Mohon tunggu...
Ayu Bejoo
Ayu Bejoo Mohon Tunggu... Jurnalis - Moody Writer

Moody Writer

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Athiyah

26 Oktober 2017   00:13 Diperbarui: 26 Oktober 2017   00:18 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Athiyah, kalaulah mereka sengaja atau tak sengaja menyusuri jalan setapak yang di atasnya berserakan dedaunan kering dan tidak, mungkin saja mereka akan bertemu denganmu. Jalan setapak yang berjejeran dengan aliran sungai Deras yang deras. Jalan setapak di bawah pepohonan rindang, juga diperkokoh dengan akar Beringin yang menjalar, dari cabang-cabangnya pun keluar akar -akar yang menggantung melar, juga rerimbunan daun kecil yang meruncing ke ujung, sedang mekar.

Athiyah, kalaulah mereka dengan sadar maupun tidak, melewati jalan setapak yang di sekitarnya terdapat dua batang pohon yang ditumpuk menyerupai bangku panjang, mungkin saja mereka akan menemukanmu. Sebuah bangku panjang, yang andai kata ada yang ingin mengamati juga meneliti, kan tahu bahwa batang pohon tersebut muasalnya  pohon berdaun lebar, diperhatikan dari bentuknya yang padat, pun tak lunak. Belum lagi jika mereka memperhatikan dengan seksama, kan mereka dapati gulma yang memadati sesekitar, tumbuhan yang memiliki akar yang merambat juga merumpun, terus menjalar.

Sayangnya, Athiyah. Tak ada mereka yang bisa menemukanmu. Tidak semua orang tertarik dengan jalan setapak itu. Tak semua orang suka duduk pada sebuah bangku panjang di bawah pohon rindang. Siklus kehidupan jaman ini tak lagi sama dengan kita dahulu, Athiyah. Kalaulah kau tak percaya padaku lalu menyatakan perihal meskipunmu yang selalu kau dahulukan saat berdebat denganku, kukira itulah kemasygulan. Kalaulah kau masih dan tetap bersikeukeuh menambahkan pernyataan dengan walaupun milikmu kau tetap kalah telak, Athiyah. Tak ada yang bisa kau lakukan untuk membela mereka yang tinggal dan hidup di masa kini. Kita adalah hal yang masygul pada masa sekarang. Jangan berharap, Athiyah.

Lalu,kemana perginya kebenaran peristiwa yang kata guru-guru kita dahulu akan terstimulasi membentuk sebuah struktur literatur yang dapat dibaca siapapun dan diambil hikmah oleh siapapun juga. Kemana perginya sederet fakta yang terangkum mata tinta yang katanya diberi nama sejarah padahal yang memberi nama pun masih rancu apakah sejarah yang dimaksud bisa dikatakan sejarah sedemikian rupa karena pada sejarahnya sebuah sejarah bisa ditulis oleh siapapun dan dibicarakan dari mulut siapapun juga. Katamu seperti itu Athiyah, dan kemudian alam semesta mendukungmu juga membela pernyataanmu. Wow. Kau berada pada posisi aman ternyata.

Berbeda denganmu, semesta tak pernah sudi berkonspirasi denganku, tidak dalam hal menemukanmu, Athiyah. Aku nelangsa dalam mencari fakta, karena semenjak kode etik jika dan hanya jika bermukim di telinga kita masing-masing, seluruh peristiwa seakan-akan berbicara. Antara fakta dan 'fakta' terus berseberangan, berlomba-lomba mencapai posisi tertinggi dalam kejuaraan kepercayaan. Kubu dan kubu. Rezim dan rezim. Pun manusia dengan kemanusiaan. Sudahlah Athiyah, jawabanmu selalu saja perihal pembelaan kemanusiaan. Pertanyaanku selalu saja kau ubah dengan pernyataanmu. Padahal Athiyah, dimana letak kemanusiaan saat manusialah yang menginjak-injak manusia.

Ah, Mungkin engkau lupa, Athiyah. Maklum, kita tidak hidup seribu tahun lamanya seperti dirimu. Engkau menggengam kesetiaan pada tanah, sementara aku mujur di bawah sekotak berkah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun