Selama ini saya banyak menulis dan berpendapat soal isu yang menyangkut dengan rokok. Jelas sebagai perokok, saya punya kepentingan soal kebijakan dan pandangan masyarakat soal rokok. Karena, bagaimanapun juga rokok adalah bagian dari hidup saya.
Tapi kemudian, dua hari belakangan ramai perbincangan soal seorang ibu yang diusir sebuah kafe karena melindungi seseorang yang ingin merokok. Jelas saya kaget, mengingat ini adalah perlakuan yang melanggar kemanusiaan saya.
Sang Ibu, Elisabeth Ongkowijoyo bersama bayinya yang juga sedang menikmati pesanannya di J.Co, kafe tersebut, diminta pergi dengan "paksa" karena keberadaan seorang perokok yang disebut sebagai "A" dalam tulisan ibu Elisabeth di blognya.
Bukan hanya diminta pergi, sang ibu juga dikatai dengan kalimat yang tidak baik oleh perokok itu. Sungguh, dua kali diperlakukan dengan tidak menyenangkan jelas akan sangat membekas di hati.
Bagi saya sendiri, prilaku "A" tadi adalah sebuah kebiadaban moral yang dilakukan dengan cara fasis dan sewenang-wenang seakan ia memiliki segala kekuasaan. Juga tidak perlu dilakukan pembelaan apapun kepada perokok bajingan ini.
Maka, dengan cara yang sangat intelek, bu Elisabeth membuat petisi online dan menuliskan perlakuan tidak menyenangkan itu di blognya. Jelas ini adalah sebuah langkah baik, untuk memberitahukan kepada dunia bahwa masih ada orang-orang yang sok berkuasa dan sewenang-wenang pada hidup yang demokratis di era reformasi ini.
Meski sama perokok, saya jelas tidak mau disamakan dengan "A". Bagi saya, merokok adalah perbuatan yang harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Merokok tak sekedar urusan main-main. Merokok dilakukan bukan untuk menunjukakan kekuatan apalagi kekuasaan. Dalam hal ini, saya selalu mencoba untuk bertanggungjawab pada setiap perbuatan saya.
Bagi saya “A” salah, titik. Tak perlu dibela. Meski harus dipahami, orang-orang seperti “A” masih banyak hidup di dunia ini menjelma bukan hanya sebagai perokok, tapi juga banyak dalam status sosial yang lain.
“A” bisa saja menjelma sebagai oknum ormas yang mensweeping tempat usaha orang lain. Bisa juga Ia hadir sebagai aparat yang memukul sopir angkot hanya karena cekcok di jalan. Malah, Ia bisa hadir sebagai pemangku kebijakan yang tanpa belas kasih menghancurkan rumah-rumah penduduk hanya karena dianggap mengganggu aktifitas pembangungan.
Hal inilah yang perlu juga dipahami oleh mereka, yang menggebu-gebu memainkan peristiwa ini untuk main hakim sendiri pada seluruh perokok yang ada. Tanpa pandang bulu, mereka menganggap semua perokok itu pasti berprilaku seperti “A”. Sewenang-wenang menghakimi orang tentu tidak berbeda dengan prilaku “A”.
Karena itulah, daripada terus menghujat, lebih baik tanda tangani petisi Elisabeth dan menyebarkan kisah tidak menyenangkannya pada orang banyak. Hal ini perlu dikakukan, agar nantinya tak ada lagi orang sok kuasa macam “A” yang hadir mengganggu ketertiban umum dengan hadir sebagai perokok, maupun pemimpin negara.