Waktu menunjukan pukul tiga sore. Aku masih terjebak diantara kemacetan yang tak kunjung reda ini. Padahal perjalananku masih panjang. Masih ratusan kilometer lagi. Mencapai setengah perjalanan pun belum. Pesawatku akan berangkat empat jam lagi.Â
Sedangkan aku masih di tempat antah berantah ini. Musim mudik memang menjengkelkan. Hampir semua jalanan macet. Jalan yang ku lalui ini sungguh parah sekali macetnya. Jarak tempuh normal hanyalah delapan jam perjalanan saja. Aku pun sudah mempersiapkannya, dengan berangkat lebih awal, yaitu jam enam pagi tadi.Â
Harusnya aku sudah sampai sekarang. Tapi, melihat lokasiku saat ini dan rentetan antrean kendaraan di depan yang tidak bergerak seinci pun, aku mulai merasakan hawa-hawa tidak enak. Sepertinya aku akan ketinggalan pesawat.
Akhirnya aku sampai di bandara pukul dua dini hari. Pesawat yang harusnya kunaiki sudah take off duluan. Bahkan sudah bolak balik beberapa kali mungkin. Aku terpaku di bandara sendirian. Pagi nanti adalah idul fitri. Aku sungguh mengutuk macet horor yang kualami tadi.Â
Penyebabnya sungguh konyol yakni karena banyak pengendara yang mengantri di pom bensin. Karena pom bensi disini jarang, maka di momen-momen tertentu sering ada penumpukan. Tapi biasanya tidak separah hari ini. Hatiku langsung mendidih begitu mengingatnya. Namun, aku masih berusaha untuk bisa mudik ke kampung halaman.
Kudatangi counter-counter penjual tiket. Ada yang masih buka, ada juga yang tutup. Semua yang masih buka bilang bahwa penerbangan ke kotaku sudah habis semua. Aku mulai pesimis. Tapi akan ku tunggu sampai counter yang lainnya buka subuh nanti. Sembari menunggu, aku mengecek aplikasi pemesanan tiket online.Â
Dari sana aku mendapatkan satu tiket pesawat terakhir. Penerbangan pertama. Sekitar jam lima subuh. Sepertinya ada orang yang membatalkan bookingan tiket itu. Tapi harga yang ditampilkan sungguh bikin geleng-geleng kepala. Nyaris dua kali lipat dari harga tiket yang sudah ku beli sebelumnya. Maklum tiket kelas bisnis.
Aku sudah tidak bisa berpikir normal lagi. Ragaku sudah lelah. Mentalku pun sudah lemah. Namun semangat mudikku masih tinggi. Jika kubeli tiket ini, maka uang lebaranku akan berkurang setengahnya. Tapi apalah arti uang dibandingkan dengan silaturahim dengan keluarga? Dengan mantap akhirnya aku beli tiket terakhir ini.Â
Bayangan senyum orang tua dan sanak famili terlintas di pikiranku. Bayangan kelezatan kue lebaran buatan ibuku terasa di lidahku. Dan bayangan bagaimana nikmatnya suasana rumah sudah terasa dibadanku. Ah indahnya semua itu..
"Pak-pak, maaf tolong pindah dari tempat ini, karena mengganggu lalu lintas orang" kata security bandara
Aku terbelalak kaget. Hentakan tangan orang itu di bahu membangunkanku. Sial, sepertinya aku ketiduran. Langsung kucek jam tanganku dan alangkah kagetnya begitu melihatnya. Aku langsung lemas selemas-lemasnya saat itu juga. Waktu sudah menunjukan pukul tujuh pagi.Â