Untuk memberikan nilai juga bukan berarti kita harus kejam atau istilah kerennya balas dendam mumpun jadi penilai, tapi harus benar-benar dibaca pekerjaan mahasiswa/i. Tunjukan poin-poin mana yang menjadi kelemahan/kekuatan argumen mereka dalam esai. Berikan apresiasi sebelum memberi kritikan dan tentu saja kritikannya harus membangun bukan mem-bully.
Jangan memberi pertanyaan yang bersifat memojokan atau cuma ngetes doank kemampuan mahasiswa/i tapi beri pertanyaan yang justru memberi ruang mereka untuk berpikir kritis. Tentu saja yang paling penting adalah jangan coba-coba menggunakan posisi kita sebagai dosen ataupun asdos untuk menjatuhkan mahasiswa karena abuse of power punya konsekuensi besar sama karier sebagai pendidik.
Tapi tentu saja itu semua bukan berarti mahasiswa bisa seenak udelnya dewe, karena unversitas sebagai lembaga pendidik memiliki standar yang harus bisa dicapai oleh mereka untuk bisa sekadar lulus apalagi untuk dapat predikat distinction atau cum laude dan jangan mencoba untuk tawar menawar soal standar di sini karena semua ada konsekuensinya dan tentu saja ada enforcement juga.
Saya rasa metode LTHE perlu juga dipelajari oleh dosen-dosen di Indonesia, karena sependek pengetahuan saya, metode pengajaran di perguruan tinggi kita belum ada perubahan berarti. Dosen masih berstatus sebagai juara di kelas, mahasiswa/i adalah penonton, mahasiswa/i belajar untuk ujian dan dosen ngasi ponten. Jadi ingat dulu dapet nilai ujian cuma dapet nilai doank, gak tau kenapa dapetnya segitu. Pernah pas seminar, mengutarakan pendapat malah dilecehkan sama dosen. Tapi ya sudahlah itu pengalaman masa lampau, apakah dosen-dosen kita masih seperti itu? Jika ya, cukup menghela nafas panjang saja.