kini menjadi nostalgia suasana ramadhan masa kecil yang tak terlupakan deh!
Kenangan berpuasa
Di masa kecil pula, saya yang hanya punya satu adik laki-laki, tidak punya kakak atau adik lainnya, bisa dibilang berpuasa berdua-dua saja.Â
Saat sahur, ibu membangunkan kami berdua dan sudah pula menyediakan masakan. Kami bertiga menikmatinya dengan kebekuan.Â
Bukan karena suasana subuh yang dingin, tapi karena kami bertiga tidak ada yang berbakat mencairkan suasana. Ibu tak suka bercanda, dan juga tak suka banyak bicara. Dari kebiasaan ini, saya pun tercetak menjadi anak yang pendiam sampai dewasa.