[caption id="attachment_110728" align="alignnone" width="300" caption="nasi ember berkat"][/caption]
Nasi ember??? mungkin Anda terheran-heran dengan sebutan ini. Dua kata yang spontan saya ucapkan saat kali pertama melihatnya sambil terheran. Percaya atau tidak (seperti yang tampak pada foto), nasi putih lengkap dengan lauk-pauknya tersaji dalam sebuah ember berukuran sedang warna hitam.
Keheranan itu bermula saat dua rekan kerja saya pulang dari menghadiri hajatan di sebuah desa di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Satu di antaranya, sebut saja Adi, kembali ke kantor sambil membawa ember. Diletakkannya ember plastik hitam itu di atas meja. Tak lama kemudian, dari dalam ember, Adi mengambil makanan ringan berkemasan kantong plastik. Ditawarkannya makanan yang biasa disebut rengginan itu pada kami yang sedang berada di ruangan tersebut.
Pikir saya saat itu, pulang dari hajatan, si Adi beli ember dan camilan dulu sebelum kembali ke kantor. Tapi alangkah terkejutnya kami (saya dan beberapa teman dari luar kota) begitu Adi mengeluarkan mika berisi sayur dan lauk-pauk khas sajian hajatan atau selamatan dari ember yang sama. Kontan saja kami yang merupakan orang baru di tempat itu terbengong-bengong dibuatnya.
Bagi kami yang berasal dari kabupaten/kota di Jawa Tengah bagian timur dan tenggara, penyajian makanan dalam ember seperti demikian terasa sangat unik. Sebab pada umumnya makanan yang dibawa pulang dari suatu hajatan disajikan dalam bungkusan besek (berbahan anyaman bambu), cething plastik atau kotak kardus.
"Ayo mbak, mas, ini nasinya dimakan, enak lho," kata Adi menawarkan nasi berkat yang dibawanya itu. Mendengar tawaran itu, kami pun hanya senyum-senyum karena masih merasa "surprise" dengan "munculnya" nasi berkat dari dalam ember. Saya merasa heran, sangat heran.
Ya, seiring dengan perkembangan gaya hidup yang semakin modern, nasi berkat pun ternyata tak lepas dari transisi penyajian yang beragam. Bila dahulu hanya dikemas daun, lalu beralih ke kertas, kini sebagian telah beralih ke bahan plastik.
Ini tentu saja berdasarkan asas kemanfaatan. Si penggelar hajat ingin agar tempat berkat nantinya dapat bermanfaat bagi tamunya. Hingga akhirnya ember pun menjadi alternatif. Pilihan yang cukup unik, mengingat penggunaannya yang "dialihfungsikan" sebagai tempat makanan. Tak pelak, aroma plastik dari ember baru itu pun membaur dengan aroma makanan di dalamnya. Hmmm...
Berkat telah menjadi bagian dari sebuah tradisi hajatan dalam Islam khususnya. Bermacam bentuk berkat, mulai dari makanan matang hingga mentah sebagai pilihannya. Mereka yang tak ingin repot, akan memilih untuk bahan makanan mentah seperti sembako karena lebih praktis. Sekarang memang zamannya serba instan bukan?
Seperti kata pepatah, lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Berbagai macam cara penyajian berkat tak bisa lepas dari kultur masing-masing daerah. Terlepas dari lazim tidaknya cara penyajian itu, bukan saatnya lagi untuk menyorot, mencibir bahkan mengkritik. Bukan soal perbedaan lagi, melainkan keragaman yang menjadi pijakan pola pikir kita. Ini hanya noktah kecil Indonesia dengan berbagai keragamannya. Dari hal-hal sederhana semacam ini, kita dapat belajar menghormati perbedaan.