Mohon tunggu...
Ayesha Khaira Agasa
Ayesha Khaira Agasa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Saya memiliki hobi membaca dan berkepribadian tenang

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kotak Kosong: Pertanda Pudarnya Demokrasi

20 Desember 2024   17:03 Diperbarui: 20 Desember 2024   17:03 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilihan umum adalah salah satu momen krusial dalam perkembangan bangsa dan negara. Momen dimana rakyat menentukan siapa yang akan menjalankan peran sebagai pemimpin, yang akan mengambil tanggung jawab besar dalam memerintah daerah atau bahkan negara, yang akan membawa mereka maju bersama-sama menuju kemakmuran.

Seperti yang sudah banyak orang ketahui, rakyat akan memilih siapa yang menurut mereka pantas menjabat sebagai kepala daerah di antara beberapa calon kepala dan wakil kepala daerah. Tetapi terkadang ada beberapa kasus dimana calon yang mendaftar hanya satu. Bukan berarti satu calon ini serta merta menang. Rakyat masih memiliki andil dalam pengambilan keputusan, yaitu memilih satu calon tersebut, atau kotak kosong.

Pada awalnya, lawan kotak kosong merupakan sebuah istilah untuk pemilihan dengan satu calon. Namun, semakin kesini semakin banyak calon tunggal yang melawan kotak kosong. Dari yang awalnya 3 wilayah pada tahun 2015, hingga 37 wilayah di tahun 2024 ini (berhasil dikurangi dari 43), menjadikan rekor tertinggi peristiwa kotak kosong dalam sejarah pemilu Indonesia.

Banyak yang berpendapat bahwa hal ini menunjukkan kemunduran demokrasi di negara kita. Pertanyaannya, apakah kotak kosong ini benar-benar menjadi sebuah masalah? Mengapa ini menjadi krisis dalam demokrasi kita?  Demokrasi sendiri bukan hanya tentang mekanisme pemilihan, tetapi tentang keterlibatan masyarakat yang terus-menerus dalam pengambilan keputusan (Robert Dahl, 1989).  Jika rakyatnya sendiri tidak mengikuti proses demokrasi ini dengan maksimal, tidakkah itu sudah menjadi jelas bahwa demokrasi di Indonesia sedang terkikis?

Beberapa juga masih mengira apabila hanya ada satu calon, maka calon tersebut otomatis akan memenangkan pemilu. Selain itu, jika pada akhirnya kotak kosong yang menang, dampak diterima masyarakat juga tidak kecil. Pemerintah pusat akan mengirimkan orangnya untuk mengisi posisi kosong di daerah. Hal ini membuat rakyat merasa bahwa partisipasi mereka akan sia-sia. Jika kotak kosong yang menang, mereka akan mendapat pejabat yang tidak mereka pilih walau hanya sementara. Dan jika tidak ingin itu terjadi, mereka terpaksa harus memenangkan satu-satunya kandidat, yang mana juga tidak sesuai kemauan rakyat, karena mereka 'tak diberi pilihan'.

Ada juga yang berpendapat bahwa fenomena kotak kosong ini terjadi karena pemilihan umum nasional dan pemilihan serentak kepala daerah terjadi hampir secara bersamaan. Tak ada cukup waktu bagi partai-partai politik untuk mempersiapkan calon-calon mereka untuk maju ke pilkada.

Selain itu, UU tentang pemilu tahun 2016 justru menyulitkan syarat bagi calon non-afiliasi untuk maju, membuat semakin berkurangnya calon kepala dan wakil kepala daerah. Syarat tersebut tak lain adalah mengamankan 20 persen kursi atau 25 persen suara populer, yang tentu akan menjadi hal sulit bagi partai-partai kecil.

Biaya untuk maju ke pemilu juga tidaklah sedikit. Jika kalah, maka dampak bagi partai sangatlah besar, hal ini juga menjadi salah satu faktor partai-partai kecil ragu untuk mencalonkan diri di pemilu. Kandidat akan bergantung pada pendonor kaya, dan jika terpilih pun gaji yang diterima selama masa menjabat tidak bisa mengembalikan modal semasa kampanye sehingga politik yang bersih tanpa korupsi pun semakin sulit untuk diharapkan.

Fenomena kotak kosong ini juga dapat dipandang sebagai protes politik secara tidak langsung oleh rakyat kepada pemerintah. Pemerintah yang memaksakan anggapannya tentang semakin serentaknya pemilu berlangsung maka semakin baik, pemerintah yang membatasi kebebasan partai-partai kecil untuk menyuarakan suara rakyat.

Saat ini KPU sedang memperpanjang masa pendaftaran calon kepala dan wakil kepala daerah dengan harapan dapat mengurangi jumlah kotak kosong. Harapannya, regulasi dan penyelenggaran pemilu kedepannya akan menjadi lebih baik. Indonesia harus bisa menghadapai fenomena kotak kosong ini untuk melaksanakan demokrasi yang lebih baik. Karena demokrasi kita perlu dijaga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun