BICARA soal pentingnya seni bagi kehidupan bagi aku bukan hal aneh. Sejak kecil, hasrat dan kemampuanku dalam berseni-seni telah memberi banyak pada hidupku. Sedikit saja yang aku buka. Karena kemampuanku menulis karya kreatif seni seperti puisi, cerita pendek, cerita bersambung, esai, telah mengantarkanku pada pekerjaan yang aku tekuni dari sebelum lulus kuliah sampai kini, yakni wartawan.
Namun, bukan itu yang aku ceritakan di sini. Termasuk, bagaimana aku menuntun dan membangkitkan 'keberanian' banyak orang untuk menulis dan berkarya seni. Hingga di kemudian hari mereka punya nama di bidang seni.
Aku hanya ingin menulis tentang sekelumit cerita tentang anak keduaku, perempuan. Ia siswa kelas 5 SD (kini). Ia di sekolah dikenal sebagai anak yang pendiam. Aku tidak mengatakannya introvert, mengingat di rumah ia bisa bercocoetan seperti halnya burung beo. Bahkan, dalam beberapa kesempatan tertentu ia jago debat dan men-smes -- jika diibaratkan permainan bulutangkis atau yang tergolong kelompok olahraga net alias pakai jaring -- untuk kami (Papa, Mama, dan Masnya) menjadi KO (Knock Out) atau tak berkutik.
Guru kelasnya yang penuh perhatian dan kasih sayang sampai mengajak diskusi aku, bagaimana caranya agar anak wedokku bisa ngomong di kelas? Akhirnya kami mencoba dengan cara masing-masing. Alhamdulilah seiring dengan ketekunan dan kesabarannya Bu Guru Kelas itu menyatakan anakku bisa 'bunyi', bahkan mau bernyanyi. Meski sikap pendiamnya tak sudah.Â
Aku senang dan berterimakasih pada Guru Kelas itu atas usahanya membuat anakku memperdengarkan suaranya. Sekaligus tertantang untuk bisa berbuat hal yang sama -- dalam porsi berbeda -- seperti yang dilakukan Si Guru.
Aku ingat di rumah sedang asyiknya mengaransemen puisi-puisi Syair Syiar untuk dimusikalisasi. Penggagas jenis puisi baru ini adalah Anton De Sumartana, planolog dengan segudang kegiatan yang kini tinggal di Bogor, Jawa Barat. Aku sudah minta izin Pak Anton, aku memanggilnya, untuk membuat karyanya itu menjadi lebih musikal. Ia setuju.
Hampir setiap hari aku rengeng-rengeng sambil mencatat ini dan itu untuk 'kesempurnaan' musikalisasi yang aku buat. Dari pendekatan pada teksnya, mencoba-coba iramanya, untuk akhirnya menemukan karakter lagu yang pas -- sebatas yang aku pahami dan mampu. Pendek kata, aku bisa menyelesaikan dua lagu dari buku kumpulan puisi Anton itu. Â Â
Siapa sangka, rengeng-rengeng-ku itu menarik perhatian keluargaku: istri, anak pertamaku (lanang), dan si pendiam. Meski si cewek kecil ini lebih tertarik, mengingat ia memang mengaku dekat denganku. Dalam ilmu jiwa dan pendidikan itu sebetulnya hal biasa bahwa anak perempuan lebih dekat dengan bapaknya, sementara anak lelaki lebih dekat dengan ibunya.Â
Aku kemudian seperti terinspirasi untuk membuatnya bisa menyanyikan musikalisasi syair itu. Saat bujukan bertubi-tubiku datang bahwa aku akan mengajaknya menyanyi saat aku dapat tawaran pentas. Atau jika ia mau aku akan minta kesempatan pada banyak kawan yang menggelar acara baca puisi. Ia menyatakan kesediaannya tampil jika benar aku mengajaknya.
Alhamdulilah. Seorang sahabat penyair wanita memintaku membantunya menjadi panitia untuk pentas Memo Penyair di Gedung DPR-MPR, tepatnya di Perpustakaan MPR. Mumpung sempat aku mengiyakan permintaannya. Ini seperti pucuk dicinta ulam tiba. Saat aku butuh 'ruang dan tempat' untuk si perempuan kecil itu datang kesempatan untuk bisa tampil. Siapa yang tidak senang?
Secara serius aku lontarkan kemungkinan anak keduaku itu tampil di acara baca puisi itu padanya, Mamanya, dan anak pertamaku. Mereka setuju. Namun, si bocah wanita itu minta syarat: harus ditemani Papa! Hal yang harus aku setujui, mengingat kedua orang lain dalam rumah kami itu sangat mendukung keinginannya.