Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Sebenarnya Kami Ingin Punya Anak Laki-Laki

17 Maret 2021   19:48 Diperbarui: 17 Maret 2021   20:07 2539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Alhamdulillah, tahun 2007 menjadi tahun yang penting dalam hidup saya. Di awal tahun, saya menemukan belahan jiwa, dan di akhir tahun saya mendapatkan anugerah si buah hati.

Saat itu, kami dikaruniai bayi perempuan yang cantik dan sehat. Rasa syukur pun menyelimuti hati kami sebagai pasangan suami istri. Kebahagiaan seakan ikut tercurah, setiap kali matahari pagi tersenyum dari jendela. Semangat pun memantik, setiap kali saya menggendong tubuh mungilnya.

Siapa yang tak bahagia, mendapat kepercayaan merawat seorang anak di tengah-tengah pernikahan. Tak peduli ia bayi laki-laki ataupun perempuan.

Ada yang berpendapat, anak laki-laki kelak akan menjadi pelindung keluarga. Dan anak perempuan, kelak sama saja rasanya dengan tak mempunyai anak. Karena ia akan mengikuti kehidupan sang suami. Bisa saja jauh dari orang tuanya.

Pandangan seperti ini, tak sedikit pun terbesit dalam pikiran kami, orang tua baru, saat itu.

Bayi perempuan kami, menjadi guru yang membuat saya cepat pandai menjadi ibu. Saya memecut diri untuk lebih mandiri. Menjadi ibu siaga yang bahagia. 

Waktu berlalu dan hari terus berganti. Perasaan sempurna sebagai seorang wanita, tak berhenti sampai di situ. Saya pribadi ingin menambah momongan. Dan suami oke-oke saja.

Tersebab ingin lebih meramaikan suasana rumah, sekaligus menjadi teman bermain si sulung, nantinya, di akhir 2010 saya pun melahirkan anak kedua.

Melalui jalan persalinan normal, sama seperti kelahiran anak pertama, sudah cukup membuat kami larut dalam kebahagiaan. Apalagi saat memandangi bayi dengan kulit putih bersih dan rambut yang tebal. Sekali lagi saya melahirkan bayi perempuan yang istimewa.

Mempunyai dua anak perempuan, adalah kebahagiaan / dokpri
Mempunyai dua anak perempuan, adalah kebahagiaan / dokpri
Sampai di sini, saya masih merasakan hidup ini amat menyenangkan. Tak jarang di hari libur kerja sang suami, kami manfaatkan untuk jalan-jalan menikmati kebersamaan. 

Bermain bersama / dokpri
Bermain bersama / dokpri

Anak-anak yang tumbuh sehat dan saling mengasihi, menjadi perhiasan mata yang indah. Riang canda pun terdengar dari dalam rumah. Suara-suara mungil dan lucu khas anak-anak perempuan, dan kami merasa sangat senang.

Tapi keinginan dan cita-cita manusia tak berhenti di satu titik. Ia selalu bergerak dinamis. Bahkan bintang di langit yang tinggi pun ingin digapai. 

Mungkin ini pula yang bersemayam dalam benak pasangan suami istri pada umumnya. Setelah mempunyai anak perempuan, ingin pula memiliki anak laki-laki!

Anak laki-laki seperti menjadi simbol kehormatan, kejayaan dan kebanggaan terutama oleh sang ayah. 

Entahlah. Mungkin alasan yang tak jauh berbeda, ketika saya mengetahui ternyata suami telah menyimpan sebuah nama untuk bayi laki-laki. 

Bagi saya, anak perempuan adalah simbol kecantikan, kelembutan dan kemanjaan. Ia adalah penyejuk api amarah, dan penghangat hidup yang terasa dingin.

Sebelum hamil, saya berusaha memahami naluri yang dimiliki suami. Saya dapat menerima bahwa seorang lelaki dewasa berkeinginan juga mempunyai bayangan dirinya yang disebut junior. Mungkin para ayah selalu ingin mengajarkan keterampilan berkuda dan berperang (pada zaman dahulu), atau mewariskan bakat seni dan kecerdasan yang dimilikinya kepada anak laki-laki. Wajar, bukan?

Maka sekali lagi, saya menjadi ibu hamil.

Dengan beberapa gejala serta sensasi rasa yang berbeda dari kehamilan sebelumnya, saya dan suami mempunyai firasat dan keyakinan bahwa bayi yang akan lahir, adalah laki-laki. 

Lalu apakah hidup saya akan berubah, bila benar mempunyai bayi laki-laki? Yang dulunya saya mandi bersama balita perempuan (karena tidak ada yang menjaga), sekarang kami tidak dapat mandi bersama sambil bermain-main busa sabun karena dia laki-laki?

Akhirnya, hari kelahiran itu tiba

Selain mempersiapkan perasaan dua anak perempuan kami yang belum begitu besar (9 dan 6 tahun), saya juga mempersiapkan beberapa peralatan bayi dengan simbol-simbol mengarah pada bayi laki-laki.

Misalnya, saya memilih gambar beruang coklat untuk bantal guling bayi, ketimbang gambar Hello Kitty dengan warna pink. 

Handuk bayi dan kupluk juga sengaja saya pilih berwarna putih kombinasi biru, dengan gambar beruang coklat. Saya mengabaikan begitu saja handuk gambar bunga dengan warna pink yang cantik, atau turban bergambar barbie yang jelas girly.

Pada tahun 2016, di suatu sore di sebuah klinik bersalin, bersamaan dengan kumandang azan sholat ashar, saya mendengar tangis  bayi yang baru saja saya dorong keluar sekuat tenaga.

Dari tangisannya, saya merasakan kalau dia adalah bayi mungil yang manja. Sama sekali tidak mirip dengan tangis bayi laki-laki yang kuat dan kencang.

Benar saja. Sosok bayi mungil dan merah yang kemudian diarahkan untuk IMD di dada saya, adalah bayi bermata sipit berjenis kelamin perempuan!

Lalu apakah suami yang saat itu ikut mendampingi, merasa kecewa?

Saya memperhatikan air muka suami yang menatap lekat-lekat bayi dalam pelukannya. Beliau tersenyum, dan seolah mengatakan selamat datang dengan bahasa kalbunya.

Saya membuang nafas lega, karena suami tampak begitu bahagia. Tak terasa air mata mengalir dari sudutnya, saat suami melafazkan azan dan iqomah ke dekat telinga bayi perempuan kami.

Keesokan harinya, saya sudah diperbolehkan pulang karena kondisi ibu dan bayi sehat. Akhirnya, saya bisa menjumpai si sulung dan adiknya, setelah kemarin saya tinggalkan di rumah mertua.

Sesampainya di ambang pintu, mertua menyambut dengan menghambur beras kuning serta bacaan sholawat. Selamat datang bayi perempuan yang istimewa. Semoga Allah selalu memberikan keselamatan dan kebahagiaan. Kira-kira demikian sambutan mertua saat itu.

Sungguh, suara hati itu tak bisa dibohongi. Ketika kami mendapat firasat akan memiliki bayi laki-laki, tetapi kenyataan berkata lain, hati kecil saya pun dilanda resah.

Saya membuka referensi sana-sini untuk menjawab kegelisahan tersebut. 

Akhirnya, di hadapan para tamu yang datang menengok si kecil, dan di hadapan mertua pula saya sampaikan sebuah hadits shahih yang diriwayatkan Bukhori dan muslim nomor 5995  dan 2629.

Inilah janji Allah tentang keutamaan memiliki tiga anak perempuan. 

Saya pun merasa lega. Ternyata Allah menciptakan perisai pelindung dari api neraka untuk saya dan suami (syarat dan ketentuan berlaku).

Jika kami tak diizinkan memiliki anak laki-laki, manusia bisa apa? 

Mengenai sebuah nama yang sudah dipersiapkan, mari simpan saja sebagai kenang-kenangan.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun