Pertama, mari kita pakai matematika sederhana saja, untuk memproduksi biodiesel sebanyak 6 juta KL dibutuhkan 6 juta ton CPO. Ini berarti akan mengurangi porsi ekspor CPO sebesar 6 juta ton untuk meng offset impor BBM sebanyak 6 juta KL.
Jika ekspor CPO adalah X dan impor BBM adalah M serta X-M=0; maka yang akan terjadi dengan kebijakan ini adalah mengubah X-M menjadi --X-(-M) hasilnya ya 0. Dengan kata lain kebijakan ini tidak akan berpengaruh pada neraca perdagangan kita.
Tapi okelah, saya menggunakan asumsi ceteris paribus. Mari kita lihat indicator lain yaitu harga ICP dan harga CPO. Harga CPO di tahun 2018 sedang lesu masih dikisaran 600an-700an USD per ton, tapi harga ICP juga gak tinggi-tinggi amat sekitar 60an USD per barel. Dengan kata lain satu-satunya asumsi yang bisa menolong adalah apabila impor BBM lebih mahal dari pada ekspor CPO. Dan saya yakin inilah asumsi yang digunakan oleh para menteri kita (semoga ya).
Tapi ada faktor kedua yang saya yakin tidak diperhatikan para elit kita. Kenapa target B20 kita tidak pernah tercapai? Instrumennya ada semua yaitu BK dan PE bahkan ada CPO fund juga untuk mensubsidi biodiesel yang dicampur dengan BBM subsidi. Saya yakin jawabannya lebih teknis daripada sekedar kebijakan.
Pencampuran B20 belum tentu aman untuk mesin kendaraan.
Percobaan yang dilakukan memang memperlihatkan bahwa B20 merupakan pencampuran yang optimal untuk mesin kendaraan, tapi mesin kendaraan yang seperti apa? Walaupun Gaikindo juga dilibatkan dalam uji coba B20, tapi ya Gaikindo kan cuma club nya salesman mobil doank. Pengalaman saya menggunakan mobil diesel justru menyatakan dari pabrik mobilnya sendiri untuk jangan mencampur diesel dengan biodiesel lebih dari 10%.
Hal ini sama saja dengan penggunaan oktan kendaraan. Mesin mobil yang baru kalau di isi premium yang iktan 88 akan batuk karena pabriknya sudah menulis batas minimal oktan bensin yang harus digunakan. Hal yang sama juga berlaku untuk biodiesel. Hanya karena bisa menggunakan campuran 20% bukan berarti tidak akan bermasalah pada jangka panjang.
Tapi Ok, itu dari sisi konsumen bahan bakar sebagai pemilik mobil, bagaiman dari sisi si pengoplos dalam hal ini adalah Pertamina. Kita anggap saja konsumen gak peduli dengan campuran 20% , lha wong masih banyak koq pemilik mobil baru yang berburu premium. Tapi kenapa Pertamina tidak mau memproduksi biodiesel campuran 20%?
Untuk hal ini jawabannya sederhana yaitu profitabilitas. Berdasarkan hasil berburu data dari Kementerian ESDM capaian B20 untuk PSO tercapai sedangkan yang non PSO tidak. Dengan kata lain untuk biodiesel bersubsidi gak ada masalah B20 ini, tapi yang non subsidi menjadi bermasalah. Koq bisa begini? Ya sederhana harga biodiesel masih kalah kompetitif dengan harga minyak dunia.
Yang membuat masalah semakin pelik adalah pemerintah mengurangi porsi BBM bersubsidi dengan kata lain B20 yang akan dikejar merupakan biodiesel yang nonsubsidi. Siapakah yang akan menjadi korban dari kebijakan blunder ini?
Pengusaha kelapa sawit akan selalu diuntungkan, mereka mau produksi biodiesel atau jualan CPO, gak ada masalah. Pengusaha biodiesel akan menjual biodiesel sesuai harga keekonomian mereka, pemerintah gak akan bisa ngutak-ngatik harganya. Kalau gak ada yang beli ya akan diekspor biodieselnya.