Nyatanya sang suami tak mempunyai keterampilan apa-apa. Beberapa lama di sini, suaminya hanya bisa luntang lantung. Ibu Amat sendiri sebenarnya ingin mencari kerja, tapi ia harus pula mengurus kedua anak lelakinya yang hanya terpaut satu setengah tahun.
Pernah suatu kali aku nekad datang ke gubuk warung yang mereka tempati. Saat itu hujan sedang deras-derasnya. Tapi aku dapat mendengar tangis bayi ibu Amat yang sudah berlangsung sejak tadi.Â
Tentang bayi mereka yang kerap menangis, sebenarnya juga bukan hal baru. Hampir setiap hari bayi itu menangis panjang karena kelaparan. Maklum ibunya pun mungkin belum makan, sehingga ASI-nya juga tak lancar.
Hujan-hujan begini, apakah gerangan yang terjadi dengan bayi itu? Hanya kelaparan saja?
Mengapa dalam cuaca dingin begini, seorang bayi terus-menerus menangis tanpa berhasil dibujuk ibunya? Apakah mereka baik-baik saja?
Dengan berbekal sebuah payung, aku lalu menerobos hujan, meninggalkan bayiku sendiri di kamar dalam keadaan pulas. Rasa penasaran telah memaksaku membuktikan ini semua.
Sesampainya di sana, aku segera menguak pintu kayu dan melihat pemandangan memilukan.Â
Amat kecil dan adiknya terbaring di lantai tanpa kasur, hanya beralaskan kain sarung. Kipas angin kecil bekerja meniupkan angin dingin dari arah atas kepala si bayi. Debay menangis tak henti dengan mulut terbuka lebar, demi memanggil ibunya sekuat tenaga. Nampak wajahnya memerah dan suaranya serak di tenggorokan. Aku sungguh tak tega jadinya.
Tapi aku juga tidak bisa mengambil dan menggendong bayi kecil itu karena tampaknya sedang pup. Selain itu bagian bawah dasterku juga basah diterpa hujan.Â
Jalan satu-satunya aku harus menemukan dimana ibu Amat berada!
Baru saja aku membalikkan badan, bermaksud bertanya pada nenek Ani sekeluarga, aku justru bertemu ibu Amat yang muncul dari arah dapur nenek Ani, dengan wajah kuyu dan lesu.