Aku terbangun sambil memeranjat.Â
Cepat kutengok jam di dinding. Jam dua pagi. Aku menghela nafas, dan berusaha mengatur irama jantung dengan sedikit minum.
Sesaat aku terdiam, sebelum akhirnya memeriksa pesan whatsapp. Tak satu pun dari putriku.
Aku meletakkan kembali di atas meja, sedikit berputus asa.
Ini adalah tahun kedua, Alin tak bersamaku di hari ulang tahunnya. Tahun lalu yang ke-19 dan tahun ini yang ke-20.
Putriku sudah mulai dewasa sekarang.Â
Tapi justru saat ia memerlukan ibunya untuk terus menjaga dan memperhatikan setiap gerak-geriknya, Alin malah berada di negeri orang untuk menuntut ilmu.
"Alin dapat beasiswa, Mak..." pekiknya dulu, dengan mata penuh binar. Bahagia karena itulah impiannya sejak lama.
Aku sendiri bukan tak suka melihat putri sulungku itu maju, justru aku sangat merasa bangga.Â
Tapi aku adalah orang paling repot sedunia, julukan yang diberikan almarhum ayah Alin. Aku selalu menyuarakan detil-detil pengajaran kepada anak-anakku. Mendisiplinkan aturan paling sederhana sekalipun, tidak lain untuk kebaikan mereka juga.