Mohon tunggu...
Ayi Abdurahman Sayani
Ayi Abdurahman Sayani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Akademisi

Pemikir bebas; peneliti hukum; komentator politik, olahraga, musik, fisafat, agama. No debat. Ribut secukupnya aja.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bodoh Berlebih

31 Januari 2024   05:43 Diperbarui: 9 Juni 2024   23:41 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adanya tiga pilihan calon membuat polarisasi sedikit menurun. Tidak separah 2014 dan 2019. Artinya, secara tensi, hari ini tidaklah sepanas tahun tersebut. Cebong vs Kampret sementara ini minggir dulu. Besok-besok dilanjut lagi.

Politik itu penting. Tapi mensakralkan politik juga tak kurang berbahaya. Sejarah telah mencatat itu. Menganggap dukungan kita suci dan menghujat habis rivalnya - seolah semua hitam putih - jelas itu kekanak-kanakan. Juga bagian dari ketertipuan. Dan bangsa ini memiliki rekam jejak ditipu yg lumayan mentereng: 3,5 abad dikibulin kata-kata manis Belanda.

Adakalanya, dia yg dijelek-jelekkan hari ini adalah dia yg disanjung habis-habisan pada pemilihan sebelumnya. Naif kan? Mereka yang mencaci maki dan membully Prabowo hari ini adalah mereka yang di 2014 dan 2019 mendewa-dewakan dan menuhankan Prabowo. Sebagaimana mereka yang per hari ini hendak memakzulkan Jokowi adalah mereka yang sebelumnya menyanjung habis-habisan Jokowi. Bagi saya ini sangat ironis dan memalukan. Inkonsisten. Semua orang berhak untuk bodoh. Tapi sebagian orang telah bodoh secara berlebih.

Adapula sementara orang yang bilang: jika tidak memilih calon tertentu maka diragukan keislamannya. Busyet dahh. Ini bukan perang badar, bung! Semua plus minus. Jangan berlagak suci.

Memang, sepanjang sejarah, Tuhan sering dibajak oleh para politisi yang tidak mau naik kelas. Kutip ayat ini dan itu untuk melegitimasi kepentingannya. Berjuang demi agama ataukah menjadikan agama sebagai tunggangan? Inilah yang dikritik Al Ghazali dalam Ihya Ulumiddin: Kemasan religius, isinya dunia.

Ingat, dalam konteks hari ini, politik yg bersifat ideologis itu nyaris tidak ada. Semua pragmatis bahkan oportunis. Pilpres usai: yang di bawah masih jambak-jambakkan, yang di atas berkompromi bagi hasil. Kita planga-plongo aja kayak orang baru bangun tidur. Bukankah ini bagian dari ketertipuan? Sedungu itukah kita? Cintai sewajaranya, bencilah sewajarnya. Desakralisasi politik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun