Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumahku di Pinggir Hutan

6 November 2020   13:29 Diperbarui: 6 November 2020   21:05 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami beruntung tinggal di area tanah yang luas. Sepintas suasananya seperti hutan memang. Ditemani pohon-pohon tinggi, tapi tak bisa dibilang besar. Di kejauhan nampak atap-atap rumah berjajar rapi khas perumahan. Di atas perbukitan pastinya.

Lalu apakah kami merasakan kesan sunyi? Tentu saja iya. 

Pagi hari burung-burung kecil pada ngoceh. Tapi tak berlangsung lama. 

Sesekali juga terdengar suara tupai. Girang melompat mencari buah mangga yang baru dua biji. Maklum baru belajar berbuah, kata misua.

Selain bentuk tubuh tupai yang lucu: badannya kecil dan ekornya mirip pembersih botol, ada hal nyebelin dalam diri si tupai. Setidaknya itu pengalaman misua yang gemes karena cempedak yang baru dua biji berbuah (loh...janjian ya dengan mangga) ludes pula dalam dua hari misinya. Tupai punya misi,  catat.

Sebenarnya kami belum lama tinggal di sini. Tepatnya baru dua tahun. Dan pohon-pohon yang baru belajar berbuah tadi, adalah hasil tangan dingin bapak.

Kondisi tanah untuk berkebun sebenarnya tak terlalu mendukung. Tapi misua semangat saja menanam beberapa pohon lain. Nangka, rambutan, sirsak, dan jeruk. Semua dari bibit unggul. Dan aku sangat gembira membayangkan beberapa waktu lagi bisa makan banyak buah-buahan yang ditanam sendiri. Bukan hasil panen dari pasar. Haha...

Tinggal di lokasi jauh dari tetangga, jalan setapak pula, menjadi pengalaman pertama kami. Bagaimana menyesuaikan diri dengan alam liar, alam bebas. (ck...ck...hiperbolis)

Entah sudah berapa anak ular mampir ke rumah pondok kami, dari beberapa jenis yang berbeda. Ular hijau, ular hijau berekor merah, ular welling, ular hitam. Woaa... 

Apa kami merasa takut? Jelas iya.

Bahkan selain ular, ada juga  biawak dewasa. Tubuhnya sebesar paha dengan lidah membelah dua. Warnanya cokelat terang, mirip sebatang kayu kering tergeletak di tanah.

Kalau hewan primata ini muncul, ayam peliharaan kami langsung heboh. Langsung membuat handphone di tangan terlepas. 

Wahh...! 

Maksudnya disimpan dulu. Karena buru-buru keluar rumah sambil menenteng sebatang kayu yang sudah dipersiapkan, untuk dilemparkan.

Hopp...!! 

Biawak lari tunggang langgang. Haha... Bersyukur di tempat sesunyi ini ada hiburan. Setidaknya sesekali. 

Apa kami terdampar sampai di sini? 

Entah apa istilah yang cocok. Tapi kami bersyukur saja. Karena dengan bersyukur, Allah akan menambahkan nikmatNya.

Contohnya, di saat masyarakat mendapatkan air bersih PDAM secara bergilir, kami mudah saja menimba air dari sumber. 

Kenapa bergilir? 

Ya, karena persediaan air terbatas. Dalam empat sampai tujuh hari, mendapat giliran dua hari air mengalir. Terkadang malah dua minggu sekali. Olala...

Tak heran setiap rumah warga mempunyai satu sampai tiga tandon penampungan dua ribu liter.

Bagaimana jika persediaan air mereka habis?

Para warga menggunakan kemungkinan kedua, yaitu membeli air dari jasa pesan antar per tandon.

Alhamdulillah kami hanya ikut lihat sambil lewat. Kami tak perlu menyisihkan dana untuk mengatasi kebutuhan kebutuhan akan air bersih.

Foto: pribadi
Foto: pribadi

Dan yang paling nikmat tinggal di tempat tenang seperti ini adalah tak bising lalu lalang kendaraan. 

Wilayah ini agak terpencil dan menepi. Akses masuknya merupakan tanjakan dan turunan kecil berlanjut dengan jalan setapak yang licin kalau hujan turun.

Nah, plus nya tinggal di tempat terpencil seperti ini adalah anak-anak bebas berlarian di hamparan pasir.

Ada hamparan pasir segala?

Jadi di bagian atas bukit adalah area perumahan, di bagian bawah adalah hamparan pasir seluas lapangan, dan di sekelilingnya adalah pepohonan pinggir hutan.

Sebenarnya tak banyak memang penduduk yang menemani kami tinggal di sini. 

Terkadang melintas juga dalam pikiranku, sampai berapa lama kah kami akan tinggal di sini?

Entahlah.

*pernah tayang di SECANGKIR KOPI BERSAMA

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun