Gembrongseni, Rabu 2 September 2020.
Malam reboan kemarin, sebuah perhelatan bersahaja diselenggarakan pada tempat yang tak lazim ; di atas atap sebuah pasar yang biasanya digunakan sebagai parkiran. Ini kali pertama lahan itu berganti peran.
Lukisan mural yang menghias tembok, menjadi penanda sekaligus pembatas antara dunia siang dan saat malam. Mendung yang membayang sejak siang, tak mampu menahan bulan purnama. Sinarnya bertindihan dengan kerlap kerlip terang apartemen.
Kita sedang memulai sebuah inisiasi. Kita yang berarti kalian mitra, dan juga perpanjangan dari Kerapatan Indonesia Tanah Air ; sedang belajar mendengar, belajar menyerap pengalaman dari mereka yang telah berjalan lebih lama.
Malam itu kita mendengar dan menyimak suara lirih yang acap tenggelam dalam keramaian dunia sehari hari. Tiga orang yang hadir dan dihadirkan malam itu, seperti memberi jeda, memberi teguran yang mengingatkan arah jalan yang harus dilalui.
"Modal saya berkesenian hanya dua : nyali dan silaturahmi. Lainnya, akan mengikuti peristiwa. Saya tak memulai kegiatan dengan dana, yang memang tak pernah saya miliki. Silaturahmi adalah sumber yang tak berhingga, dan nyali hanyalah pencetusnya." Kata Ireng Halimun, pejalan sastra yang tak letih bergerak.
Ireng yang lahir dan besar di Minang ini, termasuk mereka yang  percaya pada kata kata. Setiap kata adalah benih untuk menciptakan dunia yang terbayang, dunia yang disusun dari gagasan.
"Setiap pengarang menciptakan dunianya sendiri. Dunia yang selalu ditawarkan pada yang lain, sebagai alternatif dari realitas sehari hari. Sastrawan merajut kata kata, untuk merayakan keragaman. Karena dengan beragamlah, kita mencerminkan kemerdekaan Kita." tambahnya, melalui mata yang menyala.
Dengan nyala keyakinan inilah, Ireng tak henti hentinya bersilaturahmi, menemui siapa saja yang bisa ditemui. Mengajak berbicara, mengolah kata dan menuliskannya. Baginya silaturahmi adalah tujuan sekaligus cara bertindak. Hanya dengan nyali yang tulus, silaturahmi memiliki maknanya.
Silaturahmi publik ia lakukan melalui festival sastra. Tak kurang dari lima kali festival sastra semesta diselenggarakan dalam dua tahun terakhir. Festival diselenggarakan berdasarkan kebutuhan, bukan berdasar jadwal waktu.
"Setiap masa memiliki kata katanya sendiri, sebagaimana setiap zaman memiliki generasi nya sendiri. Melalui sastra Semesta kita membuat upacara kelahiran kata kata dan penciptaan dunia sekaligus. Pada galibnya, sastrawan adalah rasul pembawa berita." kesimpulannya berapi api. Lima edisi majalah sastra Semesta telah diterbitkannya, hampir dikerjakan sendirian.
Ragat Sukabumi
Dalam usianya melampaui enam puluh tahun, tubuhnya terlihat kekar berisi dengan jalan yang ringan melayang. Ia seperti senang berjalan, dengan telapak kaki yang menyentuh bumi sepenuh penuhnya. Ia mudah menyisipkan dirinya dalam kerumunan, mengetahui cermat dimana harus berada. Jari jarinya kekar, seperti sedang membawa bara.
Telah empat puluh tahun ia menjadi pembawa dan pembagi energi. Ia menghidupkan keseimbangan energi pada tubuh tubuh pasiennya untuk mengembalikan kebugaran. Tak kurang dua ratus murid muridnya menyebar di seluruh tanah air, juga menjaga keseimbangan tubuh.
"Kesehatan adalah kemerdekaan. Dan sebagaimana kemerdekaan, kesehatan adalah hak segala bangsa." katanya metaforis.
Pandangannya tentang kesehatan dan tubuh yang sederhana, justru memikat. Baginya, tak ada penyakit permanen, yang terjadi hanya ketakseimbangan. Sistem tubuh yang tak seimbanglah, yang memungkinkan berbagai anasir untuk masuk sekaligus membuat ketahanan tubuh melemah. Sehingga mengembalikan keseimbangan merupakan tujuan sekaligus cara bagi penyembuhan. Membuka seluruh aliran darah yang tersumbat, dan membiarkan alam bekerja selanjutnya.
"Ada tiga prinsip untuk memulihkan ketidakseimbangan : pertama, kita harus memahami seluruh peta tubuh dan aliran darah ; kedua, mengetahui dimana titik totok pembuka, dan ketiga, Siapa yang melakukan tindakan. Tubuh Bumi yang nanti bekerja membuat keseimbangan." katanya mencoba meringkas metoda ragat Sukabumi. Dan metoda ini, baginya, berlaku pula untuk merawat masyarakat yang sakit, serta bagaimana melakukan perubahan sosial.
Ragat artinya merawat, memelihara dan menjaga raga. Sementara sukabumi, adalah tindakan mencintai bumi dan juga daerah tempatnya berasal. Ragat Sukabumi Haji Uhud, kini berkembang menjadi gerakan akar rumput yang secara radikal menjaga ketahanan tubuh dan kesehatan jiwa.
Menyuling Ingatan
Setiap subuh Budiman melangkah menyusuri Jakarta menggunakan kendaraan pertama yang lewat. Berjalan pergi dalam gelap dan pulang gelap selepas magrib, telah dilakukannya sejak empat puluh tahun silam.
Orang tua santun dengan suara lirih ini, melakukan sesuatu yang tak terbayang dalam era banjir informasi ini. Ia seperti penjaga kesadaran yang memungut ingatan yang terbuang secara sengaja atau tak sengaja.
Menyusuri lapak lapak pembuangan untuk memperoleh buku dan informasi ikutan yang ada, serta menyalurkan kepada sasaran yang tepat, merupakan pilihan hidupnya. Ia menyuling ingatan terbuang menjadi kesadaran yang hidup. Mendorong berbagai komunitas untuk menyusunnya sebagai ilmu.
Umurnya diwakafkan sebagai penyedia bahan dasar bagi pengetahuan tentang keindonesiaan. Budiman adalah pemasok individu terbesar pada lembaga penelitian dan perpustakaan dunia. Library of Congres America, House of Japan, KITLV Belanda, British Council, Australian Embassy dan tak terhitung perpustakaan universitas dan lembaga riset dunia lainnya.
Ia yang memilah dan memilih buku buku yang tepat, untuk siapa dengan tema apa buku itu pantas berlabuh. Ribuan akademisi dan pembaca yang melakukan studi tentang Indonesia, berhutang budi pada jasanya yang senyap menjaga ingatan.
"Saya hanya bermaksud untuk melawan lupa, setidaknya untuk diri sendiri. Saya hanya mengingatkan siapa tahu masih ada yang tercecer. Memang satu saat, saya akan tersingkir dan tak berfungsi. Orang sudah mudah mendapatkan informasi melalui tuan Google." ucapnya sambil menerawang.
Kegelisahannya untuk memilah dan memilih buku, berjalan merayapi seluruh sudut ibukota, mengingatkan para Sufi ahlulkitab abad pertengahan yang rindu akan kebenaran. Karenanya, kami sering menjulukinya Kitabudiman.
Wirabangsa yang menenun kesadaran
Tiga sosok inilah, yang malam itu kita sempat berbagai rasa dan pengalaman. Mereka mewakili ribuan orang yang bekerja dalam senyap, dan menjalani hidupnya dengan bersahaja. Mereka bukan selebritas dan bukan pula orang bergaji. Mereka hidup dari keringatnya sendiri, dan dengan keras kepala menikmati keindahan berbagi.Â
Yang membuat mereka mirip, adalah matanya yang selalu menyala dan kegembiraan melihat orang lain bahagia. Mereka menenun pikiran pikiran individu menjadi kesadaran bersama. Kita menyebutnya sebagai WIRABANGSA, pahlawan rakyat yang tak terlihat.
Taufik Rahzen,
Majelis Hikmah KITA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H