Bagaimana jadinya jika keberadaan puisi tidak hadir di tengah-tengah kehidupan kita? Apakah puisi hanya mengambil bagian dari yang tersisa?Â
Puisi adalah bentuk seni yang menggambarkan keindahan dalam kata-kata. Seiring dengan perkembangan zaman, puisi terus mengalami transformasi, menciptakan ruang bagi para penyair untuk mengekspresikan gagasan dan perasaan mereka.Â
Puisi menjadi pekerjaan dari salah satu penyair yaitu Agus R. Sarjono. Meskipun karya-karya beliau berupa sisa-sisa yang terjaga, puisi-puisi tersebut masih mampu menghidupkan keindahan dan keabadian dalam kata-kata. Semisal, kumpulan puisi Suatu Cerita dari Negeri Angin, di mana ditulis sejumlah sajak asli, satu sajak gagal, dan satu sajak palsu di bawah judulnya. Yang dimaksud dari puisi Agus Sarjono adalah yang satu sajak gagal dan satu sajak palsunya karena yang tersisa, jika menggunakan teori Aris Toteles.Â
Salah satu ciri khas puisi Agus Sarjono adalah penggunaan gambaran dan metafora yang kuat. Ia mampu menggambarkan perasaan dan pengalaman manusia dengan bahasa yang indah dan menggugah. Misalnya, dalam puisi "Bumi Tanpa Bulan", Agus Sarjono menggunakan gambaran bumi yang kehilangan bulan sebagai metafora untuk kesedihan dan kekosongan dalam hidup. Puisi tersebut mampu membuat pembaca merenung tentang makna eksistensi dan kerapuhan manusia.Â
Lalu, salah satu teori yang memberikan pandangan mendalam tentang puisi adalah teori puisi Plato tentang simbol. Menurutnya, puisi memiliki kemampuan untuk menciptakan simbol-simbol yang mewakili aspek-aspek universal dan kebenaran yang ada di luar dunia material. Simbol-simbol ini, menurut Plato, mengarahkan manusia untuk memahami realitas yang lebih mendalam. Puisi bukan hanya yang ditulis atau tertulis tetapi lebih dari itu.Â
Puisi merupakan sesuatu yang tersisa dari hal-hal apa yang kita kerjakan. Plato juga menganggap simbol sebagai sarana untuk menyampaikan pesan moral dan filosofis. Ia percaya bahwa puisi harus berfungsi sebagai alat untuk membentuk karakter manusia dan menginspirasi mereka untuk mencapai kebajikan. Akan tetapi, bila mengacu pada pendapat penyair seperti Wan Anwar, puisi itu dilahirkan, bahwa puisi memang bukan yang ditulis tetapi yang dibuat bahkan "membuat" sendiri sebagai kata kerja mengandung makna puisi.Â
Mengikuti pendapat Herodotus, puisi bukanlah produknya melainkan karyanya, karena yang dimaksud dengan makna atau asal-usul mengacu pada tulisan-tulisan tentang kelahiran para dewa. Plato mengaitkan puisi dengan ciptaan artistik, ilahiah, kemudian memberinya dimensi intelektual. Plato mengatakan bahwa puisi bisa menjadi bentuk ilham atau semangat yang penuh dengan ketuhanan. Puisi Plato dapat membuat hal-hal yang tidak dapat dilihat menjadi terlihat.Â
Puisi berarti penciptaan. Menurut Plato, puisi adalah sebuah proses. Menulis puisi atau syair sebagai proses kreatif merupakan kegiatan yang ditujukan pada sesuatu selain diri sendiri. Jika menilik dari pandangan Aris Toteles, hal-hal puitis adalah hal-hal yang dibentuk oleh tindakan manusia. Puisi dapat mencakup segala aktivitas produktif yang memiliki tujuan dan nilai tersendiri.Â
Menurut Agus Sarjono, karya sastra memperparah persoalan itu karena setelah membacanya ternyata ada hal lain yang tidak dipahami redaktur. Ini memberi penyair kesempatan untuk mengambil alih bagian yang tersisa. Itulah mengapa terkadang puisi hanya menjadi bagian dari sisa-sisa dari hidup kita karena sebelumnya kita terlalu disibukkan dengan hal lain sehingga saat merenung terbesit di pikiran kita tentang suatu sajak indah yang tidak lagi berkaitan dengan hal-hal yang sebelumnya sedang kita kerjakan. Misalnya, saya adalah seorang fotografer, setelah saya mendapatkan jepretan foto yang menarik, setelah saya selesai, kemudian terbesit di benak saya akan suatu perenungan yang tidak ada hubungannya lagi dengan jepretan foto yang saya dapatkan dari lensa kamera saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H