Saat menginjak remaja ia dipenjara dalam waktu yang sangat lama. Ia terjerat kasus dituduh berbuat asusila terhadap majikannya. Sungguh suatu fitnah yang keji. Nama baiknya seketika hancur. Tapi Yusuf tetap tabah. Ia tak bergeming. Ia gak butuh nama baik. Ia ogah menggelar "konferensi pers" untuk klarifikasi. Ia gak tertarik mencari muka di depan manusia. Bodo amat. Toh baginya kebenaran akan menemukan jalannya sendiri.
Begitu menyakitkan perjalanan hidup seorang Yusuf. Tapi ketahuilah! rentetan rasa sakit tersebutlah yang kelak akan mendorong Yusuf menjadi orang besar. Ia dikaruniai berbagai ilmu. Termasuk ilmu takwil mimpi. Ia jadi menteri. Ia jadi raja. Ia jadi nabi. Algoritma alam membawa nabi Yusuf kepada happy ending. Itu baru kisah Yusuf, belum yang lain-lainnya.
Berikutnya, kapan kita gunakan sikap syukur? yaitu saat kita diuji dengan nikmat. Diuji dengan kemewahan. Diuji dengan promosi jabatan. Di situlah kita berterima kasih pada Allah dengan penuh pengkhayatan. Ujian kenikmatan ini kadang lebih berat dari ujian penderitaan. Banyak orang yang kuat diuji dengan kesulitan. Tapi sedikit orang yang mampu diuji dengan kelapangan.
Orang yang sudah selesai dengan dirinya akan mampu mendekatkan jarak antar nikmat dan derita. Baginya, keduanya sama aja. Gak ada beda. Ia tak menepuk dada saat mendapat nikmat. Juga tak cengeng merengek-rengek saat mendapat kesusahan. Nafasnya sama di segala cuaca.
Itulah dua sayap kehidupan yang akan menerbangkan anak manusia. Sebagai catatan, tulisan ini saya buat di tengah kegalauan karena tak kunjung terbang hehe
Bogor, 22 Agustus, dini hari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H