Berapa lama hari dalam seminggu, sebanyak itu pula aku mendengar dan sekali-sekali melirik kak Nana asyik bertelepon ria dengan seseorang. Tentu saja bukan dengan suaminya, tetapi suami dari wanita lain yang dia katakan terpaksa dinikahi.
"Kak Anto terpaksa nikahin dia mbak..." ceritanya suatu waktu.
"Di kampung sana masih ada aja orang tua yang menjodohkan anaknya dengan orang lain, supaya bisa melupakan aku ini mbak..." imbuhnya lagi.
Perlahan tapi pasti aku paham cerita ini. Separuhnya terasa dongeng, tapi separuhnya lagi seakan nyata karena kak Nana sesekali ngeload speaker handphone mahalnya. Sambil memeluk boneka dan terkadang berguling kiri dan kanan, lalu duduk lagi.Â
Apa yang mereka bicarakan tidak terlalu penting, hanya keseharian. Juga tidak terlalu rahasia, karena hanya bermanja-manja.
Sebagai asisten aku hanya bisa bengong, dan pernah juga sih berusaha jujur dan mengingatkan. Kok bisa orang sekaya dan sehebat kak Nana gagal move on, meminjam istilah kekinian. Bukankah antara ia dan Kak Anto sudah berlalu lebih dari lima tahun? Karena si ganteng Niko anaknya sudah seusia pula dengan putri pertamaku yang hampir masuk Sekolah Dasar. Cerita kasih tak sampai antara keduanya yang terjadi karena kesalahan Kak Anto. Setidaknya itu juga pengakuan kak Nana beberapa kali padaku.
"Dia sudah minta maaf mbak... Berkali-kali..."
"Aku paling hanya bisa nangis..."
"Mana bisa ceritanya diulang lagi, sekarang sudah ada papa Niko. Mana mungkin aku bercerai cuma untuk mau melanjutkan hubungan kami yang dulu..."
Tampak sesal yang menekan setiap kalimat wanita berkulit putih ini. Bibir tebalnya yang sensual begitu cantik karena ditarik-tarik. Bukan sengaja genit, tapi kak Nana bicaranya sambil senyum pada siapa saja dan kapan saja. Sudah menjadi ciri dan gayanya. Dari sana pulalah kecantikannya yang alami terpancar. Kak Nana begitu jelita.