Mohon tunggu...
Ayda Farichatul Laila
Ayda Farichatul Laila Mohon Tunggu... -

Hidup dan nasib, bisa kelihatan misterius,fantastis,berantakan,sparadis. setiap elemennya adalah subsistem keteraturan dari sebuah desain holistik yang sempurna. menerima kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil apapun terjadi karena kebetulan.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Adakah Independensi Total?

21 Januari 2015   20:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:40 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam agama Islam kita mengenal yang namanya rukun Islam. Rukun Islam terdiri dari Syahadat, Sholat, Puasa, Zakat dan yang terakhir adalah menunaikan ibadah Haji. Rukun dapat diartikan sebagai tiang. Jika diibaratkan sebuah rumah, tiang tersebut menjadi pilar atau tiang dimana untuk menyangga atap agar mampu menaungi pemilik rumah dari panas matahari dan guyuran air hujan. Rukun Islam pun begitu, lima tiang itu untuk menjaga keselamatan ummat Islam dari malapetaka di akhirat nanti.

Adapun untuk konteks dunia kewartaan, elemen-elemen jurnalisme memuat beberapa pilar atau tiang yang menjaga keutuhan dan kepercayaan masyarakat terhadap berita yang disuguhkan oleh jurnalis. Andai seorang jurnalis tak mampu memenuhi itu, hanya sikap apatis yang akan diterima dari masyarakat.

Selanjutnya elemen jurnalisme itu ada sembilan pilar,pilar pertama yaitu mengenai kebenaran. Seorang pewarta berkewajiban mencari kebenaran dari suatu peristiwa. Bukan hanya dari satu pihak saja, tetapi dari berbagai pihak. Pilar kedua, Loyalitas, loyalitas di sini loyal kepada pihak pembaca dan pemasang iklan. Pilar ketiga, Verifikasi, merupakan elemen untuk mengetahui kebenaran suatu peristiwa. Pilar keempat, Independensi, melepaskan diri dari berbagai identitas. Tidak memandang keluarga, masyarakat sekitarnya dan sukunya.

Pilar kelima, Pemantau kekuasaan dan penyambung lidah orang yang tertindas. Nah, dalam pemberitaan seorang jurnalis harus mampu menyampaikan aspirasi masyarakat yang mempunyai keterbatasan dalam berpendapat dan menuntut hak-hak yang belum didapatkan. Pilar keenam, Forum publik. Untuk hal ini, jurnalisme bukan hanya sebagai penyambung lidah dan bukan sebagai alat untuk memperluas kekuasaan, tetapi sebagai tatanan demokrasi mengeluarkan uneg-uneg bagi masyarakat. Pilar ketujuh, Memikat dan relevan. Berita yang disuguhkan harus mampu menarik pembaca agar bertahan membaca sampai akhir. Pilar kedelapan,Proporsional dan komprehensif. Pilar kesembilan, Hati nurani.

Yang menjadi permasalahan pelik adalah terkait elemen jurnalisme yang nomor keempat, independensi. Banyak yang meragukan bahwa seorang jurnalis harus melepas segala identitas dan mengacuhkan dari segala keterpihakan. Padahal seorang jurnalis tak bisa lepas dari keterpihakan. Seperti berpihak kepada atasan dan kepada pemasang iklan. Maka dari mana seorang jurnalis mendapat uang untuk menghidupi dirinya dan keluarganya?

Sedangkan menurut Bill Kovach, mengenai independensi ini mengatakan “Jika wartawan/ media mempunyai hubungan konflik kepentingan, mereka wajib melakukan full disclosure tentang hubungan itu.” Agar para pembaca tahu dan menyadari, liputan seorang jurnalis tidak independensi total.

Contoh yang riil adalah dapatkah bebas dari kepentingan keterpihakan bisnis seperti wartawan Kompas terhadap Gramedia Group, Wartawan Bisnis Indonesia terhadap Sahid Group, Wartawan Metro dan Media terhadap Surya Paloh Group, yang merupakan bisnisman sekaligus sebagai tokoh partai Golkar? Tak bisa memungkiri bahwa independensi masih hanya sebatas kata-kata yang masih sulit untuk diimplementasikan.

Maka dari itu, independensi masih perlu ditanyakan dan diragukan dalam ramuan sembilan elemen jurnalisme. Padahal sembilan elemen adalah pilar menjaga kepercayaan masyarakat atas liputan dan berita yang diberikan oleh para jurnalis. Sama saja seperti kita berdakwah tentang agama tentang keharaman suatu benda, tetapi kita juga yang memakannya. Seperti perumpamaan orang jawa, iduh di buak didilat maneh ( Air ludah yang dibuang dijilat lagi).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun