Para pendatang itu yang menemani kami membangun. Mereka ada di setiap sudut dan bidang. Terkadang suku asli malah terpinggirkan. Apalagi kalau puas dengan keadaan hidupnya sekarang.Â
Yang membuat gula merah, tetap saja dengan pekerjaannya. Yang membuat ikan asin di hulu sungai Mahakam, juga tetap produksi barang yang sama. Antara komoditi yang tetap diperlukan, atau calon dikalahkan kaum urban.
Salah satu contoh, beberapa teman saya dari luar Kalimantan, setelah menikah memutuskan merantau kesini. Bekerja bertahun-tahun dan membangun rumah tinggalnya. Sebagian bahkan menghiasinya dengan mobil pribadi. Ada yang punya rezeki berlebih, malah mempunyai rumah sampai empat.
Jika ditanya, "tidak ingin membangun rumah di daerah asalnya?" Mereka akan menggeleng. Di sini sudah enak. Sama saja.Â
Di daerah asal malah tak punya pekerjaan. Ada yang mencoba pulang dan menetap, ujung-ujungnya balik lagi ke Kalimantan.
Begitulah. Banyak gadis lokal menikah dengan pendatang. Tidak apa-apa. Inilah wujud cinta keragaman. Kita cinta Nusantara.
Saya mempunyai kebiasaan senang mengobrol. Terutama dengan bapak ibu yang mulai sepuh. Kalau pembicaraan tampak hangat, ujung-ujungnya saya bertanya:Â tahun berapa bapak/ibu datang ke kota saya?
Saya senang mendengar cerita pengalaman mereka. Tentang lika-liku selama berjuang mencari hidup.Â
Terkadang jawaban mereka membuat saya tergelak. Ada yang datang tahun '65. Ada pula yang tahun '73. Saya malah belum lahir kala itu.
Bagaimana dengan sepasang suami istri yang tinggal di lingkungan dekat tempat tinggal saya? Bulek Pur, penjual gorengan yang berdua saja dengan suami tersayang.
Ternyata ia memiliki anak yang dititipkan pada sanak keluarga di Jawa. Maklum biaya hidup berbeda jauh dari kedua tempat.