Mohon tunggu...
Arie Yanwar
Arie Yanwar Mohon Tunggu... Administrasi - Hanya seorang rakyat yang peduli kepada negerinya tercinta

Menulis sebagai bentuk apresiasi pada pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Melahirkan di Inggris (2): "The Power of Emak-emak"

4 Juni 2018   05:52 Diperbarui: 4 Juni 2018   10:38 2650
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ini adalah bagian kedua dari tulisan ini, bagian pertama bisa dilihat disini. menyambung tulisan sebelumnya, maka saya akan menuliskan proses persalinan yang terjadi pada anak saya yang kedua.

Kebetulan sebagai suami yang bertanggung jawab, saya merasa punya kewajiban untuk mendampingi istri pada saat bersalin dan ini saya lakukan baik pada persalinan anak pertama dan kedua.

Tulisan ini juga saya buat bukan untuk pamer tapi untuk memberi gambaran umum terkait proses persalinan termasuk perbedaan di Indonesia maupun di UK. Mohon maaf kalau ada kata-kata yang terlalu vulgar tapi memang apa adanya.

Sebagai informasi kedua anak saya lahir secara normal, tapi terus terang yang kedua inilah yang paling heboh. Tapi sedikit saya cerita untuk yang pertama dulu.

Proses persalinan anak pertama saya cenderung mudah. Memang terjadi proses yang cukup lama antara pembukaan 1 sampai ke 2. Saya masih ingat bahwa istri saya mengeluh ketika terjadi kontraksi di hari Kamis disertai munculnya flek dibagian bawah. Yah, maklum namanya juga anak pertama, langsung semangat 45 bawa istri ke RS HGA depok yang kebetulan jaraknyanya enggak jauh dari rumah mertua. Kebetulan istri saya lebih memilih untuk tinggal bersama mertua menjelang persalinan.

Sesampai di rumah sakit langsung ditangani oleh dokter yang biasa mengani istri saya. Dan kata dokter adalah "ini baru robek dikit, pembukaan 1 juga belom". Yowes, balik kanan ke rumah mertuaku.

Hari Jumat, terjadi lagi kontraksi, kali ini lebih sering, flek makin banyak, balik lagi ke rumah sakit. Sesampai di sana sama dokter di cek, alias periksa dalam, oh sudah bukaan 1. Tapi masih lama, karena pembukaan 1 memang masih sangat dini, jadi disuruh balik ke rumah. Ok lah aktivitas dimulai, saya mendapat saran bahwa salah satu cara untuk mempercepat terjadinya pembukaan adalah dengan melakukan hubungan intim, lha piye melakukannya, perut istri udah gede banget plus terkadang mengaduh padahal enggak diapa-apain plus ada flek. Yah sudahlah, pake cara konvensional saja, yaitu jalan kaki sama gerakan squad dan berhubung istri saya rajin senam hamil, maka gak ada masalah juga dengan cara konvensional.

Masuk hari sabtu, saya bawa lagi ke rumah sakit, ternyata masih bukaan 1. Ya sudah saya ajak jalan-jalan, cuma jalan pakai mobilnya lebih banyak dari jalan kaki. Walhasil begitu hari minggu masih pembukaan satu. Yowes, saya ajak jalan kaki di studio alam TVRI, semi-semi tracking gitu lah.

Cek lagi di rumah sakit baru bukaan 2, walah lama ya. Akhirnya saya ajak jalan-jalan di kampus UI lebih ekstrim lagi.

Dan baru malamnya, istri saya mengalami kontraksi cukup dahsyat dan sering, saya bawa ke rumah sakit ternyata masih bukaan 3 tapi sudah ditahan. Ya sudah gapapa.

Proses dari mulai pembukaan 3 sampai sempurna terbilang cukup cepat sehingga senin subuh sudah bukaan 10, air ketuban dipecah oleh dokter, istri saya kontraksi, saya sempat melihat kepala anak pertama saya sedikit terus ditambah satu kali mengejan dan joss, si bayi langsung delosor keluar dari rahim ibunya.

Terus terang saya tidak tahu bagaimana sakitnya kontraksi melahirkan karena tidak ada yang bisa menggambarkan dengan kata-kata. Ya sudah saya anggap sakit saja, yang bahkan ketika jalan lahir si bayi di jahit oleh dokter pun, istri saya nyaris enggak ngerasa apapun lagi, mungkin karena efek bius lokal dan sakit waktu melahirkan memang jauh lebih sakit daripada waktu dijahit.

Tetapi proses kelahiran anak kedua inilah yang benar-benar yuhui banget.

Berhubung di UK setiap kehamilan hanya ada jatah 2 kali USG maka pada saat cek kehamilan di minggu 34, bidan merasakan sepertinya kepala bayi ada di atas dengan kata lain sungsang dan istri pun dirujuk kembali untuk USG di minggu 35 dan benar ternyata kepala bayi posisinya sungsang dan kehebohan pun dimulai.

Pada saat anak pertama, istri saya sudah rajin ikut kelas senam hamil di bulan ke-7. Nah di UK, senam hamil bukanlah suatu hal yang biasa, malah ketika saya tanya ,"Is there any maternity exercise to do?" Jawaban bidan cuma simpel, "no!" Tapi kalau mau mengikuti kelas yoga, ya silakan saja.

Padahal setahu saya bidan-bidan di Indonesia banyak yang menyarankan para bumil untuk ikut senam hamil yang salah satu kegunaannya adalah untuk mencegah sungsang.

Berhubung di UK senam hamil tidak ada plus tidak ada jatah untuk USG setiap bulan barulah ketahuan kalau posisi bayi sungsang di minggu 35 alias masuk bulan ke-9. Sehingga kami pun di suruh wait and see dan datang lagi minggu berikutnya untuk USG lagi. 

Ketika saya tanya langkah apa yang sebaiknya dilakukan, sang bidan di rumah sakit malah berkata tetap aktif seperti biasa dan ketika istri saya berkata, "I'll pray to god for the baby" eh bidan cuma cekikikan doank dikira lawakan cak lontong kali ya.

Untung bidan yang biasa nangani istri saya lebih positif ngomongnya dengan berharap bahwa posisi bayi segera ke bawah. Istri saya pun semangat senam hamil dan berguru padaYoutube.

Masuk ke minggu 37 hasil scan USG awal menyatakan kepala bayi masih sungsang walaupun akhirnya berubah jadi transfer atau melintang. Walhasil, kami pun harus bertemu dokter dan gak pake basa-basi, dokter langsung menyatakan kalau istri saya sebaiknya di observasi di rumah sakit selama 1 minggu.

Terus terang, rumah sakit nya memang bagus dan pelayanannya juga sangat baik dan tentu saja GRATIS. Tapi siapa sih yang tahan di rumah sakit? Lagian siapa juga yang mau urus anak pertama kalau ibunya harus di rawat inap di RS, sehingga kami putuskan untuk pulang.

Dokter pun bersedia melepas setelah mengetahui kalau rumah kami cukup dekat dengan RS, padahal sebelumnya udah lumayan ngotot supaya istri di rawat inap selama 1 minggu.

Terus terang saya salut dengan begitu perhatiannya tenaga medis di UK, hanya karena bayi sungsang, si ibu harus di observasi di RS selama 1 minggu, apalagi ini pasien "BPJS".

Dokter juga mengatakan bahwa jika di minggu 38 posisi bayi belum berubah maka harus ada tindakan yaitu ECV (external cephalic version) yaitu posisi bayi di ubah ke normal secara manual, setelah itu ketuban dipecah lanjut dengan induksi. 

Sepengetahuan saya, dokter di Indonesia tidak ada yang pernah melakukan ECV, karena biasanya mereka langsung menyarankan cesar, sedang tehnik ini sendiri sering dilakukan oleh dukun beranak atau bidan yang sudah pengalaman (walau belum tentu professional).

Ternyata di UK teknik ini dianggap suatu hal yang wajar, dan dilakukan oleh tenaga ahli yang professional (baca: dokter spesialis) dengan tingkat keberhasilan di atas 80 persen.

Risiko yang ada paling si bayi brojol di TKP, itu sebabnya ECV hampir selalu dilanjutkan dengan proses persalinan.

Kebetulan istri saya juga curcol dengan teman-temanya yang pernah cesar dan induksi dan mendengar kabar bahwa proses induksi lebih sakit daripada cesar, ya dia pun memutuskan untuk cesar apabila posisi bayi masih belum normal di minggu 38.

Baca juga: Melahirkan di Inggris: Pasien BPJS Rasa VIP

Di UK cesar hanya dilakukan di minggu 39 atau ketika si ibu punya masalah, tapi semua kelahiran diatas minggu 37 sudah dianggap suatu hal yang wajar alias bukan prematur. So, we just hope for the best.

Tapi mertua tampaknya belum puas, sehingga beliau pun konsultasi sama temannya yang merupakan bidan senior dan istri juga sempat video calll dengan bu bidan.

Ternyata posisi senam hamil yang dilakukan istri yang dipelajari dari Youtube adalah salah sehingga diberikanlah crash course teknik apa yang harus digunakan supaya posisi bayi normal yaitu posisi guk-guk atau lebih dikenal dalam yoga sebagai downward facing dog position (gambar 1).

anmolmehta.com/hatha-yoga-position
anmolmehta.com/hatha-yoga-position
Sebagai orang yang pernah yoga, saya tahu posisi ini termasuk yang sulit untuk dilakukan, bahkan saya pun cuma sanggup melakukannya selama 1 menit maksimum.

Sedangkan bu bidan menyuruh istri saya untuk melakukannya selama 10 menit walau boleh di bagi-bagi tapi mencapai 10 menit dan 2-3 kali dalam sehari.

Dan istri saya pun sanggup melakukannya, memang the power of emak-emak sangat luar biasa. Alhamdulilah, begitu scan di minggu 38 posisi kepala bayi sudah dibawah dan sudah masuk ke panggul sebagian.

Selama kehamilan, istri saya mengalami sampai 6 kali USG yang 2 karena sesuai jadwalnya sedang yang 4.... Yah gitulah. Beruntung diakhiri dengan kepala bayi dibawah, karena istri saya juga kebetulan ingin melakukan water birth yang merupakan suatu hal yang wajar di UK bahkan dianjurkan sedangkan di Indonesia baru beberapa RS yang memiliki fasilitas tersebut dan tentu saja bukan untuk pasien BPJS.

Hal ini karena proses kelahiran di air, konon katanya tidak sesakit di kasur dan setelah melahirkan si ibu sudah bisa langsung berdiri dan proses sembuh pun jauh lebih cepat.

Di RS terdapat 2 fasilitas melahirkan, yaitu maternity ward dan labour ward. Birth pool terdapat di maternity ward, jadi semua bumil yang ingin melahirkan normal dan tidak ada masalah apapun bisa langsung kesana, sedangkan labour ward hanya untuk para bumil yang bermasalah termasuk mereka yang harus cesar. 

Gambar 2 adalah ruang periksa untuk bumil untuk melihat pembukaannya sedangkan labour ward hampir sama dengan foto tapi lebih luas karena ada sofa untuk si penunggu bumil serta infant warmer dan kardiotografi.

Dan sampailah hari yang ditentukan yaitu HPL, tapi sama sekali tidak ada kontraksi atau apapun. Tapi tidak ada kekhawatiran karena plus minus 2 minggu dari HPL adalah suatu hal yang wajar. 

Selang 2 hari, mulai ada flek, disinilah perbedaan di UK dengan di Indonesia. Jika waktu anak pertama, ketika ada flek kita bisa langsung ke dokter, di UK gak bisa.

Saya harus telpon RS dulu dan mendapat pengarahan via telepon. Bidan di ujung telepon pun menyatakan munculnya flek adalah hal wajar jadi tunggu saja sampai kontraksi 3-5 menit sekali baru nanti telepon lagi. Memang sistem di UK benar-benar membuat (atau memaksa) bumil menjadi bunda perkasa, karena di Indonesia, baru kontraksi saja sudah bisa di bawa ke RS bahkan minta di tahan di sana alias opnam.

Hari berikutnya terjadilah hal yang dinanti, yaitu kontraksi 3-5 menit sekali, saya telpon RS dan meluncurlah kami ke sana, lengkap dengan semua perlengkapan tempur.

Sampai rumah sakit, masuk ruang periksa (gambar 2), dan bidan pun periksa dalam, sambil berkata, "It's still early labour" alias baru pembukaan 1.

Bumil baru akan ditahan jika sudah bukaan 4, sebelum itu silakan menunggu di rumah. Padahal kontraksi sudah regular dengan durasi sekitar 1 menit. Tapi kata bidan rasa sakitnya masih kurang pol.

Bidan juga menyarankan untuk menggunakan paracetamol untuk mengurangi rasa sakit. Terus terang waktu anak pertama, tidak ada dokter yang merekomendasikan penggunaan pain kiler seperti paracetamol, jadi ya sudah sakitnya ditahan saja dengan cara tarik nafas dan kamipun pulang ke rumah.

Dokumen Pribadi
Dokumen Pribadi
Keesokan harinya, hal yang sama terjadi lagi plus rasa sakit sepertinya makin menjadi. Walau istri saya merasa masih sanggup menahan sakit, tapi berhubung ada ortu di tempat saya dan sepertinya ibu mertua gak tega lihat anaknya kesakitan, yowes saya telepon rumah sakit dan meluncurlah kami ke sana.

Sampai di ruang periksa sang bidan langsung mengatakan bahwa ini belum saatnya lahir hanya dari raut muka istri. Weleh, bidannya canggih juga ya padahal masih muda, kalau di Indonesia mungkin cuma yang senior doank yang bisa pede ngomong kayak gitu.

Si bidan pun menawarkan periksa dalam, walau istri saya sebenernya gak mau, tapi dasar suami ngeyelan saya iya kan saja. Dan ternyata memang pembukaannya naik jadi 2. 

Kali ini istri benar-benar di suruh mengkonsumsi paracetamol dengan dosis 1 gram setiap 4-6 jam sekali. Bidan mengatakan bahwa paracetamol tidak akan menghilangkan kontraksi tapi bisa menekan rasa sakit sampai setidaknya pembukaan 4.

Dan jika memang sudah saatnya, maka rasa sakit tidak akan bisa ditahan oleh apapun juga alias paracetamol juga gak bakal mempan. Ok, kami pun nurut kali ini dan istri saya pun minum paracetamol 2 tablet 500 mg sekali minum.

Beruntungnya ketika pulang lagi, supir taxi yang mengantar kami melihat bahwa kami muslim sama seperti dia, sehingga dia menawarkan jika harus ke RS lagi maka telepon dia saja langsung karena taxi bisa saja lama.

Memang taxi penuh ketidakpastian, kadang kala bisa cepet kadang kala mesti nunggu dan bisa sampai 1 jam nunggunya. Maklum kota tempat kami tinggal tidak ada uber atau jasa transportasi online kayak di kota besar seperti London.

Waktupun berlalu selama 2 hari tanpa ada sakit karena kontraksi, karena istri terus minum paracetamol setiap 6 jam sekali. Kamipun melanjutkan aktifitas jalan kaki terus menerus keliling kota Exeter sampai kaki cenut-cenut. 

Baru pada hari ketiga yaitu Rabu, istri saya mulai merasa kesakitan, tapi berhubung saya tahu dia tidak minum paracetamol dalam 8 jam terakhir ya saya anggap santai saja.

Bahkan ketika melihat ada darah segar keluar dalam jumlah sedikit pun masih saya anggap normal.

Sampai istri saya sudah terus merintih kesakitan pun masih saya anggap normal, sampai ibu mertua mohon-mohon supaya saya menelpon rumah sakit.

Akhirnya saya tanya istri saya dan jawabannya sudah gak jelas dari situ baru saya tahu itu adalah saatnya. Pun begitu telepon RS, bidan di ujung telepon juga sudah bisa mendengar istri saya kesakitan dan berkata, "Come to the hospital right away".

Wow, sepertinya moment of truth nih, tapi masih ada 1 masalah yaitu terakhir pesen taxi saya harus menunggu 1 jam baru taxinya datang, repot juga kalau kayak gitu kondisinya. 

Akhirnya saya telepon supir taxi yang terakhir mengantar kami, dan dia pun datang dengan segera, padahal sudah berselang 3 hari dari terakhir mengantar kami.

Sesampainya di RS, si supir membawakan semua tas perlengkapan kami sampai ke depan resepsionis bahkan mengatakan bahwa barang-barang kami biar dia yang urus sementara saya cukup fokus urus istri saya saja. Saya juga agak canggung karena ketika dia mengantar kami, argometer taxi nya dimatikan.

Bahkan ketika sampai RS pun dia menolak untuk dibayar, alhamdulilah masih banyak orang baik di sekitar kami.

Ketika bertemu bidan, si bidan pun hanya dari raut wajah mengatakan bahwa ini sudah saatnya tapi harus cek dalam dulu.

Dan benar saja, ternyata sudah pembukaan 9 pantes saja istri saya kelojotan sakitnya, untung gak brojol di rumah nih.

Tetapi ada satu hal yang membuat saya khawatir, yaitu ketika bidan mengatakan bahwa kepala si bayi masih terlalu tinggi.

Terus terang saya gak ngerti maksudnya apa, tapi kira-kira kepala si bayi belum 100 persen masuk ke panggul sehingga dibawa lah kami ke labour ward, weleh alamat nih.

Benar saja, ketika dokter datang sambil mengatakan bahwa ada risiko si bayi bisa terlilit tali pusar sehingga harus di cesar. 

Tapi ketika di USG semua normal, berarti akan ditunggu sekitar 4 jam untuk kemudian dipecah ketubannya dan diharapkan kepala si bayi akan masuk sempurna ke panggul bersamaan dengan pecahnya ketuban supaya bisa keluar normal. Tapi tetap posisi harus di labour ward, jaga-jaga seandainya harus cesar. Ya sudahlah, yang penting saya tahu istri saya ditangani dengan baik.

Untuk mengurangi rasa sakit pada saat kontraksi, RS menyediakan 3 jenis pain killer yaitu gas Entonox atau lazim disebut gas tertawa (N2O), suntikan pethidine yang diberikan dibagian paha bawah dan epidural.

Di Indonesia yang paling lazim diberikan adalah epidural padahal efek sampingnya paling banyak dan di UK hanya diberikan untuk yang melahirkan secara cesar. Sedangkan pemberian gas masih sangat jarang di Indonesia padahal efektifitas cukup tinggi dan efek samping nyaris tak ada. 

Sewaktu kelahiran anak pertama, istri saya tidak menggunakan pain killer sama sekali, dan itu cukup membuat bidan kami takjub karena ternyata istri saya memang emak-emak perkasa.

Untuk kehamilan yang kedua, istri saya memutuskan menggunakan gas tertawa sebagai pain killer. Namanya boleh gas tertawa, tapi tetap saja gak ada yang tertawa selama proses persalinan.

Itu juga uniknya di Indonesia bahwa pemahaman terkait pain killer serta jenis dan efeknya masih sangat terbatas.

Sedangkan kehamilan kedua ini, kami sudah diberi pengetahuan dan ditawarkan berbagai opsi untuk pain killer untuk masa persalinan sejak trimester ke dua.

Sehingga kami lebih aware dengan opsi pain killer yang ditawarkan RS. Jadi mungkin istri saya gak pakai pain killer waktu kelahiran anak pertama lebih karena ketidak tahuan serta kekhawatiran akan efek samping dari pain killer yang ditawarkan dan memang opsi gas juga kan tidak ada.

Selain itu di perut istri juga dipasang kardiotograf (gambar 3) untuk mengetahui denyut jantung bayi dan tingkat kontraksi bumil. Ini juga perbedaan kardiotograf yang digunakan sewaktu kelahiran anak pertama, dimana kardiotograf ini juga memperlihatkan hasil bacaan dalam bentuk angka dan print sedangkan yang lazim di Indonesia hanya menampilkan grafik yang diprint di kertas saja.

Tentu saja hal ini sangat berpengaruh dimana grafik yang di print cenderung lebih sulit untuk dibaca, sehingga wajar jika pendamping bumil cenderung mengabaikan dan menggangap semua kontraksi yang dialami bumil ya sama saja sakitnya.

Dokumen pribadi
Dokumen pribadi
Padahal dengan kardiotograf yang bisa memvisualisasikan angka, maka sakitnya kontraksi dapat di quantitatifkan sehingga lebih mudah bagi pendamping bumil untuk ikut membayangkan betapa sakitnya kontraksi.

Sebagai bayangan, kardiotograf yang di tempel ke perut istri saya menampilkan banyak bacaan angka untuk kontraksi di mana angka 0 untuk tidak sakit sama sekali sampai angka 127 yaitu maksimum angka terdeteksi dan saya baca. Tapi baru angka 30an saja, istri saya sudah megap-megap dan begitu mencapai 40 harus sudah menghirup gas. Hmmm... gimana 127 ya dan hampir setiap kontraksi mencapai angka segitu.

Sekitar jam 11 malam, dokter memutuskan untuk memecah ketuban supaya posisi si bayi ikut turun.

Dia juga memakaikan elektroda ke kepala bayi sehingga denyut jantung si bayi bisa langsung dimonitor. Dengan kata lain, selain menggunakan alat sebesar sedotan untuk memecah ketuban ada alat lagi yang sebesar sedotan buat minum coca cola porsi jumbo di McD dimasukan kejalan lahir si bayi di mana elektroda yang ditempel ke kepala bayi kira-kira sebesar koin Rp 100 lah plus kabel tipis mengular keluar disambungkan ke kardiotograf. Sungguh bukan pemandangan yang menyenangkan mana habis buka puasa lagi.

Air ketuban pun terus keluar, tapi bidan selalu mengganti taplak yang menjadi alas, dan bahan untuk taplak ini sama dengan bahan untuk popok bayi jadi halus dan sekali pakai langsung buang sehingga terjamin kebersihannya.

Enggak terhitung berapa taplak yang digunakan untuk proses kelahiran, tapi yang jelas bidan nya benar-benar professional dengan menjaga higienitas dan memastikan taplak yang dipakai selalu bersih dan kering. Penggunaan sarung tangan pun hanya sekali pakai dan setiap melakukan aktifitas yang mengharuskan kontak dengan bagian bawah selalu menggunakan sarung tangan baru walaupun aktifitas yang dilakukan cuma sekedar ganti taplak.

Bidan juga selalu mendampingi kami, kecuali pada saat dia perlu keluar termasuk ketika membuatkan teh untuk saya dan istri. Pokoknya kerjaan si bidan pas lahiran termasuk palu gada (apa lu mau gua ada) dan kardiotograf pun di monitor juga di ruang utama bidan jadi kami pun tidak cemas apa bila terjadi sesuatu pada saat bidan lagi gak ada. Selain profesional, pelayanan di RS juga terstandarisasi jadi tidak perlu 1 pasien ditangani oleh dokter/bidan tertentu. 

Bidan yang memeriksa istri saya selalu berbeda, tidak pernah sama kecuali bidan poliklinik. Tapi kemampuan semua bidan sama dan semua tahu apa yang terjadi dengan pasien (istri saya). Sehingga walau bidan berbeda, saya tidak pernah mendapat pertanyaan konyol seperti orang yang gak tahu apa-apa. Semua sudah paham histori serta kondisi si pasien sehingga sudah siap untuk berbagai skenario yang mungkin terjadi. 

Jam 1 pagi, bidan pun memberi komando, "If you have an urge to push, than push" tanda waktu buat si bayi untuk segera keluar. 

Terus terang kami tidak tahu apakah pembukaan telah sempurna atau belum, tapi yang jelas komando telah diberikan, yowes manut aja.

Bidan siap di posisi dan munculah kontraksi yang ditunggu. Kepala bayi sudah mulai keluar sebagian, eh tiba-tiba kontraksinya mereda, masuk lagi deh. Bidan pun berkata, "you're doing great, excellent, one more" sambil ngomenin si bayi "she's so stuborn, doesn't want to come out do you". Saya ya diam saja sambil manut-manut.

Dan kontraksi kedua muncul, kali ini kepala bayi sudah keluar, tapi tiba-tiba kontraksi mereda lagi. Terus terang saya bingung juga mau ngomong apa ke istri, masa iya mau bilang bayinya nyangkut di bawah.

Tapi respons bidan malah tetap tenang sambil berkata "this is excellent, you're great, just a little bit more and you push when you ready".

Saya cuma bisa mangut-mangut saja sambil mengiyakan si bidan bahwa tinggal sedikit lagi. Istri pun merasakan ada sesuatu yang mengganjal, tapi masa iya saya mau bilang bayi nya lagi parkir di bawah.

Dan kontraksi ke tiga pun di mulai dan jos si bayi keluar sempurna langsung di tempel ke ibunya untuk IMD.

Di UK pasangan ditawari untuk memotong tali pusar bayi, sedangkan hal ini tidak ditawari di Indonesia. Ya saya terima lah tawaran itu, kapan lagi bisa motong tali pusar anak saya sendiri, persis rasanya kaya motong daging sih.

Tapi ternyata perjuangan belum berakhir, karena masih ada proses berikut yaitu menjahit jalan lahir. Waktu anak pertama proses ini seakan minor dan istri saya tidak terlalu merasa sakit, cuma perih-perih kelu saja. Tapi yang kedua, bener-bener pol. Kalau bagian yang sobek cuma di liang rahim bagian bawah, bidan dapat menjahitnya. Tapi berhubung bagian atas juga ada yang sobek terpaksa dokter turun tangan.

Dokter pun memberi bius lokal, tapi sepertinya gak mempan sama istri saya, jadi setiap beberapa kali menjahit, dia selalu memberi bius lokal tersebut sampai pada titik dimana bius lokal sudah tak dapat diberikan dan istri pun masih tetap merasa sakit. Satu-satunya pain killer tersisa cuma gas Entonox yang terus dihirup setiap kali nafas plus madu dan air. Saya pun bertanya ke dokter buat basa-basi saja.

Me: "is it tear up in the upper part?"

Doc: "it's tear on the upper, lower, left and right"

Me: "Are you saying it's everywhere?"

Doc: "Yes"

Pusing pala berbi nyesel saya nanya si dokter. Malah dia menambahkan kalau proses jahit gak bisa selesai di sini, maka harus pindah ke ruang operasi. Yowes saya diam saja lah, berharap bisa selesai segera.

Saya juga mendengar suara menjahit yang cukup keras seperti suara senar gitar dipotong dan melihat si dokter menambah terus benang jahitnya.

Berdasarkan catatan medis sewaktu melahirkan, digunakan 3 benang jahit (sepaket dengan jarumnya) dan istri kehilangan 600 cc darah. Sebagai perbandingan kantong darah yang digunakan PMI buat donor darah rata-rata adalah 150 cc maksimum 250 cc.

Dokter juga memasang kateter untuk jalur urin, mencegah supaya jalur tersebut jangan sampai tertutup pada saat dijahit serta di cek apakah lubang pup nya terpengaruh atau tidak.

Sehigga memang pekerjaan dokternya sangat professional untuk mencegah jangan sampai terjadi hal yang tidak diinginkan pasca melahirkan. Dan jahitannya pun sangat rapi, sebagai perbandingan istri saya masih bisa merasakan adanya jahitan waktu kelahiran anak pertama tapi untuk anak kedua terasa seakan tidak ada jahitan padahal habis 3 rol benang.          

Selain itu ada satu perbedaan lagi, jika di Indonesia bayi di bersihkan sesudah atau sebelum IMD, di UK sama sekali tidak.

Malah bidannya pada bingung maksudnya membersihkan bayi apa, dan dokter lah yang menjelaskan pasca selesai proses menjahit bahwa di UK bayi memang tidak dibersihkan karena memang sudah bersih.

Jadi walau ada sisa darah melekat, lendir-lendir di sekitar kepala ya gak masalah, si bayi itu bersih. Well, sudahlah saya terima saja biar dibersihkan sendiri saja kalau sudah sampai rumah.

Dibutuhkan waktu 8 jam pasca penjahitan untuk bisa melepas kateter dan kemudian istri saya harus pipis 3 kali setelah kateter dilepas setelah itu baru bisa pulang. Tidak ada obat yang diberikan selain paracetamol, itu juga karena minta.

Dan kami pun bisa pulang pada sore harinya. Jadi jam 1.23 pagi anak saya lahir, jam 5an sore  atau 16 jam kemudian kami sudah dibolehkan pulang bahkan di minta secara halus untuk pulang. 

Begitulah prosedur melahirkan di UK, jadi gak usah heran kalau melihat Kate Midleton melahirkan terus besoknya sudah bisa dandan cantik, lha memang begitu prosedurnya.

Termasuk juga yang cesar yang kata bidan kami paling cuma di kasi nginap semalam di RS. Memang di UK ibu-ibu yang melahirkan benar-benar teruji keperkasaannya. Dan istri saya termasuk barisan emak-emak perkasa tersebut.

Long live the power of emak-emak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun