Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Balada Siti Komariah

10 November 2020   11:48 Diperbarui: 10 November 2020   11:57 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: https://lh3.googleusercontent.com

Seringkali kita mendengar aturan harus hormat dan berbakti kepada kedua orang tua. Harus memuliakan kedua orng tua, serta larangan menyakiti hati mereka. Tetapi dihadapkan dengan sanggahan seseorang seperti pada foto di atas, aku tertegun juga.

Memang asal-usul dan kehidupan tiap orang berbeda. 

Ada yang status kelahirannya tidak dikehendaki, tetapi ada juga yang ditunggu selama sepuluh tahun, bahkan lebih, oleh pasangan suami istri.

Ada pula yang tak pernah mengenal sosok ayahnya, karena sang ayah meninggal saat ia masih dalam kandungan. Atau yang tak mengenal seperti apa ibu yang telah melahirkannya, karena "bertukar" nyawa dengan sang anak saat persalinan. 

Atau bayi yang terpaksa lahir ke dunia tanpa pengakuan sang ayah, yang mencampakkan begitu saja, wanita yang telah dihisap sari bunganya. 

Atau bayi yang lahir dari hubungan tidak sah, lalu dibuang di tempat sampah.

Lalu apakah anak tersebut  harus pula mengikuti aturan yang tadi disebutkan di atas?

Dengan gampang saya menjawab, silahkan jika engkau mempunyai peluang untuk berinteraksi/bertemu.

Bersikap hormat dan membuat bahagia orang lain, adalah suatu hal yang baik, terlebih lagi kepada orang tua. Jadi tidak ada alasan, kita sebagai seorang anak bersikap tidak pantas atau mendurhakai.

Tujuan kita hidup di dunia, adalah untuk singgah. Maka mengumpulkan bekal yang terbaik selama di dunia, sama halnya dengan menunggu apa yang kita tanam akan berbuah dan dipetik. 

Siti Komariah, terdiam mendengar penjelasanku.

Mungkin gadis muda ini merenung-renung sampai dimana persesuaian kalimatku dengan apa yang dirasakannya selama ini.

Ia memang tak seberuntung santri lainnya di sini. Yang sengaja dikirim orang tuanya untuk menimba ilmu agama. 

Siti Komariah menjadi santri terlama di sini, yaitu dua belas tahun. Saat mau masuk Sekolah Dasar, ia justru diantar paman dan bibinya dari kampung sampai kemari.

Dengan perasaan campur aduk antara bingung dan terpaksa, dijalani lah hari-hari pertamanya di pesantren. Paling tidak ia senang juga, sudah tidak membebani paman dan bibi yang selama ini sudah merawatnya. 

Mereka sebenarnya tidak mempunyai hubungan keluarga. Siti Komariah ditemukan pamannya itu di suatu pematang sawah, setelah dibuang orang tuanya, sedikitnya itulah yang dia tau.

Siti Komariah memang sangat berkecil hati dengan sejarah kelahirannya. Ia juga sempat merasa ia bukan bayi yang suci. Selalu menyalahkan ibu bapaknya, yang sebenarnya tak pernah dia ketahui siapa. Hatinya hancur. Ia kerap merasa minder dan tidak ingin bermain bersama teman-temannya kala itu.

Foto: https://lh3.googleusercontent.com
Foto: https://lh3.googleusercontent.com

Sekarang Siti Komariah perlahan bangkit. Ia bukan kanak-kanak lagi. Ia mulai sadar apa yang diperbuat kedua orang tuanya bukanlah sesuatu hal yang baik. Tetapi ia tetap seorang manusia yang diciptakan dengan jalan hidupnya sendiri. Ia tidak mewarisi dosa kedua orang tuanya. 

Perlahan ia mampu mengobati rasa kecewanya. Perlahan pula ia bisa berubah menjadi remaja yang ceria seperti pada umumnya. Ia sudah cukup beruntung masih dibiarkan hidup. Masih banyak bayi lain yang dibunuh ataupun dikubur hidup-hidup. Siti Komariah tau dari berita di tv.

Masalahnya, belakangan ia menerima berita dari kampung bahwa ibu biologisnya kini ingin menemuinya. Minggu depan Siti Komariah sudah selesai masa pengabdiannya kepada pesantren, membantu menjadi tenaga pengajar PAUD Pesantren. Dan ia harus pulang.

Sebenarnya Siti Komariah punya pilihan kedua, yaitu tidak pulang ke kampung kelahirannya, melainkan menetap di kota dan mencari kerja. Dia bisa hidup mandiri tanpa menyusahkan paman dan bibinya. Mereka pasti sudah tua, setelah dua belas tahun ini. Apakah ia akan pulang untuk menjadi beban mereka?

Tapi di sisi lain, Siti Komariah juga penasaran dengan ibu yang melahirkannya. Seperti apa wajahnya? Pasti sangat cantik, karena banyak yang bilang wajahnya mirip artis sinetron.

Lalu saat bertemu ibu, Siti Komariah akan bertanya mengapa bisa ia berada si pematang sawah, pagi itu? Sepertinya ia dibuang saat hari masih gelap. Tapi kenapa? Apa salah  dirinya??

Siti Komariah mengandai-andai jawaban ibunya. Bisa saja karena ia lahir dari hubungan tidak sah. Yang pasti kehadirannya tak diinginkan, atau menjadi masalah. Lalu kenapa sekarang ibunya ingin menemuinya?

Bagaimana kalau ibu meminta maaf? Apakah ia mempunyai maaf itu? 

Lalu kalau dirinya dan ibu harus bersatu dalam satu hubungan orang tua dan anak yang tinggal serumah, apa ia bisa?

Siti Komariah menatap mataku, seperti mencari kepastian.

"Apakah saya harus mengikuti aturan untuk hormat dan berbakti kepada orang tua, Bu" tanyanya dengan sedikit ragu. Pastinya jawabanku masih sama seperti di awal tadi.

Dengan gampang saya menjawab, "Silahkan jika engkau mempunyai peluang untuk berinteraksi/bertemu."

"Bersikap hormat dan membuat bahagia orang lain, adalah suatu hal yang baik, terlebih lagi kepada orang tua. Jadi tidak ada alasan, kita sebagai seorang anak bersikap tidak pantas atau mendurhakai."

"Tujuan kita hidup di dunia, adalah untuk singgah. Maka mengumpulkan bekal yang terbaik selama di dunia, sama halnya dengan menunggu apa yang kita tanam akan berbuah dan dipetik."

Sekali lagi, Siti Komariah hanya bisa terdiam.

* pernah tayang di SECANGKIR KOPI BERSAMA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun