Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Di Kedalaman Kelopakmu, Aku Hanya Bisa Menahan Napas

20 Januari 2021   02:50 Diperbarui: 20 Januari 2021   02:55 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hai Diary,

Pada hari yang penting ini, izinkan kutulis sebuah penanda. Aku ingin menandai tanggal hari ini, dan menyimpannya di sini.

Bahwa pada hari ini, aku sedang sampai pada fase usia tua. Aku mulai memasuki usia 41. Dan apa lagi namanya kalau bukan tua. Hehehe...

Berbeda dengan dua tahun sebelumnya, aku juga mengalami hari jadi. (Maaf ya aku tidak bilang merayakan. Karena memang tak ada pesta di sini) Tetapi tidak ada rasa sedih saat itu, karena harus melewatinya tanpa ibu yang sudah menghadap pada yang Kuasa. Tapi di bulan Januari ini, aku merasa sedih karena ternyata ibu yang melahirkanku, tidak dapat menemani kehadiranku sejauh ini. Bukankah moment ulang tahun, sejatinya adalah moment milik ibu? Setidaknya bagiku seperti itu, Diary. Karena ibu lah yang bahagia saat aku lahir, sedang aku belum tau apa-apa.

Begitu pula saat si sulung genap berusia tiga belas tahun. Rasanya akulah yang memiliki moment itu. Betapa saat itu, aku berjuang melahirkannya ke dunia, dan sejak itu pula aku disebut ibu. Sejak kali itu aku "mempunyai" anak-anakku. Maksudnya si sulung yang pertama. Lanjut adik-adiknya pada tahun yang lain.

Tapi kematian adalah qudrat dan iradat Allah. Aku bisa menerima kepergian Ibu, tapi kok aku merasa nestapa yaa... Mungkin saja kelak, aku juga tak bisa menemani anak-anakku saat mereka sampai pada hari jadinya. Ah, sudahlah. Semua itu rahasiaNya.

Diary, tau tidak. Beberapa teman menyampaikan ucapan selamat dan doa yang manis dalam laman medsos pribadi. Aku membalasnya dengan ucapan terima kasih, doa yang sama dan juga memberi mereka foto setangkai bunga mawar. 

Bungaku ini mekar seminggu yang lalu. Alhamdulillah fotonya abadi, tidak ikut layu seperti bunga aslinya di halaman. Jadi bisa kubagikan kepada teman, sebagai hadiah dan kenang-kenangan dunia maya. Boleh begitu yaa, Diary?

Aku menatap foto bunga mawar di layar ponsel, sesaat sebelum tidur. Oya, kalau sesaat lagi aku ketiduran, berarti tulisan ini aku lanjutkan nanti yaa. Dan terpaksa tayang melewati tanggal hari ini. 

Diary, rasanya tidak aneh yaa jika seluruh orang memuja bunga Mawar? Atau jika aku menyebutnya sebagai ratu segala bunga. Dari warnanya, dari wanginya bahkan dari bentuknya.

Foto: dokpri
Foto: dokpri

Bunga mawar memiliki banyak sekali jenisnya, dengan rupa yang cantik-cantik. Aku bisa terpesona meski tak melihatnya secara langsung. Meski hanya di google pencarian.

Aku masih memandangi foto bunga mawar di layar ponsel.

Aduhai kelopak bunganya sungguh indah. Tersusun berlapis dengan pola berulang, bukan acak, membentuk mahkota bunga yang luar biasa. Sampai ada kedalaman di sana. Ada bayangan di antaranya. Tempat bersembunyi embun dan hujan yang menimpa. Subhanallah. Aku hanya bisa menahan nafas. Allah sungguh besar, yang menciptakan apa yang ada di langit dan di bumi, serta apa yang ada di antara keduanya.

Mawar yang ujung kelopaknya mulai terlipat/dokpri
Mawar yang ujung kelopaknya mulai terlipat/dokpri
Oya, kalau dipikir-pikir, hidup manusia itu seperti bunga mawar yaa. Mulanya kuncup. Dua hari kemudian mekar dan maksimal. Dua hari setelahnya ujung-ujung kelopaknya mulai terlipat dan warnanya perlahan pudar. Tepat seminggu kemudian, ratu segala bunga itu kehilangan seri dan kecantikannya. Ia semakin pucat dan kusam. Siap terlepas helai demi helai dari tangkainya, untuk kemudian luruh ke tanah. Lebur bersama datangnya hujan.

Mengerikan yaa, Diary? Kira-kira aku pun sudah sampai pada tahap ujung-ujung kelopak yang mulai terlipat. Mulai menua.

Baiklah sebelum kututup kisah ini, bantu doa yaa Diary. Semoga di usiaku sekarang  bisa lebih mawas diri. Hidup itu tidak abadi. Kita di sini hanya singgah mengumpulkan bekal. Selanjutnya kita akan kembali dan menemukan pengadilan yang mahatinggi.

Sudah dulu yaa, Diary. Doakan aku cepat menemuimu lagi.

Samarinda, 19 Januari 2021

Ayra Amirah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun