Tanpa kita sadari, kita telah melaksanakan salat tarawih di malam kedua pada bulan Ramadan di tahun ini, sebaik-baik menyambut bulan penuh ibadah adalah dengan menyegarkan raga yang terlalu sering rebah, mungkin banyak yang telah berubah dari sebelum pandemi merambah.
Tahun lalu adalah tahun yang berat, tidak hanya bagi saya namun juga bagi semua orang, ada yang kehilangan banyak hal dalam sekejap, kehidupan semua orang mulai tidak normal, hanya dengan satu kejadian banyak dari kita yang memilih hidup sendirian atau paling tidak bersama kucing kesayangan.
Ada banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan, ada banyak pengangguran yang semakin kebingungan, ada sebagian yang baru lulus kuliah tapi kebingungan mencari pekerjaan, hiruk-pikuk anak-anak berangkat sekolah pagi-pagi juga lenyap tergantikan tugas daring yang selalu datang beriringan, awal pandemi semua orang panik tapi lama-kelamaan mulai menerima keadaan, ada banyak kehilangan akibat kematian meski lebih banyak kehilangan setelah memiliki rasa dalam sekejap.
Dengan demikian, dalam kesulitan menjalani alur yang panjang dan sedikit menakutkan, Allah berikan kepada kita rasa syukur dan kemudahan untuk dapat beradaptasi dengan keadaan, menghindarkan kita dari perasaan hampa dan ketakutan, membuat hikmah-Nya menciptakan dunia supaya segala sesuatu yang ada dalam pengetahuan-Nya menjadi tersingkap, berkehidupan dan mengambil pelajaran.Â
Harapan, cinta, dan pengetahuan membuat hidup menjadi lebih baik, penuh kreasi dan inspirasi. Membuat keajaiban dalam tahun yang membingungkan. Begitulah kira-kira kata yang dapat menjelaskan hari-hari yang telah berlalu hingga sampai pada hari ini.
Masih ingat saya, tahun lalu kita masih awam dengan semua hal yang terjadi secara tiba-tiba, termasuk urusan di bulan ibadah yang telah menjadi kebiasaan banyak orang, tidak ada lagi kerumunan di jalan, ngabuburit segala macam adalah hal yang masygul, tarawih di masjid dibatasi, semua wajah tertutup rapi dengan masker meski dalam berhadapan dengan Yang Mahakuasa, salat berjarak-jarak, tidak lagi mengikuti sunah, seakan-akan dunia berubah, anak-anak kecil tidak ada lagi yang bermain di lorong masjid dan musala, apalagi bermain petasan sehabis tarawih-an.Â
Dengan keadaan seperti tersebut, barang siapa yang tidak bersedih, maka ia bukan pribadi yang ramah dan mencintai bulan penuh berkah. Bukankah wujud rasa senang menyambut Ramadan ialah dengan melakukan kebiasaan yang telah menyenangkan semua kalangan? Maka apabila kita kehilangan momen tertentu, tentu akan sangat mempengaruhi suasana hati.
Maka syukur alhamdulillah, barangkali Allah mendatangkan pandemi untuk kita mengambil ibrah darinya. Tidak ada yang lebih baik dari pada kita hidup kemudian kita mengambil pelajaran, boleh jadi pandemi ada untuk menghindari kerusakan yang lebih besar.Â
Belajar dari tahun lalu, Ramadan di tahun ini kita telah siap untuk menyambut bulan penuh berkah dan menjalankan ibadah, kita belajar dari segala hal yang berlaku selama setahun belakangan, mungkin prosedur kesehatan tetap dijalankan namun tidak akan menghilangkan rasa khusyuk dalam beribadah.Â
Sebagaimana kata Cak Nun: "Puasa Ramadan hanyalah sebuah acuan. Sebuah contoh soal metodik tentang kebutuhan manusia untuk menahan, menyaring, menjernihkan, membeningkan, dan mensublimasikan apa pun saja yang terjadi dalam kehidupam."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H