Kesehatan mental merupakan komponen penting yang seringkali terabaikan dalam dunia pendidikan. Banyak mahasiswa dan peserta didik mengalami tekanan psikologis yang berasal dari berbagai faktor, termasuk tuntutan akademis, lingkungan sosial, dan stigma negatif yang terus-menerus terkait dengan masalah kesehatan mental. Dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental di kalangan pendidik dan siswa, masalah kesehatan mental di kalangan pelajar tidak dapat diremehkan.Â
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengemukakan, satu dari lima remaja menghadapi tantangan kesehatan mental yang signifikan. Di Indonesia, masalah ini bermanifestasi sebagai peningkatan tingkat stres, kecemasan, dan depresi. Sebuah studi yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2020 mengungkapkan bahwa hampir 60% siswa mengalami masalah psikologis yang berdampak buruk pada kinerja akademis mereka. Hal ini menunjukkan kebutuhan yang mendesak untuk lebih memperhatikan kesehatan mental dalam lingkungan pendidikan.Â
Menurut Purbani (2019) 29% mahasiswa mengalami depresi, sementara 35% melaporkan tingkat kecemasan yang tinggi. Penelitian ini menggarisbawahi perlunya membangun sistem pendukung yang lebih kuat bagi mahasiswa untuk mengelola tekanan akademis tanpa mengorbankan kesejahteraan mental mereka. Selain itu, Rahmawati (2021) menunjukkan bahwa stres akibat tuntutan akademis berkontribusi signifikan terhadap munculnya gangguan mental di kalangan siswa sekolah menengah.
Dikutip dari Kompas.com mahasiswa Petra Surabaya tewas akibat jatuh dari lantai 12, berdasarkan hasil penyelidikan Kepolisian Sektor Wonocolo, penyebab kematian RD diduga akibat depresi. Kepala Polsek Wonocolo, Kompol M. Soleh, menjelaskan hasil pemeriksaan terhadap sejumlah saksi menunjukkan korban sebelumnya pernah mengalami depresi dan mendapatkan penanganan dari psikiater. "Psikiater menyatakan memang ada depresi semenjak ditinggal kakeknya, itu di tahun 2021," kata Soleh saat dikonfirmasi pada Minggu (6/10/2024).Â
Ketidakadaannya peran BK (Bimbingan Konseling) terhadap permasalahan siswa maupun mahasiswa cenderung menghasilkan dampak negatif yang dapat membunuh mental anak generasi muda saat ini. Hal tersebut juga dapat memicu permasalahan besar yang harusnya dapat ditangani lebih lanjut melalui BK yang ikut andil dalam hal tersebut. Siswa sering kali tidak menyadari pentingnya kesehatan mental. Guru BK memiliki tanggung jawab untuk mendidik siswa tentang kesehatan mental, memberikan ruang aman untuk berbicara tentang masalah yang mereka hadapi, serta mengajarkan keterampilan untuk mengelola emosi dan stres. Apalagi di era generasi Z, yang tumbuh di era digital, sering menghadapi tekanan dari media sosial dan tuntutan akademis yang tinggi. Guru BK dapat membantu siswa mengenali dan mengelola stres, kecemasan, serta masalah identitas yang mungkin muncul akibat perbandingan sosial dan cyberbullying.
Berdasarkan beberapa fakta yang dikemukakan tersebut menunjukkan bahwa kesehatan mental harus menjadi fokus utama dalam sektor pendidikan. Siswa yang menghadapi tantangan kesehatan mental seringkali menunjukkan kinerja akademis yang lebih rendah. Sekitar 40% siswa yang didiagnosis dengan gangguan mental tidak menyelesaikan pendidikan mereka tepat waktu. (Hariri, 2020) Hal ini menggarisbawahi gagasan bahwa mengabaikan masalah kesehatan mental dapat menyebabkan konsekuensi jangka panjang yang serius, tidak hanya bagi individu tetapi juga bagi sistem pendidikan secara keseluruhan.
Perspektif penulis mengenai masalah ini, yakni pendekatan holistik terhadap pendidikan diperlukan, yang mempertimbangkan kesehatan mental. Pendidik harus dilatih untuk mengenali tanda-tanda masalah kesehatan mental pada siswa mereka dan memberikan intervensi dini. Lebih jauh, lembaga pendidikan harus menawarkan layanan konseling yang mudah diakses bagi siswa. Hal ini akan memungkinkan siswa merasa didukung dan memahami bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi tantangan mereka.Â
Beberapa solusi dapat diterapkan untuk memperbaiki situasi ini. Pertama, pendidik harus menerima pelatihan khusus dalam kesehatan mental. Pelatihan ini dapat berupa seminar atau lokakarya yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman tentang kesehatan mental dan metode untuk mengidentifikasi dan menangani masalah terkait. Kedua, sekolah dan universitas harus mengembangkan program yang mempromosikan kesejahteraan mental, seperti kelas mindfulness, aktivitas fisik, dan inisiatif dukungan sebaya. Dalam konteks sistem pendidikan, kolaborasi antara pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat sangatlah penting. Pemerintah sebaiknya memberikan dukungan melalui kebijakan yang mendukung kesehatan mental di sekolah, termasuk pendanaan untuk program kesehatan mental. Lebih jauh, lembaga pendidikan diharapkan untuk menerapkan kebijakan yang menganggap kesehatan mental sebagai bagian integral dari kurikulum pendidikan mereka. Sebagai kesimpulan, kesehatan mental merupakan aspek mendasar dari pendidikan.Â
Dengan semakin banyaknya siswa yang menghadapi tantangan dalam kesehatan mental, sudah saatnya kita harus mengubah perspektif terhadap dunia pendidikan. Kita harus mengembangkan sistem pendidikan yang memprioritaskan tidak hanya prestasi akademik tetapi juga kesehatan mental dan kesejahteraan siswa. Saran penulis dalam hal ini adalah pengoptimalan komitmen untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih inklusif yang mendukung kesehatan mental dan memastikan masa depan yang lebih baik bagi generasi muda kedepannya.
Referensi:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. (2020). Laporan Penelitian Tentang Kesehatan Mental di Sekolah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.Â