Mohon tunggu...
Arie Yanwar
Arie Yanwar Mohon Tunggu... Administrasi - Hanya seorang rakyat yang peduli kepada negerinya tercinta

Menulis sebagai bentuk apresiasi pada pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Melahirkan di Inggris: Pasien BPJS Rasa VIP

1 Juni 2018   19:59 Diperbarui: 4 Juni 2018   10:40 3554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Melahirkan di luar negeri memang suatu pengalaman yang luar biasa. Tulisan ini dibuat bukan untuk pamer atau semacamnya tapi untuk memberi gambaran apa yang terjadi dalam proses persalinan untuk anak kedua saya. Mohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan, tapi ya memang kondisinya seperti itu adanya.

Kami memang berencana untuk punya anak kedua, maklum yang pertama juga kan sudah hampir 5 tahun jadi sudah cukup rentang waktu untuk punya momongan lagi. Dan berhubung saya juga sedang tugas belajar di UK, ya pas lah momentnya. 

Saya akan bagi tulisan ini jadi dua bagian yaitu bagian pertama pada saat proses kehamilan dan bagian kedua pada saat proses persalinan.

Tulisan ini juga akan dibatasi pada perbedaan yang terjadi pada saat kehamilan dan persalinan anak pertama dengan yang kedua, karena yang pertama lahir di Indonesia jadi sedikit banyak akan membandingkan jenis pelayanan yang diberikan juga.

Berhubung anak pertama lahir di era sebelum BPJS, maka setiap kami kontrol kehamilan ada suster yang mengecek tensi darah istri, terus nunggu agak lama di ruang tunggu sama ibu-ibu hamil yang lain. Waktu nunggu bervariasi antara 30 menit sampai lebih dari 1 jam, tapi kalau sampai dibawah 30 menit wow banged lah. 

Setelah itu, nama istri dipanggil dan masuklah kami, ketemu dokter obgyn, sang dokter bertanya kami menjawab trus USG dan kalau hasil USG mau di print harus ngomong karena bayar.

Selesai periksa, kami ke resepsionis buku kehamilan dikembalikan sama suster plus tagihan kemudian silakan ke kasir. Proses ini sama terus sampai anak pertama kami lahir.

Saya gak tahu di era BPJS seperti apa, tapi yang jelas proses kehamilan anak pertama memang cukup monoton yaitu datang, periksa tensi, nunggu, dipanggil, konsul sama dokter, USG, setelah itu jangan lupa membayar. Untung ada asuransi istri yang mengcover kehamilan jadi gak mahal-mahal amat bayarnya.

www.digitalhealth.net
www.digitalhealth.net
Begitu kehamilan masuk bulan ke 7, istri saya dianjurkan untuk melakukan senam hamil sehingga ada gambaran juga pada saat melahirkan apa yang harus dilakukan.

Kebetulan istri saya maunya melahirkan normal dan Alhamdulilah anak pertama kami lahir dengan proses normal.

Satu-satunya kontak istri dengan bidan hanya pada saat senam hamil, sedang proses monoton tersebut kami alami baik pada rumah sakit yang pertama maupun yang kedua.

Awal kehamilan, kami check up di RS Hermina dan masuk bulan ke 7 kami pindah ke RS HGA depok, karena sepertinya dokter di Hermina pengennya cepet-cepet aja si bayi keluar alias pro cesar sedangkan istri dapat rekomendasi dokter yang pro normal di HGA. 

Baik kelahiran cesar maupun normal menurut saya adalah pilihan si Ibu, tapi kalau dokternya sudah mengarahkan ke salah satu pilihan saya rasa itu bukan murni pilihan si Ibu lagi kecuali kalau memang ada kondisi medis dari si Ibunya. 

Toh saya rasa sama saja keduanya, cuma kalau diibaratkan beli rumah, lahir normal sama dengan beli rumah cash gak pake nyicil, jadi begitu rumahnya kebeli, tabungan langsung habis.

Sedangkan lahir cesar sama dengan beli rumah pake KPR, gak perlu nabung dulu tapi tiap bulan bayar cicilan sampai lunas.

Jadi lahir normal sakitnya langsung bayar lunas pada saat si bayi lahir sampai beberapa hari pasca kelahiran, sedang cesar ya sakitnya gak se pol yang normal cuma sembuhnya ya lebih dari seminggu malah ada yang bilang sampai 3 bulan. Tapi sudahlah malah jadi melantur kemana-mana.

Nah bagaimana dengan proses kehamilan yang kedua ini? Tentu saja kami sangat excited banged begitu tahu istri saya positif hamil, kami langsung periksa ke dokter.

Di UK semua pemeriksaan harus melalui dokter umum dulu, mungkin sama dengan era BPJS sekarang dimana semua pemeriksaan harus ke dokter puskesmas dulu dan ini hanya berlaku untuk pasien BPJS. Kalau untuk kehamilan saya gak tahu deh.

Berhubung di UK semua fasilitas kesehatan di tanggung oleh NHS alias BPJS nya UK, maka setiap pasien tidak membayar sepeserpun untuk konsultasi dengan dokter ataupun ke rumah sakit.

Tapi ya, kita juga gak bisa sekonyong-konyong datang ke rumah sakit, semua harus melalui dokter umum atau general practitioner (GP) untuk kemudian mendapat rujukan dari GP.

Baca juga: Melahirkan di Inggris (2): "The Power of Emak-emak"

Singkat kata kami datang ke GP dan si GP juga sudah punya alat untuk mengetahui hari perkiraan lahir (HPL) si bayi, jadi tanggal kelahiran bayi sudah dapat diprediksi sama si GP dengan modal informasi hari terakhir menstruasi istri.

Setelah itu kami di rujuk untuk bertemu dengan bidan. Yup di UK semua proses kelahiran ditangani oleh bidan, dokter hanya akan ikut campur apabila wanita hamil tersebut memiliki kondisi medis yang mengkhawatirkan.

Untuk bertemu bidan juga gak bisa seenak udel e dewe, karena bidan akan menentukan kapan kami bisa bertemu untuk konsultasi lagi, jadi jadwal juga sudah ditentukan bukan setiap bulan melainkan pada fase minggu kehamilan, semakin dekat dengan HPL maka akan semakin sering control sama bidan.

Waktu pertama kali bertemu bidan, si bidan benar-benar melakukan interview menyeluruh sama istri saya. Sekitar 2 jam lah konsultasi pertama karena bidan memang bertanya segala macam pertanyaan dari mulai yang kami anggap penting sampai yang pertanyaan sepele yang sekilas terdengar konyol seperti "are you happy with this pregnancy?", "do you expect the child?", "are you happy with your first born?", etc. Kedengarannya konyol memang, tapi ini UK bo, dimana aborsi adalah hal yang legal, so .... Mangut-mangut bae lah.

Sampai ketika istri cerita bahwa dia pernah di sunat yang mana merupakan suatu hal yang wajar di Indonesia setidaknya pada jaman old, dan muka si bidan langsung berubah 180 derajat. Duh, ada apa pula ini???

Ternyata sunat pada perempuan merupakan suatu tindakan illegal di UK, jadi muncul dah 1001 pertanyaan dari mulai siapa pelakunya, dimana, bagaimana perasaan istri saat ini, wah pokoe aneh-aneh deh.

Dan masalah sunat ini gak cuma berhenti disitu saja, terutama pasca USG yang menyatakan bahwa calon bayi kami adalah perempuan. Udah deh, makin ribet urusan, sampai akhirnya kami mendapat kunjungan dari petugas sosial. 

Kami di interogasi bahkan harus membuat pernyataan yang bisa menyakinkan si petugas bahwa si bayi tidak akan di sunat dan sebagai ayah dari si bayi saya harus bisa mencegah jangan sampai ada pihak yang menyunat si bayi walaupun keinginan tersebut datang dari keluarga kami sendiri (orang tua atau kakek-nenek) karena kalau ketahuan si bayi di sunat, maka dapat 'imbalan' menginap di hotel prodeo selama 14 tahun.

Singkat cerita saya berhasil menyakinkan si petugas sosial bahwa si bayi tidak akan di sunat, lagian siapa juga yang mau nyunat, lha wong perempuan gak ada kewajiban untuk disunat toh.

Kembali lagi ke pemeriksaan kehamilan, di UK proses monoton seperti di Indonesia untuk anak pertama kami sama sekali tidak terjadi. Pemeriksaan USG hanya terjadi maksimum 2 kali selama proses kehamilan, kecuali memang dibutuhkan. 

Cek USG pertama untuk melihat keberadaan si bayi dan itu di minggu 12 sedangkan yang kedua di minggu 22 untuk mencek organ tubuh si bayi dan tentu saja jenis kelamin. 

Sayang pada saat cek USG ke dua bidan yang melakukan USG tidak bisa melakukan konfirmasi 100% bahwa kelamin si bayi adalah perempuan, tapi bagi mereka sudah cukup untuk dinyatakan perempuan. Yowes lah terima saja.

Istri juga selalu diperiksa darahnya, sampai ke pemeriksaan genetik. Malah jadi ketahuan kalau istri saya adalah carier talasemia, padahal sebelumnya kami gak pernah tahu, maklum kehamilan pertama tidak ada pemeriksaan seperti itu, termasuk juga pemeriksaan genetik untuk mengetahui pontensi munculnya syndrome dari si bayi seperti down syndrome atau kelainan yang lain.

Alhamdulilah kemungkinannya kecil untuk terjadi syndrome pada si bayi yaitu 1 banding sekian puluh ribu (lupa angkanya). Berhubung istri saya ketahuan sebagai carier talasemia, maka saya pun harus diperiksa darahnya, karena kalau saya juga carier talasemia, maka kemungkinan anak kami terkena talasemia semakin tinggi yaitu 1:4 sehingga harus konsultasi dulu sama dokter untuk diberi tindakan.

Alhamdulilah saya bukan carier, tapi yang jelas pemeriksaan kehamilan di UK memang benar-benar menyeluruh. Saya teringat pepatah sedia payung sebelum hujan yang cukup ironis bahwa negeri yang sangat liberal bahkan gak kenal Tuhan tapi menjalankan pepatah tersebut berbeda dengan kampung halaman dengan budaya timurnya dan lebih religius tapi terlalu berpasrah diri (baca: cuek) dan jika sampai ada kejadian yang tak diinginkan, merespon antara pasrah atau menggugat tenaga medisnya.

Intinya selama proses kehamilan dan pemeriksaan yang dialami istri semuanya berbeda dengan anak pertama kami. Kehamilan ini, selain pemeriksaan darah istri yang menyeluruh, saya juga harus diambil darah.

Setiap kali kontrol sama bidan, istri harus memberi sampel urine dari pipis pertama di pagi hari untuk cek protein and gula. Tensi darah dilakukan oleh bidan termasuk mendengar detak jantung bayi.

Bidan juga kadang membawa asisten yang notabene mahasiswa jurusan kebidanan, semacam KKN bagi si mahasiswa nya juga. Konsultasi dengan bidan dilakukan di poliklinik dekat flat saya dan terhitung 2 kali bidan home visit. 

Tapi ketika di rujuk ke rumah sakit untuk USG, maka yang melakukan USG juga bidan atau perawat, bukan dokter. Tidak ada menunggu sampai lebih dari 30 menit baik di poliklinik maupun rumah sakit, semua kunjungan sesuai dengan jadwal dan GRATIS bahkan untuk semua tes-tes tersebut tidak ada yang namanya kami disuruh kesana kemari (alias di ping pong), nunggu di ruang tunggu sampai lumutan, mendapat pemeriksaan yang buru-buru seakan tenaga medisnya lagi kejar setoran, mendapat senyum dan sapaan yang ramah seakan kami pasien kelas 1 padahal cuma NHS (setara BPJS bahkan lebih baik).

Akankah BPJS Indonesia bisa seperti NHS UK? Yah, selamat berkhayal, semoga jadi kenyataan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun