Mohon tunggu...
Ayik H. Arif
Ayik H. Arif Mohon Tunggu... wiraswasta -

Your Creative Partner

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Do'a yang Masih Sama

12 Juli 2011   13:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:44 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_122310" align="aligncenter" width="610" caption="Do"][/caption]

“Saat wanita membuat seorang pria jatuh cinta, selamanya ia tak akan pernah bisa melupakannya. Karena bagi pria, melupakan seseorang membutuhkan waktu yang lebih lama dari seumur hidup”. Begitulah amsal yang bertahun-tahun ini terpatri dalam hatiku, menjalar keseluruh syaraf otakku, mengisi dan menembus batas aliran darahku hingga aku secara pribadi masih belum berani untuk jatuh cinta lagi. Jangankan jatuh cinta, untuk sekedar pendekatan saja rasanya aku enggan. Dan memilih untuk diam atau hanya berteman belaka.

Aku juga tidak sepenuhnya menyalahkan amsal yang dahulu sebenarnya ingin aku kirim dengan beberapa lembar surat kepadamu sebagai balasan surat yang kau kirim kepadaku. Suratmu yang 3 tahun lalu telah mengubah segala hal ikhwal tentangku; kuliahku, cita-citaku, bahkan sampai dengan peta hidupku yang telah aku gambar sejak 10 tahun yang lalu. Semuanya berubah hampir 180 derajat!

Meski sampai detik ini akupun tak mampu membuka tabir dari arti surat yang kau kirim dahulu, aku tetap menyimpan dan sesekali membacanya dengan seksama “pesan apakah yang kau maksudkan untukku?” sebelum kau memutuskan untuk pergi dari lalu lintas kehidupanku. Namun, semuanya hampir sia-sia, nihil tak berarti. Aku tak pernah mengerti, dan mungkin selamanya tak akan mengerti dengan keputusanmu saat itu.

Pernah suatu ketika, di saat hari itu adalah hari dimana engkau berulang tahun, tepatnya lima bulan yang lalu, aku sempatkan untuk membuka dan membaca suratmu. Namun, sama seperti yang sebelumnya, aku tak lagi mampu memberikan tafsiran dari surat terakhir yang telah kau kirim dan kini hampir selama satu tahun suratmu ada dalam dompetku, membisu dan tak terurai lagi makna dari untaian alphabet suratmu tersebut.

“Wanita mudah jatuh hati pada lelaki yang peduli dan baik terhadapnya. Jadi, kalau ingin memikat wanita pandai-pandailah memberikan kepedulian, pengertian dan kebaikan kepadanya”. Itu nasihat yang kau berikan saat aku ragu untuk memberikan sepenuhnya komitmenku ini kepadamu. Dan tanpa mengenal patah semangat kau tetap memberikan perhatian serta keyakinan kepadaku, hingga akhirnya akupun luluh dengan memilih untuk berani membuat komitmen, dengan sebenar-benarnya komitmen!, bahwa kita akan jalani hidup ini dengan terus ‘bergandengan tangan’ sampai kau akan menjadi pendampingku kelak.

Hingga tanpa aku sadari dalam tiap celah do’aku terbesit pengharapan, “Jika kau menjadi istriku nanti pahami aku saat menangis, saat kau menjadi istriku nanti jangan pernah berhenti memilikiku hingga ujung waktu”.

***

Namun, pesan singkat yang kau kirim tiga tahun lalu, “Sebenarnya sangat mudah mengambil hati wanita karena apa yang dia inginkan hanyalah perasaan dicintai dan disayangi sepenuh hati”. Mengantarkan pada gerbang akhir dari proses komitmen kita. Perpisahan! Ya sebuah mimpi buruk yang bernama perpisahan telah meluluhlantakan komitmenmu, tapi tidak dengan komitmenku!.

Komitmen bahkan keyakinanku kepadamu tak akan bergeser sedikitpun apa lagi berubah, “jauh di lubuk hatiku masih terukir namamu, jauh di dasar jiwaku engkau masih kekasihku”, begitu hatiku berbisik.

Aku berusaha mengevalusi diri, “apakah aku tidak sepenuh hati menyangimu?, apakah aku hanya setengah hati berkomitmen denganmu?”. Namun, semuanya nihil, semuanya tak terjawab dengan jelentreh. Dan aku merasa kau memang mengada-ada untuk menghianati komitmen kita. Meski sebenarnya kau tahu bahwa aku telah belajar untuk sepenuh hati dalam berkomitmen denganmu. Kau pun tahu jika aku telah belajar untuk menjadikan hubungan ini suci dengan tindakan-tindakan suci pula. Tapi, surat dan pesan singkat itulah yang kau kirim sebagai balasan dari proses belajarku sekaligus penutup hubungan diantara kita. Aku merasa kau telah mempermainkanku! Semoga aku salah…

“Andai saja waktu bisa terulang kembali, akan kuserahkan hidupku di sisimu, namun ku tahu itu takkan mungkin terjadi, rasa ini menyiksaku, sungguh-sungguh menyiksaku”, begitulah nasehat Adi Naff yang mewakili sebagian dari isi hatiku selama ini. Sampai saat ini, dan entah sampai kapan…

Dan aku berharap semua ini bukan kekeliruan seperti yang kukira, seumur hidupku akan menjadi do’a untukmu. Do’a yang masih sama seperti saat pertama kali aku mengenalmu. Do’a yang selalu aku munajatkan di setiap penghujung lima waktuku. Do’a yang tak akan pernah aku akhiri hingga aku telah mengetahui dan mengerti bagaimana Tuhanku memperkenankan jawaban untuk do’aku. Do’a yang hanya aku dan Tuhanku yang tahu….

Ujung Aspal Desa Wisata Kertosari, 12 Juli 2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun