Mohon tunggu...
Arie Yanwar
Arie Yanwar Mohon Tunggu... Administrasi - Hanya seorang rakyat yang peduli kepada negerinya tercinta

Menulis sebagai bentuk apresiasi pada pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Perppu Nomor 1 Tahun 2020: Belajar dari Pengalaman Century

7 April 2020   21:42 Diperbarui: 7 April 2020   22:01 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Berbagai sumber (diolah)

Presiden Jokowi menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. 

Perppu di tandatangani pada tanggal 31 Maret 2020. Peraturan ini merupakan peraturan super karena ikut merevisi dalam jangka waktu tertentu beberapa undang-undang seperti UU Nomor 3 Tahun 2013 Tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 20 Tahun 2019 Tentang APBN 2020.

Terbitnya perppu ini menunjukan keseriusan Pemerintah dalam merespon pandemi virus covid-19 di Indonesia. Tulisan ini akan lebih terfokus pada satu aspek dalam Perppu ini, yaitu Pasal 27 Ayat 3 yang berbunyi "Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara."

Pasal ini merupakan pasal yang sangat sakti dan dapat menimbulkan kontroversi, tapi di lain sisi sangat dibutuhkan. Sekilas klausul tersebut seakan memberi imunitas pada pihak tertentu bahwa mereka bisa kebal hukum. Tetapi jangan salah, pasal tersebut justru muncul akibat kombinasi dari gagapnya penegak hukum dengan unsur politisasi kebijakan.

Masih segar dalam ingatan saya ketika 10 tahun yang lalu Ibu Sri Mulyani memutuskan untuk mem-bail out Bank Century Rp6,7 Triliun. Keputusan ini menciptakan kontroversi bahkan menjadi bahan gorengan politik, di mana banyak pihak yang mengatakan bahwa keputusan bail out tersebut ngawur dan di tenggarai ada unsur korupsi-nya. 

Bagi orang yang mendalami ekonomi, mereka pasti paham dengan efek domino dari sebuah sistem yaitu ketika satu rubuh yang lain akan mengikuti. Begitulah resep dari terjadinya resesi ekonomi. 

Bagi seorang pengambil keputusan, lebih baik mencegah satu tiang kecil rubuh at all cost daripada mengambil risiko membiarkan tiang kecil tersebut rubuh dan tiba-tiba seluruh bangunan ikut rubuh karena tiang tersebut ternyata adalah komponen kunci yang menyangga bangunan. Begitulah kira-kira yang dilakukan oleh Ibu Sri ketika itu.

Tapi apa yang terjadi? semua pihak menyalahkan beliau dan semakin panas lagi ketika kasus ini di bawa ke ranah politik. Maka habislah Ibu Sri di sidang ramai-ramai sama politisi yang gak ngerti ekonomi tapi ingin sekali menjatuhkan beliau. 

Tentu saja ketika beliau menyatakan bahwa krisis ekonomi tidak terjadi karena beliau mem-bail out Century, tidak ada satupun yang mempedulikan karena toh pada kenyataannya Indonesia terhindar dari krisis ekonomi di tahun tersebut. Padahal bisa jadi memang Indonesia terhindar dari krisis akibat keputusan yang dibuat beliau saat itu. 

Dan yang menjadi puncak pun terjadi yaitu adanya potensi pelanggaran hukum di bidang tata usaha negara. Inipun terjadi karena memang tidak ada yang bisa mencari-cari kesalahan beliau untuk dijatuhkan ke ranah pidana.

Bagaimana dengan Perppu covid-19 ini? Hampir sama bahkan risiko politisasinya bisa lebih dahsyat dari Century. Kenapa? Karena Perppu juga memberi kebebasan bagi Pemerintah untuk dapat melebarkan defisit APBN menjadi lebih dari 3% PDB selama 3 tahun. 

Bisa dibayangkan dampak politisasinya seperti apa di kemudian hari, terutama ketika rezim berubah. Jangankan defisit bisa lebih dari 3% PDB, yang sebelumnya defisit kurang dari 3% PDB saja masih bisa jadi mainan politik karena utang secara nominal bertambah.

Ya, dengan defisit bisa diatas 3% PDB, utang kita pasti akan bertambah dan ini adalah gorengan politik paling standar. Walaupun gorengan tersebut lagi kurang laku akibat pandemi, tidak menutup kemungkinan permintaan pasar untuk gorengan tersebut meningkat pasca pandemi. Dan tentu saja, permintaan tersebut makin meningkat menjelang Pemilu.

Saya pribadi walaupun tidak suka diri saya berutang, tapi saya menganggap utang negara berbeda dengan utang pribadi. 

Jika dengan berutang rakyat bisa makmur, why not? Tentu saja itu bisa menjadi perdebatan kusir tanpa ujung pangkal, terutama di media sosial. Keberadaan Pasal 27 Ayat 3 Perppu 1/2020 dapat setidaknya mengurangi tensi politik menjadi tidak segaduh kasus Century 10 tahun lalu. 

Setidaknya dapat mencegah jangan sampai orang-orang yang beritegritas dan merupakan putra-putri terbaik bangsa harus duduk di kursi pesakitan akibat keputusan yang mereka buat. 

Walaupun terus terang, potensi untuk menjadi gorengan politik pasca pandemi sangat mungkin terjadi terutama di media sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun