Mohon tunggu...
Ayla Putri
Ayla Putri Mohon Tunggu... -

Anggota aktif FLP Surabaya Mahasiswi Sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya Freelance writer MJE

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Saksi Ketiga Cinta

29 Juni 2015   12:41 Diperbarui: 29 Juni 2015   12:41 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ibu, lihat gedung itu. Restui anakmu ini untuk menuntut ilmu di sana. Dan lihatlah, Bu, dalam beberapa tahun, anakmu yang miskin ini lah yang akan memimpin Negeri ini. Dan saat itu tiba, biarkan anakmu mencium kakimu, Bu,” diucapkan ikrar agung itu tepat dihadapanku. Ibunya yang mendengarkan hanya tersenyum, menganggap impian anaknya itu terlalu tinggi. Namun dalam hati, ia berkali-kali mengaminkan doa anaknya.

Ia selalu optimis pada mimpi yang dibangunnya. Baginya, mimpi tidak hanya seperti film layar tancap yang sering dilihatnya, namun lebih pada gaji bulanan yang harus diambil, atau ia tidak akan dapat makan selama sebulan. Dengan optimis yang terpupuk subur, impian-impiannya pun terwujud. Jangankan menumbuhkan mawar di tengah padang pasir, membuat sungai emas pun ia sanggup.

Sejak kecil ia dilatih menjadi pekerja keras, tidak heran jika ia sanggup menafkahi dirinya, ibu, dan kedua adiknya sejak ditinggal mati kepala keluarga yang selalu dibanggakannya. Tidak perlu menjadi pemilih untuk menjadi orang nomor satu. Semua perkerjaan perlu dilakukannya agar kelak ia tidak perlu berpura-pura merakyat karena ia sendiri pernah menjadi rakyat. Mulai menjadi penjual koran hingga ia sendirilah yang menjadi pengisi tulisan di dalam koran. Semua dilakukannya hingga ia menyandang status sebagai Mahasiswa.

Pagi ini ia tidak pergi ke kampus, namun ia tetap datang menghampiriku. Aku senang ia datang, dengan begitu aku tidak akan kesepian. Rupannya ia telah membuat janji dengan beberapa pemuda. Dua diantara mereka tampak seperti wartawan, dan tiga lainnya seorang aktifis. Dengan suara samar mereka membicarakan hal yang terdengar ganjil. “Apa mereka tidak takut dengan mata-mata? Jangankan manusia, pohon pun dapat menjadi mata-mata, bagaimana jika pohon-pohon itu nantinya ‘kan melaporkan mereka pada sang penguasa?” kekhawatiranku bercampur rasa takut. Pohon-pohon itu terlihat tidur dan tenang, namun mereka mempunyai telinga dan pendengaran yang cukup tajam. Sedikitpun aku tidak dapat mempercayai satu dari mereka.

Pemuda-pemuda itu tengah dibakar semangat. Tidak perduli harimau macam apa yang akan menerkam, tidak perduli pemanah sehebat apa yang akan meghadang, mereka akan terus maju dan melanjutkan aksi yang mereka katakan sebagai perjuangan untuk Negeri tercinta.

“Conk, apa yang akan kau lakukan nanti jika suatu saat nanti kau berhasil memipin Negeri ini?” tanya seorang kawannya asal Madura.

“Tentu saja aku akan memakmurkan negeri ini, menentramkan rakyatku, tak ‘kan kubiarkan mereka hidup dalam ketakutan. Aku ‘kan pimpin Negeri ini dengan cinta dan kasih.”

“Kau kira ini negeri dongeng yang hanya memperlukan cinta? Negeri ini perlu kekuatan, Conk. Tanpa kekuatan, rakyat-rakyat tidak akan hormat padamu,” disulutnya rokok yang ada di kantong. “Lihat saja Presiden kita, tidak ada orang yang berani padanya. Apa ia menggunakan cinta? Ia hanya cinta pada istri dan anak-anaknya, dan menggunakan kekuatan pada rakyat-rakyatnya.”

“Kesalahan itulah yang nantinya tidak akan kuulang. Sudahlah, lihat saja nanti, kau pasti akan bangga mempunyai kawan sepertiku,” dengan senyum penuh keyakinan, ia menepuk-nepuk punggung temannya. Bapaknya yang telah tiada pernah berkata, dengan cinta akan dapat melakukan segala hal tanpa harus kita berucap. Ia pegang erat-erat pesan Bapaknya.

***

Dari buku hariannya aku tahu, pagi-pagi sekali ia berpamitan pada Ibunya. Namun kali ini ia bepamitan untuk tidak pulang beberapa hari karena ada hal penting yang perlu dikerjakannya bersama teman-temannya. Dan itu membutuhkan waktu yang banyak untuk menyelesaikannya. Seperti biasa, dikecup tangan ibunya berharap restu darinya agar barokah, begitu katanya.

Dan saat ia tengah asyik menulis tentang Ibu yang dicintainya, seorang gadis menghampirinya. Dengan malu-malu ia mengantarkan sebuah kotak makanan yang berisi roti. Aku cemburu melihatnya. Padahal baru hari ini gadis itu baik padanya, namun ia telah mendapat balasan terimakasih dan senyuman manis. Sedangkan aku? Yang hampir setiap hari bersamannya, belum pernah sekalipun ia ucapkan terimakasih, atau menganggapku hadir. Aku mengasihani diriku, namun setidaknya aku ikhlas memberikan semua yang bisa kuberikan untuknya.

“Conk, sepertinya Laras menyukai kau.”

“Kau ini ada-ada saja. Ingat kawan, Lara situ juga manusia.”

“Siapa bilang laras itu kucing? Aku juga tahu ia manusia, lalu apa masalahnya?”

“Apa kau masih tidak mengenal kawan kau ini? Aku ini masih belum mempunyai penghasilan melimpah. Mana berani aku menyukai gadis atau sekedar membalas cinta, mau kuberi makan apa mereka?”

“Jangan terlalu serius lah, kencani saja dulu mereka. Setelah berpenghasilan, barulah kau nikahi.”

“Cara kau ini cara pengecut. Berani cinta, berani menikah. Mereka memiliki perasaan, mana tega aku mengencani mereka dan memberi harapan-harapan palsu. Iya kalau aku diberi umur panjang, bagaimana kalau aku mati muda dan berjani menikahinya, bisa sampai tua ia menungguku membayar janji. Nanti saja kalau aku sudah siap, langsung saja kudatangi Bapaknya.”

“Terserah kau sajalah, lelah aku berdepat dengan kau.” Ia tersenyum penuh kemenangan meilihat temannya tidak lagi dapat membantahnya.

Ia sangat keras kepala, prinsipnya tak ubah seperti karang tua yang mengeras. Tidak seorang pun dapat mengubah prinsipnya, selagi yang dipeganngya masih dianggap baik. Meskipun temannya terlihat kesal, namun aku yakin temannya sangat kagum padanya. Seperti halnya aku yang terus mengaguminya hanya dalam diamku.

Putra Bahari.

Ditulis namanya di bawah artikel yang siap diketiknya untuk mengisi kolom minggu ini. dari artikel-artikel inilah ia melanjutkan kuliah, menyekolahkan adik-adiknya, dan memberi makan Ibunya. Dari artikel artikel ini lah ia nantinya lulus menjadi seorang sarjana hukum, dari artikel-artikel inilah ia ingin membakar semangat juang pemuda-pemuda dengan semangat juang yang benar.

Sejauh ini artikel yang ditulisnya mungkin aman. Sudah hampir setelah tahun tulisannya bersliweran dari media masa satu ke media lainnya. Dan sebelum ia menjalani kuliah, ia jual sendiri koran-koran yang berisi tulisannya. Aktifitas sebagai penulisnya tidak berhenti meskipun sebentar lagi ia mendapat gelar Sarjana Hukum. Semakin hari semakin banyak yang ditulisnya hingga seorang redaktur mendatanginya dan memintanya secara langsung sebagai wartawan tetap untuknya.

Tugas pertama telah diamanatkan padanya. Turun langsung ke medan suara rakyat yang sebentar lagi akan berkumandang di seluruh pelosok NKRI.

***

“Bu, hari ini saya sudah mulai bertugas. Doakan anakmu,” dicium tangan Ibunya seperti biasa. “Bersabarlah, Bu. Akan kubawa Ibu masuk ke dalam istana.” Tanpa ia harus bercerita, kudapat melihatnya saat kumenutup mata. Aku rasa kami telah memiliki ikatan batin. Aku dapat melihat apa saja yang ia lakukan di luar sana.

Sayangnya, aku tidak dapat mengatakan bahwa aku tidak menyukai tugas pertamanya. Hari ini mungkin akan berjalan lebih panjang, dan ia pasti sangat sibuk hingga tidak sempat memperhatikanku hari ini. meskipun ia bertugas tidak jauh dari sini, namun tetap saja kami tidak memiliki waktu untuk berdua. Ia sibuk dengan pekerjaannya, dan aku hanya dapat melihatnya dari tempatku kini berdiri.

“Conk, apa kau siap dengan aksi kita hari ini?”

“Tentu saja. Ini pasti akan menjadi berita pertamaku yang paling baik,” ditelitinya kembali kamera di tangan. “Ingatkan teman-teman untuk dapat bersikap tenang dan tidak membuat kerusuhan.” Teman Madurannya mengacungkan jempol tanda setuju.

Satu per satu pemuda berkumpul. Mereka berdiri di jalan dan meneriakkan dengan lantang suara-suara yang selama ini sengaja dikubur. Diikuti berates orang turun ke jalan. Sepertinya mereka tidak hanya Mahasiswa, banyak sekali orang yang tidak kukenal ikut meneriakkan protes dan tuntutan.

Ia terus mengambil gambar dari beberapa sisi, bersama dua pemuda yang ditemuinya beberapa waktu lalu di depanku. Benar dugaanku, mereka juga seorang wartawan. Mereka berjalan mundur dan menyamping untuk mendapat gambar terbaik.

Di barisan paling ujung para pendemonstran, Laras terus memandanginya. Ia pasti sangat mengagumi sosok laki-laki yang sedang sibuk dengan kamera. Wajahnya memerah dan Laras pun tersipu malu saat ia juga memandang dan tersenyum padanya. sekali lagi aku mengiri pada Laras. Hanya karena mereka bertatap muka, ia lagi-lagi mendapat senyumnya. Sangat tidak adil rasanya. Aku lah yang mendengar keluh, kesah, dan impian-impiannya selama ini, namun selalu gadis itu yang selalu mendapat senyumnya.

Tuhan, ijinkanlah aku sekali saja menang dari Laras. Aku juga makhlukMu, sama seperti Laras. Aku juga mengaguminya, sama seperti Laras. Namun kami tidak pernah mendapat kesempatan yang sama.

***

Hari ini tidak terlalu panas. Matahari sedang berbaik hati menyembunyikan sinarnya dibalik mendung. Tidak satu pun dari pendemonstran yang berhenti dan kembali pulang. Mereka hanya sesekali beristirahat dan sholat. Di dalam gedung sedang dilakukan diskusi. Ia pun ikut di dalam sana. Aku harap saat ia keluar nanti sudah ada berita baik yang dapat ia ceritakan padaku.

Tidak lama setelah mendung benar-benar menghapus seluruh panas matahari, ia pun keluar, diikuti seorang pemuda berambut panjang dengan wajah yang sangat kusam. Mungkin ia tidak sempat membersihkan dirinya sejak kemarin karena sibuk mempersiapkan orasi.

“Kita lanjutkan!” seseorang dari tengah gerumbolan paling depan berteriak lantang.

Ia berjalan menuju barisan belakang dan berdiskusi dengan beberapa orang, termasuk dengan Laras dan teman Maduranya. “Ini berbeda dengan yang kita rencanakan. Jangan sampai kita terprovokasi dengan semua ucapannya. Lebih baik sekarang kita mundur, atau aka nada keributan besar.”

Ia mencoba menentramkan teman-temannya. Dan benar yang diucapkan. Aparat juga tidak mau kalah. Suara tembakan-tembakan mulai terdengar. Kerikil batu bersliweran mendarat di kepala siapa saja yang apes. Untunglah Laras sudah lebih dulu masuk ke dalam gedung. Meskipun aku kurang suka dengannya, namun aku lega ia sudah aman. Sayangnya, ia masih berada di luar. Bukan hanya untuk mendapat gambar seeklusif mungkin, namun juga mencoba membujuk teman-temannya ditengah peperangan. Apa ia bisa berbicara dengan orang-orang yang tengah dikuasai amarah?

“Conk! Cepat kemari! Amankan diri!!!” taman Madurannya telah mengingatkannya.

“Kau dulu saja. Aku masih bertugas. Nanti aku akan mnyusul. Kau jaga saja Laras.”

Hujan mulai turun deras. Tuhan telah menurunkan halilitar yang terus menggelegar, namun tidak satu pun aparat atau pun pendemonstran mengalah dan mundur. Sore ini menjadi sore yang paling menakutkan yang pernah kulihat.

“Mereka sungguh keras kepala. Apa dengan kerusuhan seperti ini Negara ini akan menjadi lebih baik?” keluhnya dengan menyandar padaku.

Napasnya terengah-engah dan berat. Bajunya telah badah, begitujuga dengan celana dan kamerannya. Kulebarkan tanganku untuk melindunginya dari hujan. Di tengah sore yang menakutkan ini, setidaknya aku bisa tenang dengan kehadirannya di sini. Wajahnya begitu teduh dibawah tetesan air hujan. Untuk pertama kalinya ia memandang dan tersenyum padaku.

“Pohon ini sekarang sudah lebih bersar dari pertama kali kudatang ke tempat ini.”

Ia menyadari kehadiranku. Ia memperhatikanku …

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun