"Aku bahkan lupa cara untuk menulis..."
Laptop ukuran empat belas inch menatapku datar dengan tampilannya yang kosong. Aku harus mulai menulis. Tapi..
Air mataku masih terus menetes. Bayangan Sadam belum bisa hilang dari ingatanku. Aku pasrah. Mungkin, untuk saat ini menangis adalah cara terbaik untuk menghilangkan rasa cemburuku.
Aku sadar betul, Sadam sudah milik orang lain. Dan aku pun tahu, semua orang mengetahui kalau dia sahabatku. Ya, dia sahabat terbaik yang pernah ada.
15 tahun tumbuh bersamanya, 15 tahun kami melewati masa masa sulit dan senang bersama. Bagaimana bisa aku menghapus semua kenangan itu?
Seharusnya, tak perlu kulakukan. Namun, disatu sisi hatiku hancur. Bisa dibilang aku tak rela Sadam benar-benar hanya memperhatikan sang pujaan hatinya itu.
"Ra, gimana keadaan kamu?"
Aku diam dengan dengan tatapan curiga. Mencari tahu, sebenarnya apa ada alasan khusus atas perhatiannya selama ini? Apa benar dia hanya menganggapku sebagai seorang sahabat? Sadam, andai kamu tahu perasaanku saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H