Oleh Sizuka
Pekan-pekan ini kita disilaukan oleh pesona seorang Joko Widodo. Semua tentang Jokowi menjadi hiruk-pikuk pemberitaan media. Masyarakat lebih tergila-gila lagi, mengelu-elukannya di setiap kunjungan Jokowi ke lapangan. Sebenarnya, apa istimewanya Gubernur DKI Jakarta yang baru ini? Ia "hanya" melakukan apa yang seharusnya dikerjakan oleh pemimpin. Belanja masalah langsung ke tengah masyarakat. Begitulah idealnya sebagai seorang pemimpin, bukan?
Ataukah karena teramat miskinnya kita akan pemimpin yang baik sehingga kemunculan Jokowi menjadi sangat fenomenal? Dan ternyata begitu rindunya kita pada pemimpin sederhana nan merakyat. Maka, tak heran bila Jokowi menjadi bulan-bulanan kegandrungan kita akan pemimpin sejati yang mengayomi.
Seperti halnya ketika menjadi walikota Solo, aksi Jokowi tak bisa dihentikan. Ia menemui langsung rakyatnya, utamanya para kaum papa di kampung-kampung kumuh. Dia ke terminal untuk mengecek kondisi angkutan umum dan pergi ke berbagai tempat yang merupakan kantong-kantong masalah. Kehadiran Jokowi bersama gaya sederhana yang dibawakannya selalu mencuri perhatian, merebut simpati dan berhasil mengambil hati masyarakat. Tak ketinggalan para awak media yang mengikuti keseharian pejabat nyentrik ini juga makin terkesima.
Jokowi menjauhkan diri dari birokrasi yang rumit dan protokoler yang kaku serta segala aturan dan ketentuan yang dapat menciptakan jarak antara dirinya dengan rakyat yang dipimpinnya. Dalam sepekan pertama menjabat gubernur DKI Jakarta, ia dan pasangannya Basuki Tjahaja Purnama berhasil meruntuhkan tembok birokrasi di lingkungan balaikota, tempat keduanya berkantor. Baik masyarakat dan para pekerja media merasakan perubahan hawa keterbukaan balaikota sebagai rumah rakyat. Warga sekarang bisa mencegat sang gubernur langsung ketika ia turun dari mobil di balaikota saat pagi hari. Wartawan juga leluasa menelisik ruang kerja wakil gubernur yang sebelumnya digunjingkan karena terlalu luas dan mewah itu. Tak ada sedikitpun yang disembunyikan, Ahok _panggilan akrab Basuki Tjahaja Purnama_ mempersilahkan para wartawan melihat-lihat berbagai fasilitas yang terdapat dalam ruang kerjanya. Ruangan wagub yang dinilai terlalu "wah" ini diperintahkan oleh Jokowi untuk diperkecil. Sang wakil ini juga ditugaskan membenahi internal birokrasi di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Pembenahan meliputi penghematan anggaran operasional dengan melakukan efisiensi penggunaan ruang perkantoran termasuk rencana penarikan para kepala dinas untuk berkantor di lingkungan balaikota. Tugas Ahok juga menegakkan disiplin PNS dan menciptakan birokrasi yang melayani.
Pengamat kebijakan publik Andrinof Chaniago percaya, meski tantangan membenahi birokrasi ini berat, namun pasangan mantan walikota Solo dan mantan bupati Belitung Timur ini mampu memberesinya.
"Dengan kualitas yang mereka miliki dan perencanaan yang matang, saya yakin duet Jokowi-Ahok ini mampu membawa perubahan signifikan bagi kota Jakarta," ujar Andrinof.
Bila Ahok lebih banyak di dalam balaikota, Jokowi tiap hari bersafari menyusuri lokasi-lokasi yang tak lazim diinjak oleh para pejabat, tempat kumuh penuh persoalan sosial. Ia bepergian juga tak seperti lazimnya seorang gubernur yang menggunakan mobil dinas jenis Land Cruiser lengkap dengan voorijder. Sepekan pertama bekerja Jokowi pergi dengan mobil kijang innova, itupun sewaan dan tanpa pengawalan menembus pekatnya kemacetan jalanan ibukota serta tak mau menerobos lampu merah. Sungguh perilaku langka yang belum pernah ditunjukkan oleh para pejabat pendahulunya.
Namun adakalanya perilaku nyleneh si gubernur menjadi bahan cemoohan bagi kelompok-kelompok yang dengan sinis menilai apa yang dilakukan Jokowi hanyalah untuk membangun pencitraan. Bisa dipahami, karena memang hampir tak ada pejabat yang berbaik-baik dengan rakyat atas dorongan ketulusan dan pengabdian. Selalu ada tujuan promosi yang menyertainya.
Tapi paling tidak ada indikasi yang bisa dipakai untuk mengukur apakah perilaku baik pejabat itu dalam rangka pencitraan atau jujur apa adanya. Bila hal-hal baik ditunjukkan secara mendadak atau serta-merta dan bertolak belakang dengan realita keseharian atau kebiasaan sebelumnya, pastilah perlu diragukan. Apalagi bila ada rencana pencalonan untuk jabatan tertentu dalam waktu dekat maka bisa dipastikan itu adalah pencitraan.
Jokowi, publik bisa menelisik rekam jejaknya selama 7 tahun menjadi walikota Solo. Perilakunya juga sama seperti itu, turun ke tengah-tengah masyarakat melihat persoalan, mendengarkan keluh-kesah warganya secara langsung dan lantas memetakan kebijakan untuk dilaksanakan sebagai solusinya. Bedanya, di Solo ia tak begitu menyolok ketika blusukan ke kampung-kampung karena perawakan dan penampilannya seperti orang biasa. Dengan begitu ia leluasa berdialog dengan rakyat dan menggali persoalan dari mereka. Pemberitaan mengenai aksi Jokowi ini juga tak segempar ketika ia melakukan hal yang sama di ibukota.
Memang, pemberitaan mengenainya akhir-akhir ini sudah agak berlebihan. Segala gerak-gerik dan polah-tingkah Jokowi tak sedikitpun luput jadi berita. Ini berbahaya karena bisa menjadi boomerang dan justru kontraproduktif. Lawan-lawan politik yang tak menyukai gerakan pembaruan yang digalakkan Jokowi di Jakarta pasti akan menuduhnya sebagai perbuatan riya dan pencitraan belaka. Dalam minggu pertama kepemimpinan gubernur baru ini setidaknya sudah ada 2 anggota DPRD dari fraksi yang berbeda mengkritik aksi jalan-jalan Jokowi ke lapangan dan rencana penarikan para kepala dinas untuk berkantor di balaikota.
Kepopuleran Jokowi yang melampaui partai pengusungnya dan bahkan pejabat-pejabat yang ada di sekitarnya pada suatu kesempatan, dikhawatirkan dapat menimbulkan kecemburuan. Seperti belum lama ini di JIexpo Kemayoran saat mendampingi presiden membuka Trade Expo Indonesia 2012. Saat nama Jokowi disebut oleh pembaca acara, berikutnya disebut lagi oleh mendag dan presiden, ia memperoleh sambutan tepuk-tangan paling gegap-gempita dibanding yang lain. Kehadirannya seolah meredupkan pesona pejabat yang lain.
Pada bagian lain, kepopuleran Jokowi yang mengundang antusiasme berlebihan warga di setiap kunjungan lapangan dapat mengakibatkan misi belanja masalah menjadi bias dan tidak efektif. Jokowi selalu menjadi kerubutan warga, lebih sibuk meladeni orang-orang yang ingin bersalaman atau berfoto bersama sehingga proses dialognya tidak berlangsung maksimal.
Meski demikian, warga ibukota mulai tergerak partisipasinya usai memperoleh kunjungan sang gubernur. Terbukti warga Bukit Duri mulai mengukur tanah di pinggir sungai yang direncanakan untuk pembangunan kampung susun deret. Saat kunjungan ke sana sehari setelah pelantikannya sebagai gubernur, Jokowi mempresentasikan rencana pembangunan kampung susun deret untuk warga bantaran sungai. Program inipun memperoleh sambutan positif sehingga warga turut berpartisipasi baik dalam persiapan, pembangunan hingga perawatannya kelak.
Aksi Jokowi ke lapangan yang selalu mengajak serta para kepala dinas terkait juga menularkan energi positif bagi mereka. Para kepala dinas dibuat kalang-kabut mengikuti perintah-perintah gubernur yang bertenggat waktu singkat itu. Seperti perintah untuk membersihkan kali Padengan yang berbau busuk karena sampah yang menumpuk.
Kinerja Jokowi yang berkecepatan tinggi tidak saja membuat para kepala dinas terbirit-birit, wakil gubernur saja juga harus berusaha keras mengimbanginya. Bahkan mengenai hal ini Ahok sempat berseloroh:
"Kalau gubernurnya Pak Jokowi, harusnya wakil gubernur 4 orang."
Gerakan cepat Jokowi juga menuai sambutan dan dukungan dari para menteri. Seperti rencana pembangunan sarana transportasi massal yang bertujuan mengurai kemacetan lalu-lintas spontan disahuti oleh menteri BUMN dan berikutnya menko perekonomian menyatakan dukungannya.
Maka bila dipetakan, gerakan Jokowi untuk menjadikan Jakarta baru telah menangguk dukungan dari berbagai lini koordinasi. Ke bawah telah memperoleh dukungan partisipasi dari sebagian besar warga ibukota. Hubungan secara horizontal ke DPRD masih belum terlalu meyakinkan karena kelompok yang berisikan lintas partai ini berpotensi merecoki kerja kepala daerah. Tapi setidaknya, Ahok adalah pasangan yang sejalan dengan cita-cita suci Jokowi yang menjadikan duet ini solid dan kuat menghalau serangan dari dewan yang mungkin menghadang. Para kepala dinas sebagai pejabat pada level pelaksana program rupanya juga mulai terjaga dan langsung tunggang-langgang melaksanakan instruksi gubernur. Sementara hubungan secara vertikal dengan para pejabat pemerintah pusat kontan memperoleh sinyal positif.
Bila Jokowi menjadi energi dan inspirasi bagi 32 kepala daerah lain dan segenap pejabat yang sedang memegang tampuk kekuasaan maka hampir bisa dipastikan lekas selesailah segala persoalan di negeri ini. Semoga saja Jokowi sanggup menanggung beban popularitas, tidak tergelincir menjadi selebriti dan tetap fokus pada kerja besar memberesi kota Jakarta sebagai etalase Indonesia.
*Penulis adalah Produser Antara TV
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H