Mohon tunggu...
Ayda Idaa
Ayda Idaa Mohon Tunggu... wiraswasta -

Pembelajar yang tidak ada hentinya. Singkatnya, I am absolutely just a lady. Salam rahayu. www.aydaidaa.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Anak-anak "Menampar" Wajah Pak Menteri

16 Mei 2014   00:12 Diperbarui: 4 April 2017   16:53 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Menampar" wajah Kemendikbud? Mungkin terkesan sebuah pertanyaan yang mengesampingkan kesopanan dan kesantunan. Tetapi, saya tak hendak bermaksud melanggar tata adat sopan santun ketimuran lndonesia. Tulisan ini hanyalah sebuah cerita dan ungkapan hati yang ingin saya sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. H. Mohammad Nuh, DEA. Semoga saya tidak salah menuliskan gelar kehormatan untuk beliau.

Assalamu'Alaykum Warohmatullahi wabarokatuh,

Salam santun, Bapak. Semoga senantiasa kemudahkan adalah milik panjenengan dalam menjalankan tugas sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Terlebih dahulu saya kenalkan nama saya Ayda Ida, seorang Buruh Migran Indonesia di Hong Kong yang kebetulan sedang menempuh pendidikan S1 jurusan Science in Entrepreneurial Management di Saint Mary's University HK. Saya dan kawan-kawan pelajar migran di HK juga aktif sebagai aktivis pendidikan di Aspirasi Pelajar Indonesia Kita - Hong Kong (ApiKita-HK).

Sedikit mengabarkan tentang kawan-kawan disini bahwa ternyata masih sangat banyak para BMI yang antusias melanjutkan pendidikannya. Namun, bukan hal ini yang hendak saya bahas. Tetapi adalah mengenai adik-adik di Indonesia, saya menyadari benar siapa dan apa posisi saya. Maka dengan segala kerendah-hatian dan tanpa mengurangi rasa hormat saya ingin berbicara melalui tulisan.

Senang sekali ketika saya membaca ulasan kabar media tentang kunjungan kerja Bapak Menteri ke Papua beberapa hari lalu. Terlebih lagi tentang wacana pemberian buku-buku gratis kurikulum 2013 meski beberapa minggu ini sering saya dapati kabar tentang kesemrawutan pendidikan terkait UAN adik-adik di Tanah Air. Harapannya ini bukan sekedar wacana yang berujung pada pepesan kosong. Berikut saya ambil sedikit wacana dari situs resmi kemendikbud:

Sorong, Kemdikbud --- Kunjungan kerja Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh di Papua Barat, turut mengagendakan kunjungan ke daerah sasaran program Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T). Salah satu sekolah tempat pengajar SM3T mengajar adalah SD dan SMP Satu Atap (Satap) Ninjemor. Di sepanjang jalan menuju lokasi, rombongan Mendikbud disambut ratusan orang yang terdiri dari guru dan siswa SD, SMP, dan SMA.

"Melihat sepanjang jalan bangunan sekolah relatif bagus. Para siswa dan dan guru berjejeran menyambut rombongan, itu menampakkan bahwa pendidikan di Papua Barat sudah bangkit. InsyaAllah tidak terlalu lama adik-adik kita akan bisa memimpin bangsa ini,” tutur Mendikbud saat menyapa para siswa dan penduduk di SD dan SMP Satap Ninjemor, Kamis (08/05/2014).

Tulisan tersebut ditulis oleh Seno Hartono yang bisa diakses di halaman web kemendikbud.go.id.

Bapak Menteri yang terhormat. Insya Allah kemuliaan adalah milik panjenengan. Benarkah bahwa bangunan-bangunan sekolah disana itu relatif bagus? Maka ijinkanlah saya memperlihatkan salah satu fakta yang luput dari kunjungan kerja Anda kemarin, mungkin tim dokumentasi Anda atau rombongan Anda tidak sempat melintas disana. Silahkan perhatikan foto dibawah ini!

[caption id="attachment_307050" align="alignnone" width="960" caption="Siswa SD. Negeri Wamipirime dan gubuk di belakangnya adalah sekolahannya. Sumber foto: Fb Maruntung Sihombing"][/caption]

Berdasar penuturan kawan saya, Sdr. Maruntung Sihombing kedatangannya dalam rangka mengantarkan undangan Gerakan Membaca 1000 Anak Papua pada 02 Juni 2014 mendatang yang diadakan oleh Program Sarjana Mendidik Di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM3T) Universitas Negeri Medan. Di sekolah tersebut tidak ada fasiltas kecuali papan tulis dan papan absensi. Murid-murid hanya duduk di atas tanah yang dilapisi rumbia. Bukankah mereka anak didik Indonesia juga? Jika demikian apakah layak disebut sebagai sekolah negeri? Yang seharusnya fasilitas itu bisa diadakan oleh pemerintah tentunya.

Saya sering bermimpi, jika saya adalah Pak Menteri yang terhormat. Mungkin dengan sedikit bentakan saya bisa menekan pengadakaan fasilitas untuk mereka dengan memanfaatkan kewenangan sebagai pejabat. Atau jika saya anak dari Pak Menteri, mungkin bisa merayu dan merengek. Tapi nyatanya saya harus kembali kepada realita kehidupan, mengiris hati rasanya. Ini hanya potret kecil.

Bapak Menteri, yang hatinya mulia penuh empati dan cinta. Saya ingin mengurai benang kusut kabar dari SD. YPPGI Tobanapme Kampung Kemiri , Distrik Makki Kabupaten Lanny Jaya dengan kota terdekatnya Wamena. Sekolah Dasar ini memiliki murid sejumlah 126 siswa dari kelas 1-6. Namun, sesuatu yang mengejutkan dan sangat menyayat hati adalah HANYA SEKITAR 20 siswa saja yang memiliki seragam sekolah. Selebihnya mereka hanya berpakaian seadanya jika ke sekolah. Dan, yang bapak perlu ketahui rata-rata mereka harus berjalan kaki sekitar 30-1 jam untuk bisa mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah. Mereka melakukannya setiap hari dengan semangat belajar yang luar biasa. Mereka masih membantu orang tua bercocok tanam di ladang, mencari kayu bakar, mereka menjadi anak-anak tangkas keluar masuk hutan. Saya perlu menegaskan bahwa hampir 90% mereka TIDAK MEMAKAI ALAS KAKI BERUPA SANDAL ATAUPUN SEPATU. Jangankan sepatu yang harganya lebih mahal, seragam dengan harga Rp. 100.000,00 (Harga Wamena) per stel saja mereka kesulitan. Saya pernah membandingkan harga seragam tersebut dengan Jawa, sangat berbeda jauh selisihnya. Sulitnya medan dan tidak mendukungnya transportasi menjadi penyebab utama. Lihat, Pak. Adik-adik ini begitu antusias dengan belajar, bukan?

[caption id="attachment_307095" align="alignnone" width="960" caption="Adik-adik sedang belajar mengenai bagian-bagian tumbuhan. Foto: Maruntung Sihombing"]

14001269771690462946
14001269771690462946
[/caption]

[caption id="attachment_307096" align="alignnone" width="960" caption="Tim sepak bola kebanggaan SD. Tobanapme Foto: Maruntung Sihombing"]

1400127097984313369
1400127097984313369
[/caption]

[caption id="attachment_307097" align="alignnone" width="720" caption="Adik-adik dengan hasil kerajinan tangannya. Foto : Maruntung Sihombing"]

1400127795280904842
1400127795280904842
[/caption]

[caption id="attachment_307098" align="alignnone" width="960" caption="Sudut Baca, pojok kelas sebagai perpustakaan mini. Foto : Maruntung Sihombing"]

1400127915533206453
1400127915533206453
[/caption]

Itulah sebagian kecil hasil kreativitas mereka, Pak. Sayang sekali jika mereka harus berhenti sampai disana, terkurung dalam kesenjangan yang Njungkir Balik. Padahal Papua adalah pulau yang kaya, penyumbang devisa atas pertambangan emasnya. Surga Dari Timur, rasanya sebutan itu hanyalah sebatas sebutan. Tidak ada faktanya bahwa kehidupan para pribumi bagaikan surga. Setiap kali melihat adik-adik hati ini semakin hancur, miris. Bukan acuh terhadap permasalahan yang lain, tetapi pendidikan sekolah dasar adalah pintu gerbang paling penting. Yang Utama. Jika sekolah dasar saja tidak kita perhatikan dengan sungguh-sungguh bagaimana mungkin mereka akan mengejar ketinggalan kemajuan daerah lain? Saya sungguh tidak berani membandingkannya dengan Negara Asia yang lain, hanya cukup membandingkannya dengan Jakarta, Surabaya, Malang, Bandung, Medan, Denpasar, Yogya, Semarang dan kota lainnya. Tidakkah selama ini pendidikan dan penyesuaian kurikulum hanya diprioritaskan bagi adik-adik di kota besar saja? Bagaimana mereka yang tertinggalkan? Bandingkan foto peserta UAN SMA ini dengan tempat yang saya sebutkan.

[caption id="attachment_307099" align="alignnone" width="960" caption="Suasana UAN di Distrik Makki, ketika Sdr. Maruntung menjadi pengawas ujian. Foto: Maruntung Sihombing"]

14001284511799880699
14001284511799880699
[/caption]

Kembali kepada adik-adik sekolah dasar. Bapak Menteri yang berwibawa, Insya Allah hatinya lapang luar biasa. Mari kita tengok sejenak ruang kelas mereka. Saya menunduk, menghaturkan santun dan sisa tangis yang tak tertahan.

[caption id="attachment_307100" align="alignnone" width="960" caption="Suasana belajar mengajar. Foto: Maruntung Sihombing"]

1400128653677322647
1400128653677322647
[/caption]

[caption id="attachment_307103" align="alignnone" width="960" caption="Adik-adik sedang belajar di bawah atap yang rusak. Foto: Maruntung Sihombing"]

1400128745546111754
1400128745546111754
[/caption]

[caption id="attachment_307104" align="alignnone" width="960" caption="Mengenal Dunia Luar melalui Peta. Foto: Maruntung Sihombing"]

14001288762044162010
14001288762044162010
[/caption]

Bapak Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang saya hormati. Saya sangat paham jika kesibukan bapak sangat banyak. Apalah artinya membaca tulisan ini, hanya ungkapan hati seorang anak negeri dari seberang. Pun, saya menyadari ketidakmerataan ini sudah terjadi sejak lama. Lama sekali, demikian juga dengan sistem pendidikan tanah air yang sering bergonta-ganti menyesuaikan siapa menteri pendidikan dan kebudayaan yang bertugas. Bapak, maafkan jika saya terlalu lancang menulis kalimat yang tak semestinya. Apapun konsekuensinya, surat ini saya tulis tanpa campur tangan pihak manapun. TIDAK, hanya saya yang bertanggungjawab penuh dengan tulisan di dalamnya.

Pada pasal 31 UUD 1945 mengatakan bahwa:

(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.

(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.



(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka





mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang.



(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan





sekurang-kurangnya dua puluh persen dari





anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari a





nggaran pendapatan dan belanja daerah untuk





memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan





nasional.





(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan t





eknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai a





gama dan persatuan bangsa untuk kemajuan p



eradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Berpedoman pada pasal 31 ayat 1 UUD 1945 yang menjelaskan bahwa setiap warga berhak mendapat pendidikan, saya mengharapkan segala akan terwujudnya pasal ini. Bahwa tidak ada lagi anak-anak yang buta calistung (Baca, Tulis dan Hitung). Banyak cerita dari kawan-kawan aktivis di pelosok, ternyata anak-anak yang putus sekolah usia SD itu tidak hanya hitungan jari tapi masih sangat banyak. Sekolah gratis yang digadang pemerintah ataupun bantuan BOS (Bantuan Operasional Sekolah) nyatanya belum mampu memenuhi target. Saya bukan mengatakan bahwa jajaran pemerintah belum bekerja, namun hasilnya belum maksimal. Hal ini membutuhkan kerjasama banyak pihak untuk mengatasinya. Saya sadar benar bahwa saya tidak bisa hanya dengan terlalu banyak mengkritik atau koar-koar tanpa melakukan sesuatu. Kritik tanpa usaha bagi saya adalah omong kosong.

Bapak Menteri yang arif budiman bersahaja, panggilan saya ini bukanlah hendak menjatuhkan wibawa Anda melainkan do'a-do'a yang saya harapkan menjadi pribadi Anda. Bapak, kami hanyalah orang-orang kecil yang tidak memiliki wewenang dalam roda pendidikan yang lebih lebar apalagi status sosial hanya seorang TKW yang sering direndahkan oleh orang-orang TERHORMAT di negeri sendiri. Saya ingin meneriakan bahwa TKW itu bukan teroris, tidak perlu jijik. Apalagi pemberitaan yang hanya mem-blow up kelakuan buruk orang-orang berprofesi seperti saya.

Bersama kawan-kawan aktivis ApiKita-HK (Aspirasi Pelajar Indonesia Kita, Hong Kong) saya berusaha sebisa mungkin tidak fokus dengan anggapan itu. Meski jauh  kami akan ikut serta mewujudkan terlaksananya pasal 31 diatas sebagai tanda kecintaan kami terhadap tanah air Indonesia. Pendidikan adalah tiang utama untuk merubah suatu peradaban bangsa jika hancur sebuah pendidikan maka hancurlah masa depan bangsa tersebut. Meski sulit, meski susah tapi bagi saya tidak ada hal yang tidak mungkin bisa dirubah. Pesimis adalah pemikiran yang hanya melahirkan kemalasan. Kami memiliki beberapa program untuk adik-adik di tanah air diantaranya adalah pembagian beasiswa, gerakan 100buku dan gerakan 999seragam SD. Bekerja sama dengan para aktivis pendidikan di daerah untuk merealisasikan kegiatan ini. Setiap hari semakin banyak kawan-kawan yang menghubungi saya ingin bergabung dalam Gerakan $1 Sehari Bersama ApiKita-HK, yaitu sebuah gerakan menyisihkan sebagian pendapatan sebesar minimal $1 yang dikumpulkan pada minggu ke 3 setiap bulan. Celengan yang terkumpul inilah yang kami salurkan untuk beasiswa dan bantuan 100Buku setiap bulannya. Apakah Pak Mohammad Nuh pernah mendapati laporan dari staff kementerian bahwa bantuan pemerintah tidak merata? Masih sangat banyak adik-adik yang membutuhkan namun tidak tersentuh sama sekali. Diantaranya Nusa Tenggara Timur, Pelosok Kendari, Tuban, Malang, Subang, Medan dan terlebih Papua. Bapak yang saya hormati, kepada siapa lagi jika bukan bapak hendak saya tujukan tulisan ini? Selaku bapak bagi anak-anak di negeri ini, setidaknya bapak memiliki 1001 jalan dibandingkan kami. Rasa iba dan bersalah selalu muncul manakala saya mendapati curahan hati para aktivis di tanah air bahwa memang masih sangat banyak P.R untuk negeri ini. Berikut beberapa adik-adik diantaranya yang bisa kami rangkul saat ini.

1400143137379031934
1400143137379031934
Salah satu penerima Beasiwa ApiKita-HK di Pati. Foto : Sri Endangsih.
14001434251514586819
14001434251514586819
Penerima Beasiswa dari Magetan. Foto : Arif P/Pamela
14001435221700736942
14001435221700736942
Penerima beasiswa ApiKita-HK dari Kendal. Foto : Diani

[caption id="attachment_307145" align="alignnone" width="640" caption="Penerima Beasiswa dari Rote Ndao, NTT. Foto: Adu Ensri."]

1400144324759832681
1400144324759832681
[/caption]

[caption id="attachment_307147" align="alignnone" width="960" caption="Penerima beasiswa dari Medan. Foto : Rendra Anggara"]

14001444971593781921
14001444971593781921
[/caption]

[caption id="attachment_307150" align="alignnone" width="960" caption="Penerima dari Malang. Foto: Agus Santoso"]

1400145190664412786
1400145190664412786
[/caption]

[caption id="attachment_307151" align="alignnone" width="960" caption="Salah satu penerima Gerakan 100Buku di Kebumen. Selain Kebumen masih ada dari Kendari, Tuban, Jember, Kendal, Bandung dan lainnya. Foto: Bang Yos"]

14001452481882750055
14001452481882750055
[/caption]



Saya tidak mengharapkan penghargaan apapun, hanya ingin menebar semangat untuk berbagi. Bahwa dimana pun dengan cara apapun ketika kita mau berusaha berbakti untuk negeri maka Allah akan menuntun dan menunjukkan jalan kemudahan itu. Bapak Mohammad Nuh yang saya muliakan, adik-adik diatas hanyalah beberapa contoh dari ribuan anak yang belum mendapat sentuhan bantuan apapun dari diknas dan pemerintahan. Banyak cerita dibalik cerita yang memilukan, siapalah yang peduli jika bukan kita? Akan lebih menyayat ketika saya mendapat kiriman foto-foto dari Sdr. Maruntung Sihombing, inikah implementasi Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Ketika para wakil rakyat sibuk dengan urusan kampanye caleg (kemarin) dan pilpres bulan Juli nanti maka banyak pula anak-anak di pelosok yang terlewatkan, luput dari sentuhan dan perhatian. Akankah mereka hanya diperlukan sebagai bagian untuk sekedar mengajukan dana pendidikan? Maulah sekiranya Bapak menyampaikan kepada dewan yang terhormat, jangan hanya melakukan study banding ke luar negeri. Tetapi seharusnya kita "berbelanja" perkara apa yang dibutuhkan untuk perbaikan negeri ke tanah pelosok yang tidak disorot media. Saya menunduk malu, meneteskan airmata pilu ketika menyaksikan dua bocah ini.

[caption id="attachment_307152" align="alignnone" width="720" caption="Adakah yang bisa menyebutkan siapa tokoh di kaos adik ini? Foto: Maruntung Sihombing"]

14001459721366872200
14001459721366872200
[/caption]

Allah, Allah, Allah! Dua bocah ini hanya memerlukan kain menutup tubuh mungilnya, tanpa ada rasa perlu tahu siapa tokoh di kaosnya. Kenal pun tidak, barangkali. Bagi mereka kaos ini cukup untuk membungkus kulitnya. Adakah yang ingin Bapak katakan setelah melihatnya?

[caption id="attachment_307153" align="alignnone" width="960" caption="Pembagian Seragam dari ApiKita-HK untuk adik-adik SD. Tobanapme. Foto: Maruntung Sihombing"]

14001462132133430474
14001462132133430474
[/caption]

[caption id="attachment_307156" align="alignnone" width="720" caption="Salah satu penerima seragam. Foto: Maruntung Sihombing"]

1400146364594398328
1400146364594398328
[/caption]

[caption id="attachment_307158" align="alignnone" width="720" caption="Salah satu foto yang membuat darah mendesir, dada merasa sesak. Menurut Pak Nuh, anak-anak brilian ini bisakah memimpin Indonesia jika hanya dibiarkan tanpa pendamping dalam berkembang? Foto: Maruntung"]

14001465381693695788
14001465381693695788
[/caption]




  • Bapak Mohammad Nuh yang tercinta, semoga cintaNya selalu tercurah untuk Anda. Ada salah satu foto yang berbicara jauh lebih tajam dari apa yang saya sampaikan. Tanpa bicara, hanya wajah lugu, polos apa adanya tanpa rekayasa yang seperti disajikan oleh para pejabat di depan rakyatnya.

    [caption id="attachment_307160" align="alignnone" width="720" caption="Perhatikan tatapan Si Adik yang di sebelah tangga ketika Sdr. Maruntung mengalungkan dasi kepada siswanya. Foto: Maruntung"]

    14001469211381875744
    14001469211381875744
    [/caption]

    Tatapannya mengusik saya, Pak. Seolah berkata Kakak, kenapa tidak adil? Kapan saya mendapat seragamnya? Saya juga ingin pakai seragam ke sekolah. Oh, mungkin saya yang terlalu lebay menanggapinya atau memang hanya perasaan saja. Baru 50 stel seragam saja yang mampu kami kirimkan, semoga beberapa hari lagirpenuhi permintaan Si Adik. Sungguh, saya tidak punya keberanian berjanji apapun ketika menatapnya. Hanya kegalauan yang menempa saya dan kawan-kawan untuk semakin giat bergandengan. Ada kewajiban besar yang mestinya mampu kita selesaikan segera. Beberapa bulan lalu, saya dan kawan-kawan menitipkan paket buku bacaan dan buku tulis beserta alat tulisnya kepada ayah salah satu anggota yang kebetulan tugas di Papua. Namun, ternyata jarak Nabire dan Wamena tidak semudah yang kami bayangkan, ketika bantuan buku hendak dikirimkan sekali lagi saya kaget. Rp. 60.000/kg kali 80kg, Angka itu bukan kecil untuk orang seperti kami. Saya berpikir 4,8 juta hanya ongkir kalau dibelikan seragam atau bantuan beasiswa maka lebih banyak manfaatnya. Inisiatif pun bermunculan, bukunya dialihkan saja ke daerah terdekat dari Nabire.



Bapak, sekiranya ada waktu dan kelebihan anggaran yang tidak telalu urgent bolehkah dana tersebut dialihkan untuk adik-adik di pelosok? Terlebih yang tidak pernah dijangkau media, tudak diketahui kebutuhannya. Sekali lagi saya bertanya Apakah mereka juga bagian dari Indonesia? Jika iya, mengapa pula harus berbeda?

Bapak, sering-seringlah berkunjung ke pedalaman dan daerah perbatasan. Terutama perbatasan Kalimantan-Malaysia. Anak-anak disana juga dalam kondisi yang harus didahulukan, jangan kaget ketika menemui anak-anak jauh lebih fasih berbahasa Melayu daripada Bahasa Malaysia. Jangan kaget ketika disana berlaku uang ringgit dalam transaksi sehari-hari, jangan pernah bertanya mengapa.

Banyak sekali yang ingin saya sampaikan sebenarnya, namun menulis saja tidak cukup. Saya sangat berharap suatu hari sebelum masa jabatan Bapak selesai Allah mengatur waktu mempertemukan saya dengan panjenengan. Salam hormat, santun dan cinta kami untuk bapak disana. Titipan pesan dari kawan-kawan agar bapak lebih memperhatikan pendidikan di pelosok nusantara. Inilah kami, hanya buruh migran yang berusaha mengubah nasib. Saya juga ingin lulus kuliah meski dengan sangat susah payah dan lelah. Bapak, saya dan kawan-kawan akan tetap ingat pada tanah air. Menjaga nama baik dan adat ketimuran kami di negeri orang. Inilah kami, anak-anak yang mengutarakan suara melalui tulisannya yang tidak usah bapak pikirkan. Mohon maaf atas kelancangan saya dalam tulisan ini.

[caption id="attachment_307165" align="alignnone" width="800" caption="Penulis adalah nomer 3 dari kanan. Foto: Album ApiKita-HK"]

1400148186767911179
1400148186767911179
[/caption]

Guru saya pernah berpesan bahwa diamana pun berada harus tetap menjadi bangsa Indonesia yang utuh bukan bangsa Indonesia yang rapuh. Salam santun. Wassalamu'alaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Kepada admin kompasiana saya sampaikan terimakasih.

Penulis:

Ayda Idaa,

BMI Hong Kong.

Mahasiswi Saint Mary's University jurusan Science in Entrepreneurial Management

Ketua Aspirasi Pelajar Indoneisa Kita- Hong Kong (ApiKita-HK)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun