Buatku ibu adalah seorang pejuang keluarga. Ia adalah tulang punggung yang kuat demi keberlangsungan hidup dan masa depan anak-anaknya.Â
Bisa diingat-ingat lagi, berapa banyak orang seperti ini di sekitar Anda? Mungkin sanak saudara, mungkin teman, atau mungkin tetangga?
Setiap harinya, orang-orang ini peras keringat, banting tulang menahan panas dan hujan, apalagi sekedar lelah dan kantuk, demi mengumpulkan pundi-pundi rupiah bagi keluarga tercinta.
Bagaimana perasaan Anda melihat mereka? Mungkin perpaduan rasa kagum dan bangga yaa.
Seperti itulah perasaan saya kepada ibu.Â
Sebenarnya saya mempunyai bapak, yang pada umumnya seorang suami sekaligus bapak adalah kepala keluarga dan tulang punggung pencari nafkah. Tetapi karena sesuatu dan lain hal, ibulah yang harus mengambil alih tugas sebagai pencari nafkah.
Apakah itu berat? Jawabannya, pasti sangat berat!
Ibu saya telah bekerja selama tiga belas jam setiap harinya, selama DUA PULUH TAHUN pada sebuah pabrik kayu lapis.Â
Bisa dibayangkan betapa lelahnya bekerja di pabrik tersebut untuk seorang wanita yang sudah mempunyai dua orang anak di rumah.Â
Saat itu saya belum genap berumur tujuh tahun dan adik laki-laki belum genap berumur empat tahun.
Bisa dibilang ibu menghabiskan banyak waktu agar dapur tetap ngebul, serta kedua anaknya bisa bersekolah. Benar-benar ibu sudah menjadi pahlawan keluarga kami!
Maka tidak berlebihan, apabila saya merasa sedih, kehilangan, dan rindu mendalam setelah ibu berpulang kepada sang pencipta, hampir dua tahun yang lalu.Â
Selama hampir setahun, saya masih saja bermimpi berjumpa ibu di dalam tidur. Saya juga masih menyesali kenapa ibu pergi secepat ini. Ibu belum terlalu tua dibandingkan teman-teman seperjuangan atau teman-teman satu grup sholawatan beliau. Masih banyak yang lebih sepuh dan berumur, dibandingkan ibu.Â
Untunglah saya mempunyai suami yang senantiasa mengingatkan bahwa Allah memilih bukan karena usia atau nomer urut. Allah melakukan apa yang terbaik bagi hambaNya, bukan apa yang diingini hambaNya.
Kisah sedih ini bermula saat ibu mulai merasakan gejala tidak nyaman yang diakibatkan oleh benjolan di sekitar payudara. Kian hari benjolan tersebut bertambah ukuran dan menimbulkan rasa nyeri tidak kepalang, menembus sampai punggung belakang. Demikian ibu menyampaikan via telepon.
Saat itu, saya sedang berada di kampung halaman suami, sekitar sebelas jam menyeberang dengan kapal laut PELNI ditambah dua jam melalui jalan darat dengan mobil.
Namun karena rasa sayang yang begitu besar, serta bayangan ibu menjadi pasien Kanker adalah sesuatu yang menggores sanubari seorang anak perempuan seperti saya, tak lama kemudian saya, suami dan anak-anak pulang kembali ke pelukan ibu.
Benar saja. Ibu tampak begitu menderita dengan penyakit mematikan nomor dua di dunia ini, sebuah penyakit yang jahat dan entah apa yang sudah mengundangnya datang kepada ibu kami tercinta. Kanker payudara.
Saat itu di bulan Januari, bulan dimana ibu biasa memberi sekedar ucapan SELAMAT ULANG TAHUN dan kado kecil untuk membahagiakan seorang anak seperti saya, menjadi moment kesedihan karena kami sama-sama berada di rumah sakit dengan kondisi ibu mulai nge-drop.Â
Kenangan ini sekaligus menjadi KENANGAN TERINDAH, karena jika dulu ibu sering tak punya waktu untuk berdua berbicara dari hati ke hati karena sibuk bekerja, sekarang di tengah kelemahan karena sakitnya, ibu berbicara banyak dan mendalam tentang hidup. Tentang harapannya kepada saya, tentang rasa bangganya terhadap saya, dan juga nasihat yang dulunya tak sempat diberikan.
Sambil bergenggaman tangan, mata ibu berbinar mengenang masa kecilku. Mengenang kelahiran ketiga anakku. Dan tingkah mereka yang kata ibu pintar dan lucu.
Tapi bukan ibu kami namanya, kalau karena sakitnya tak bisa memberikan kado. Ibu memberi lembaran rupiah sebagai ganti kado yang tak dapat dicarinya sendiri, karena kondisi sakitnya yang tak memungkinkan.
Oh ibu, masih bisa engkau memikirkan kebiasaan ini, walau di tahun-tahun usiaku engkau tak pernah melupakannya.
Masih terasa perlu bagi ibu yang mulia seperti engkau, untuk menyenangkan hati seorang anak yang belumlah dapat membahagiakan engkau.
Waktu bergulir dan sampai juga di bulan Pebruari, ibu masih dirawat di rumah sakit. Saat itu ibu sudah semakin menurun kemampuan gerak, makan dan berbicaranya, yang sebenarnya adalah bulan kelahiran adik laki-laki saya satu-satunya. Lagi-lagi kami harus melewatinya moment hari istimewa dalam keprihatinan.
Rasanya tak percaya, seakan semua ini hanyalah mimpi buruk dan saya ingin segera terbangun saja. Mendapati ibu masih sehat, segar-bugar dan baik-baik saja seperti dulu kala😪
Akhirnya ibu yang kuat, ibu yang tak mengeluh selama sakitnya yang dahsyat, ibu yang sempat meminta kesembuhan dan rindu ingin sholat lagi, akhirnya harus mengikut pada takdir yang kuasa. Ibu berpulang pada 12 Maret 2019, di sisi suami, kedua anak, tetangga dan teman-teman yang telah banyak pula memberikan dukungan selama ibu sakit.
Dan enam bulan pertama kehilangan ibu, menjadi saat yang tidak nyaman untuk kami sekeluarga, terutama saya, sampai harus menuliskannya dalam blog pribadi.
Jika boleh saya meminta kepada sang waktu, saya ingin ibu masih berada di tengah-tengah kami.Â
Tapi itu tidaklah mungkin. Hanya sebatas angan dan harapan.
Tetapi jika saya diberi kesempatan satu hari untuk menghabiskan waktu bersama ibu, saya ingin DATANG KE RUMAH IBU bersama suami dan anak-anak. Saya ingin merasakan sapaan dan sambutan hangat ibu. Menikmati ayam bumbu rujak yang kuat rempah, khas masakan ibu.
Namun saya harus pula menerima kepergian ibu. Maka yang akan saya lakukan di kesempatan satu hari tersebut adalah membaca surah Yasin di makam ibu bersama suami, anak, bapak, dan adik laki-laki saya.Â
Berziarah dan membersihkan pusara ibu, kami sering, biasa dan rutin melakukannya.Â
Tetapi dalam kesempatan itu, saya juga ingin membaca SEBUAH SURAT tanda cinta dan hormat saya kepada almarhumah, tepat di depan suami, anak, bapak dan adik laki-laki saya.
Surat itu berbunyi:
Assalamu alaikum wahai ibu tercinta. Hari ini kami: anak-anak engkau, cucu-cucu yang ibu banggakan, menantu, dan tentu saja Bapak, datang dan berkumpul bersama di depan pusara ibu. Kami baru saja membaca surah YASIN yang pahalanya kami tujukan untuk ibu di alam sana, semoga Allah swt menerimanya, dan menerangi kubur ibu.
Wahai ibu, hari ini tanggal 22 Desember, merupakan pengingat jasa-jasa kehadiran engkau dalam hidup kami. Sebagai ibu yang mulia untuk kami, sebagai nenek yang tercinya, sebagai mertua yang penyayang, dan tentu saja sebagai istri teladan untuk Bapak.
Hampir dua tahun engkau mendahului dan meninggalkan kami, menitipkan banyak kenangan indah dan istimewa, untuk menghadap Illahi robbi yang mahasuci.
Wahai ibu yang penuh cinta, adalah bohong jika kami tak tetluka sepeninggal ibu selembut engkau. Adalah dusta bila kami tak merindukan segala perhatian dan kehangatan engkau semasa hidup.
Tetapi Allah lebih cinta, dan mengetahui hal terbaik untuk kita. Kami harus ikhlas, kami harus rela.
Ibu izinkan kami menitipkan salam paling hormat, dan penghargaan setinggi-tingginya, untuk setiap kebaikan dan perjuangan yang sudah engkau lakukan di dunia. Semoga Allah swt menerima semua amal dan ibadah ibu. Semoga Allah yang mahatinggi mengabulkan setiap doa engkau semasa di dunia, dan memberikan balasan surga pada ibu.
Biarlah air mata kami menetes, sebagai tanda cinta yang tak dapat dilukiskan.
Ibu jangan khawatir, jika aku TIADA dan tak dapat lagi berziarah serta merawat kubur ibu, ketiga anak perempuanku, cucu ibu, yang akan menggantikannya.Â
Bahkan mereka sudah biasa mendoakan ibu sehabis sholat. Bukankah Allah akan mengabulkan doa anak-anak yang masih suci dari dosa?
Wahai ibu yang paling indah kasih sayangnya, tolong maafkan kesalahan dan kedurhakaan kami selama ini. Tolong maafkan kekurangan kami saat merawat ibu. Sekalipun kami sudah melakukan yang terlembut dan termanis untuk engkau, mungkin saja ada yang tidak berkenan di hati ibu.
Ibu baik-baik di sini, in syaa Allah kami akan menyusul engkau bila waktunya sudah tiba. Semoga kita dapat berkumpul lagi dalam kasih sayang Allah. Aamin yaa robbal alamiin.
Mungkin untaian kata tak cukup bisa menggambarkan kehebatan seorang ibu. Hanya doa dan kenangan yang tetap melekat di hati.
Bagi yang sudah ditinggalkan ibu untuk selama-lamanya, semoga tak pernah absen berdoa untuk ibu. Meneruskan cita-cita serta kebiasaan baik ibu. Menjalin silaturahmi dengan kerabat dan sahabat ibu. Demikianlah tugas kita sebagai seorang anak.
*Ditulis juga di Kaskus.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H