Jujur, saya tidak pernah sampai ke Borobudur. Saya kuliah di Jawa Timur dan pernah beberapa kali ke Jogja, tapi saya tidak pernah ke Borobudur. Bukan saya tidak mau ke sana, Borobudur adalah salah satu tempat destinasi yang masuk dalam daftar list tempat yang harus saya kunjungi, namun belum juga terpenuhi. Apalagi jika di Pesantren, Pak Kyai selalu tidak memperbolehkan bepergian ke Borobudur, syirik katanya.
Menurut orang Pesantren, berkunjung ke Candi termasuk salah satu dari kemungkaran, meski awalnya hukum rekreasi adalah mubah, namun karena tempat-tempat seperti Candi menampilkan sisi-sisi spiritual, terdapat patung-patung yang disembah sekaligus gambar-gambar makhluk bernyawa, Â membuat pengunjung pun terkagum-kagum, maka dihukumilah tidak pantas untuk berkunjung ke sana.
Namun, menurut hemat saya, tidak apa-apa bagi seorang muslim untuk bepergian ke tempat-tempat seperti Candi Borobudur, bukan saya tidak mengindahkan perkataan Pakyai, bagi saya, iman seseorang tidaklah tergantung dari apa yang ia kunjungi dan kagumi, terlebih Candi Borobudur termasuk dari peninggalan nenek moyang kita. Merupakan tempat penuh sejarah yang harus kita ketahui asal usulnya dan harus kita pelajari.
Jika iman seseorang kuat, ia tidak akan berpaling meski badai kencang menerpa, namun jika iman seseorang memanglah lemah asal mulanya, tanpa angin pun dapat tumbang begitu saja. Borobudur tidak akan mengurangi keimanan seorang muslim, malah saya kira Borobudur memiliki sisi spiritualistis yang dapat membuat keimanan seseorang bertambah karena kebesaran dan kekuasaan Tuhan yang diperlihatkan.
Borobudur ditemukan oleh Pasukan Inggris pada tahun 1814 di bawah pimpinan Sir Thomas Stanford Raffles. Sebagai tempat pemujaan Budha dan tempat ziarah, Borobudur diyakini berisi petunjuk agar manusia menjauhkan diri dari nafsu dunia dan menuju pencerahan dan kebijaksanaan menurut Buddha.
Struktur bangunannya berbentuk kotak dengan empat pintu masuk dan titik pusat berbentuk lingkaran. Secara keseluruhan terdapat 504 Buddha dengan sikap meditasi dan enam posisi tangan yang berbeda di sepanjang candi. Dalam relief Candi Borobudur tidak hanya berisi gambaran kompleks makluk hidup, namun juga terdapat spirit kesenian yang berupa 45 jenis alat musik, lengkap dan modern, bahkan tidak sedikit ditemukan relief yang menggambarkan suatu ansambel musik yang bermain bersama dalam satu panel.
Dari sudut inilah, terbentuk gagasan Sound of Borobudur dari sekelompok musisi yang mencoba membunyikan catatan peradaban itu melalui seni, khususnya musik. Sejatinya, Sound of Borobudur adalah sebuah spirit yang melahirkan geliat dan upaya reaktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai luhur yang terpahat dan tersirat di setiap bagan relief dan lekuk Candi.
Pada tahun 1933, arkeolog N.J. Krom menerbitkan analisis tentang Mahakarmawibhangga pada relief dasar Candi Borobudur yang terkubur, yang menyimpulkan keterhubungan antara gambar pada relief dengan naskah teks tertulis Mahakarmawibhangga. Relief Karmawibhangga pada dasarnya berisi naskah Mahakarmawibhangga, yakni hukum sebab akibat.
Namun terdapat sepuluh panil pada relief cerita Karmawibhangga yang memuat gambaran tentang berbagai instrumen musik (waditra), yang terdiri atas empat jenis alat musik: idiophone, membraphone, chordophone, dan aerophone. Setelah menelaah lebih dalam mengenai salah satu dari panil relief waditra berdawai (chordophone) maka divisualisasikan ulanglah oleh para penggerak musik di Sound of Borobudur.
Melalui musik, Borobudur menjadi warisan pengetahuan yang dapat ditafsir ulang dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari, Sound of Borobudur mampu membangun proses akulturasi musikal dalam kesenian. Musik menjadi tameng terkuat yang hidup dan diperdengar dengan damai dan sentosa tanpa menghalangi etika. Lewat musik, kita dapat mengambil arah dan pandangan baru yang tidak hanya Borobudur hadirkan lewat penglihatan melainkan juga lewat pendengaran.