Mohon tunggu...
Syarif Hidayat
Syarif Hidayat Mohon Tunggu... -

Free thinker, love to laugh, enjoying sleeping very much, like to eat, hate politics, love to travel...\r\n*Sumsel-Malang*

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pesantren Bukan Tempat Sampah

12 Maret 2014   16:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:01 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pesantren! Yah, tak terasa asing nama itu kita dengar maupun kita baca. Sebuah nama untuk melabeli sebuah tempat yang “sakral”. Pondok Pesantren, begitulah nama tempat “sakral” ini disebut. Mendengar nama ini, kita akan terbayang suasana yang sejuk, nyaman, ramai dengan alunan ayat al- Quran maupun bait-bait sajak ulama tentang Islam. Terbayang pula deretan manusia berjajar dengan rapi, lengkap dengan kopyah dan busana muslim ketika berjamaah. Ah, itu memang selalu terbayang, bayangan indah nan elok itu memang ada dan nyata. Bukan hanya sekedar angan maupun fatamorgana.

Namun, seringkali anggapan miring tentang pesantren selalu dan akan selalu ada. Bahkan yang sering terucap, ”Setelah dari pesantren mau jadi apa? Paling juga jadi ustadz ngaji.” Dan label ustadz ngaji ini sekarang seringkali dicurigai. Entah jadi teroris lah, pelaku pencabulan terhadap anak didik lah dan umpatan-umpatan lain yang beragam. Pondok Pesantren acapkali dituduh, bahkan digeledah karena dianggap menjadi sarang teroris. Hal semacam inipun pernah saya alami. Dulu setelah lulus SMA, saya diminta orang tua (Ibu) untuk masuk di Pondok pesantren, demi menyenangkan hati orang tua, permintaan itupun saya turuti meskipun dengan berat hati. Keputusan saya untuk masuk di pesantren pun menjadi tanda tanya besar buat teman-teman, baik teman saat SMA dulu maupun teman-teman di kampus, kebetulan saat itu saya juga berstatus Mahasiswa di sebuah sekolah tinggi Swasta. Banyak olok2an dari teman-teman yang menganggap saya telah menjadi bagian dari organisasi-organisasi islam garis keras atau teroris. Meskipun hanya berbentuk guyonan, namun olok2an seperti itu terdengar sangat menyakitkan. Entah, apakah ini arti sebuah ketakutan akan besarnya kekuatan pesantren, ataukah hanya untuk menjatuhkan “harga diri” sebuah pesantren.

Tuduhan-tuduhan tersebut tidak hanya datang dari luar, namun dari tubuh islam sendiri, dari mereka yang mengaku seiman. Padahal anggapan yang mereka tuduhkan tersebut salah, dan membuktikan bahwa mereka tidak mengerti dunia pesantren, atau bahkan mereka itu samasekali tidak mengerti islam sebagai agama yang rahmatan lil’alamin.

Tak dapat dipungkiri jika di Pesantren ada santri yang “nakal”, bokepmania, kleptomania, koplomania, cimengmania atau gelar narkoba lainnya. Dan Beragam tindakan yang tidak sepantasnya dilakukan oleh santri. Namun, apakah lantas hal ini menjadikan image pesantren sebagai sebuah tempat yang kotor, sarang anak nakal? Jawabanya “Tidak”. Seandainya saja pesantren menjadi sebuah tempat rehabilitasi pecandu narkoba, wajar jika mantan pecandu itu masih madat ato masih make. “Itu hanya perumpamaan jika pesantren adalah sebuah tempat rehabilitasi”. Artinya, seperti di sebuah bengkel sepeda motor, pasti banyak motor yang rusak. Ketika motor di servis itupun tidak langsung selesai dalam sekejap mata, namun perlu waktu. Karena hanya Allah lah yang punya “Kun fayakun”. Bahkan setelah motor itu selesai diservis pun, bisa jadi ia masih akan masuk bengkel lagi.

Pondok Pesantren menerima siapa saja yang ingin nyantri. Pesantren tidak memiliki kurikulum yang pasti, juga tidak pernah mematok standar dengan nilai hasil UAN, umur, dan lain sebagainya. Dari yang paling pandai hingga yang paling bodoh semua ada di pesantren. Pesantren yang kebetulan di dalamnya banyak menerima santri yang IQ nya rendah, apa lantas divonis, bahwa pesantren itu goblok? Kita jangan melihat inputnya melainkan outputnya. Jangan melihat bagaimana ketika seseorang masuk pesantren, namun lihatlah bagaimana hasil seseorang setelah digembleng di “Kawah Candaradimuka” yang bernama pesantren.

Tidak semua ustadz lahir dari pesantren seperti tidak semua pejabat lahir dari IPDN. Ini adalah sebuah kias terbalik. Jika ada ustadz ngawur, perlu dilihat dulu ia lahir dari pesantren atau tidak,mungkin ia hanya belajar islam di sekolah/kampus, ia mendadak alim hanya karena sekolah di sekolahan islam. Atau mendadak alim karena ikut organisasi-organisasi kampus yang berbau islam. Dan jika ia memang lahir dari pesantren, kitapun harus liat pesantren nya pesantren mana dan berapa lama ia belajar disana?  artinya, saya tidak menampik jika ada satu dua orang tamatan pesantren yang bertindak tidak pantas. Seperti IPDN, tidak semua mantan praja yang jadi pejabat berperilaku baik dan sepenuhnya dapat menjadi panutan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun