Gadis bergincu merah itu lagi-lagi memukaukanku, aku lagi-lagi tak bisa tidur nyenyak dibuatnya. Mati sudah, katanya. Aku belum siap, kataku. Mengelus ia padaku, memanja aku padanya. Kau akan menepati janjimu, katanya. Aku akan menepati janjiku, kataku. Sekian dengan penutupan senyum sebelum perpisahan.
Gadis berginju merah itu sudah pergi, lagi. Meninggalkan  aku dalam buncahan rindu yang tak berujung semu ataupun pilu. Aku dan gadis itu, lagi-lagi mengikat janji. Tak kuasa aku menahan kenistaan diri ini, jatuh aku dalam pelukannya berulang kali. Demi mewujudkan impiannya, aku bahkan rela tidak ikut mati.
Aku selihai dirinya, dalam merayu tuan-tuan. Bibirku semerah bibirnya, kepada para jutawan. Gerakanku, gesit. Mataku bahkan cukup sipit. Aku tak kalah dengan perempuan-perempuan jalang. Tidak pernah, bahkan. Aku cukup populer dikalangan kota metropolitan ini, kota seribu penjalang. Pada pelanggan yang keberapa akan aku dapatkan impiannya, gincu merahku tak banyak lagi, hanya cukup hingga satu purnama pada bulan Juli. Bisakah aku ? seharusnya aku tak perlu khawatir, aku tahu dirinya tak akan mengingkar janji.
Juni pun sudah terlewati, aku masih belum menepati janji. Akhir-akhir ini, gincu merahku tak banyak berbuat aksi, apakah kurang seksi? Tidak, ini cukup, katanya. Belum, kataku. Dimalam sekian kali, aku memintanya menambahkan mantra halusinasi, lagi. Kesekian kalinya, anggukannya benar-benar membuatku ingin segera mati . Belum saatnya, katanya mengingati. Harus banyak cukup sabar, untuk menyatu dengannya, lagi.
Aku pulang terseok-seok, sakit, kutahan. Tinggal beberapa hari lagi, Tuhan. Pejantan seperti diriku tak akan mudah mendapatkan tuan-tuan. Para penjalang sekarang sudah mampu menikung kejam. Bisakah aku bertahan? Mati sudah, katanya. Belum saatnya, kataku. Aku harus menepati janji, untuk kesekian aku harus berjuang. Deminya, apapun akan aku lakukan.
Aku menunggunya datang, lagi-lagi gadis berginju merah itu membuatku hanyut dalam ketidakberdayaan. Seribu masa aku bertahan, aku rela. Jatuh dalam belaiannya benar-benar membuatku hilang kesadaran. Aku pasti akan mendapatkannya, kataku. Kau pasti akan mendapatkannya, katanya. Kemudian, ia menghilang.
Setiap malamku, kuhabiskan majang diantara perempuan jalang. Tuan-tuan jutawan akan segera datang, memilih-memilah tanpa paksaan. Ginju merahku, kuhabiskan hanya untuk mendapatkan pelanggan, tuan-tuan bermata keranjang. Lalu kuhabiskan siang dengan kesakitan, hingga ia datang sebagai penawar, gadis bergincu merah. Berwajah cerah. Lagi-lagi aku jatuh dalam lubang terdalam pasrah. Duhai Dewa langit dan Dewa kematian? Kutitipkan gadisku dengan satu permintaan. Biarkan aku dan ia tetap bertemu, biarkan ia tetap bertamu.
Siapalah aku diantara beribu bintang? Seorang banci tak tahu diri, berani-beraninya unjuk gigi. Sudah kubilang, deminya, apapun akan aku lakukan. Purnama terbenam hingga terbitlah terang, gincu merahku tak sanggup menawar waktu. Aku gelagapan. Sedih, sangat aku rasakan. Aku tak pantas mengikat janji pada kecupan di dua bibir merahnya. Tak mengapa, katanya. Aku yang mengapa, kataku.
Hingga 24 jam mendatang, berikan aku ekstra mantra, pintaku padanya. Lagi-lagi senyumannya membuat aku tak berdaya. Wahai gadis bergincu merah, padamulah aku menua ! Malam kesekian kalinya, aku meneguk habis secangkir minuman itu. Dibawah remangnya rembulan, satu dari tuan-tuan jutawan memegang aku. Lelaki itu, pandangan beringasnya menghapus gincu merahku, satu cumbuan, dengan lihai ia menciumku kasar. Sialan.
Tiba-tiba saja gadis bergincu merah itu datang, aku sigap tertawa lebar. Ekstra mantra yang ia berikan sungguh mengejutkan. Malam itu, aku menemukan impian gadis bergincu merah, lelaki beringas pemilik iPhone 7 di saku kanannya. Lelaki itu, yang telah menikam gadis bergincu merah milikku. Aku menepati janjiku. Wahai lelaki beringas pemilik iPhone 7, matilah bersamaku ! Kutikam satu persatu bagian tubuh lelaki itu, matilah kau !
Gadis berginju merahitu kembalimenghampiriku. Lagi-lagi aku tak kuasa menahan asa. Matilah sudah, katanya. Baiklah, kataku. Kemudian aku melepas satu tikaman di dada kananku. Akhirnya, aku menyatu dengannya, lagi.