Sebuah Novel:
AGLRY
-- Oleh: Aydi Rainkarnichi --
#1 | Random
Jalanan penuh debu dan kebisingan tak menyurutkanku untuk duduk dan mengamati mimik muka para pengguna jalan. Mulai dari bayi, manusia termuda yang merengek kehausan, kepanasan, atau mungkin karena pup di popoknya. Sampai kakek berwajah keriput pertanda telah lama menjelajah dunia yang merasa khawatir dengan debu-debu merasuk merusak paru-parunya. Tak hanya itu, sesekali terlihat burung-burung terbang hinggap berjemur selepas melahap tumis jamur sisa makhluk yang bernama manusia, yang kemudian loncat-loncat berjajar di kabel telepon bersama kelompoknya mematukkan paruh membersihkan remah makanan tersisa. Kulihat kehidupan normal seperti biasanya, namun terasa ada yang kurang, ada satu yang hilang, Polantas tak terlihat batang hidungnya kali ini.
"Oh, ya, ini hari Senin, mungkin Pak Polisi masih apel pagi. Kukira begitu," pertanyaan kujawab sendiri dalam hati.
Walau berdebu, sebagian besar dari mereka masih menampakkan wajah semringah, belum nampak kusam muka yang begitu jelas. Entahlah, apa jadinya kalau matahari tepat dan telah lewat berada di atas kepala. Guratan muka lelah tak bisa ditawar-tawar lagi akan nampak dari wajah mereka, pun diriku.
"Wajahku mungkin akan berdebu tebal seperti halnya mereka, tak apa. Semoga saja gantengku tak hilang, imutku tak surut, tampanku masih kelihatan," hatiku bicara terlalu kepedean.
"Dan suatu saat nanti bertemu dengan pasangan hidup yang baik hatinya, tak hanya cantik jelita. Senyumnya pun manis seperti gula-gula, sedang aku semutnya?" mengkhayal tanpa batas, pikiranku lagi error.
"Ah sudahlah, jangan diteruskan. Masih jauh ini untuk memikirkan pasangan hidup," mulai tersadar, "diriku ini masih berstatus remaja tanggung."
Mencoba memfokuskan kembali perhatianku pada mereka pemakai jalanan yang sama membentang dari barat ke timur, utara ke selatan, tapi kuyakin, semua punya kepentingan berbeda-beda. Seperti halnya aku dan tukang ojek yang sama-sama duduk tertuju pada sesuatu yang menarik mata. Sama, tapi berbeda, dari sudut mana engkau memandang, berapa derajat, kisaran jarak berapa, titik fokusnya sebelah mana, dan sebagainya.
Tepat lurus di hadapanku, kulihat lambaian tangan seorang gadis muda, anak sekolahan memanggil dari kejauhan, aku menatapnya, lambaian itu tertuju padaku. Tukang ojek meninggalkan duduknya, aku pun. Ia pergi melangkahkan kaki, aku pun. Kami satu ketukan. Kemudian lari, dan aku tidak. Kukira gadis itu memanggilku, rupanya ...
"Ah, sudah. Tak perlu dibahas lagi. Aku sudah cukup merasa malu, kikuk. Aku lupa bahwa di sampingku ada abang tukang ojek. Mungkin, kalau tadi ada temanku, pastinya diriku ini ditertawakan serenyah-renyahnya," perkiraanku dalam hati. Gara-gara kepedean.
"Never mind, never mind, ne-ver mind. Never mind!" gumamku dalam hati, nampak kecut bibir ini.
Lupakan yang tadi. Aku minta lupakan kejadian tadi. Lupakan saja. Mudah bukan untuk melupakan dibandingkan mengingat?
Saatnya duduk-duduk selonjoran, tumpang kaki di atas meja, seakan raja, seakan sekretaris jenderal yang lepas tugas, seakan penulis pensiun yang tinggal memetik hasil dari tulisannya, seakan apa lagi? Kini, tak ada yang dapat dituliskan, tak ada yang dapat dibaca, tak ada soal sudah pasti tak harus ada jawaban, bukan? Cobalah tebak, aku siapa?
Jangan dibikin pusing, wahai pembaca. Bila kau belum dapat menebak siapa aku ini.
...
> Bersambung ...
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H