Mohon tunggu...
Arie Yanwar
Arie Yanwar Mohon Tunggu... Administrasi - Hanya seorang rakyat yang peduli kepada negerinya tercinta

Menulis sebagai bentuk apresiasi pada pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Money

Krisis Sebagai Pemicu Inovasi

29 September 2017   02:38 Diperbarui: 29 September 2017   02:59 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita sering mendengar kata krisis sebagai suatu momen sulit yang sedang menimpa seseorang, golongan, bahkan bangsa. Krisis sendiri di definisikan oleh Webster sebagai suatu momen penentu apakah suatu momen/peristiwa akan berubah menjadi sesuatu yang lebih baik atau lebih buruk. Saat ini banyak sekali peristiwa yang kita anggap sebagai sebuah krisis yang mana arahnya selalu terlihat menjadi semakin buruk.

Tetapi tulisan ini tidak akan membahas semua atau berbagai krisis yang terjadi di dunia, melainkan berusaha melihat suatu fakta atau sisi positif bahwa banyak inovasi baik dari sisi teknologi, ekonomi bahkan sosial yang saat ini kita nikmati yang pada dasarnya merupakan buah pikiran kreatif sebagai solusi untuk keluar dari suatu krisis.

Tidak perlu jauh melihat sejarah, cukup lihat apa yang terjadi 1 abad terakhir dimana banyak kemajuan teknologi terjadi akibat adanya krisis. Contohnya teknologi pesawat dimana dulu pesawat cuma dianggap mainan untuk orang-orang kaya pasca Wright bersaudara menciptakan pesawat bermesin, tapi berkat sebuah krisis kemanusian yang kita kenal sebagai perang dunia, teknologi pesawat terbang jadi semakin canggih. Jika dalam periode 1903-1914 kecepatan pesawat hanya rata-rata 96 Km/Jam maka setelah perang dunia 1 berakhir kecepatan pesawat meningkat menjadi 200 Km/Jam. Tidak hanya itu, perang dunia 2 yang merupakan perang yang terbesar sepanjang sejarah umat manusia, justru melahirkan banyak inovasi teknologi yang kita nikmati sampai sekarang dari mulai radar, sonar, computer, roket, pesawat jet bahkan nuklir.

Tentu saja saya bukan ingin menyatakan bahwa kita membutuhkan perang supaya muncul adanya inovasi dibidang teknologi, walau memang tidak dapat dipungkiri fakta bahwa kita dapat menikmati berbagai jenis kemudahaan teknologi saat ini sebagai akibat dari adanya 2 perang dunia tersebut.

Disini kata kunci yang saya tekankan adalah krisisnya bukan perangnya dimana dalam hal ini krisis tersebut diartikan sebagai suatu keterbatasan yang harus dilampaui agar dapat mencapai tujuan. Dalam hal perang tentu saja tujuannya menang sedangkan batasannya berbagai macam seperti menangkal serangan udara musuh sehingga muncul radar, mendeteksi kapal selam musuh sehingga muncul sonar, menerjemahkan kode rahasia musuh sehingga muncul komputer, sampai menghancurkan musuh dengan cepat dan seketika sehingga muncul bom atom (nuklir).

Tentu saja penyebab  keterbatasan tidak hanya terkait dengan perang melainkan juga dengan kebutuhan ekonomi suatu negara. Ketika terjadi booming permintaan mobil pada awal abad 20 di Amerika Serikat, permintaan akan BBM pun meningkat drastis sedangkan supply saat itu stagnan, muncullah teknologi 'cracking' yang dapat meningkatkan produksi BBM dari setiap minyak bumi yang disuling.

Ketika terjadi embargo minyak oleh Arab Saudi di tahun 1970an maka itulah saat pengembangan teknologi energy terbarukan menjadi semakin pesat dimana sebelumnya tidak ada pemikiran untuk mengembangkan teknologi tersebut.

Bahkan jika kita melihat lebih jauh, maka munculnya teknologi navigasi laut pada abad 15 yang menjadi awal era penjelajahan samudra (Age of Sail) adalah merupakan dorongan akibat terbatasnya atau mahalnya harga rempah-rempah yang jalur perdagangannya di monopoli oleh kekaisaran Turki Utsmani (Ottoman) sebagai penguasa di jalur sutra.

Munculnya teknologi pembuatan ammonia (yang dapat digunakan untuk membuat pupuk urea sampai amunisi) adalah sebagai respon akibat dikuasainya sumber nitrat alami di amerika selatan oleh Inggris pada awal abad 20. Dengan kata lain, sebuah inovasi akan muncul sebagai respon atas keterbatasan yang dialami satu pihak yang menyebabkan pihak tersebut ingin terbebas dari kungkungan keterbatasan mereka dalam hal ini bebas atau independent yang menjadi tujuan.

Nah, mari kita berkaca kepada kondisi di dalam negeri. Banyak sekali krisis yang terjadi baik dari sector pangan maupun energy. Lihat saja krisis garam yang sedang mendera ibu-ibu di dapur, atau krisis BBM yang menjadi momok bagi daerah-daerah tertentu yang antrian di SPBU bisa seperti antrian sembako. Krisis-krisis tersebut haruslah kita anggap sebagai momen untuk menciptakan inovasi bagaimana caranya agar masalah keterbatasan tersebut dapat dipecahkan sehingga produk-produk yang ketersediaannya sangat vital tersebut dapat menjadi banyak dan pada akhirnya menurunkan harga seperti halnya pada harga BBM di AS pada tahun 1920 yang turun terus dari harga 22 cents/gallon menjadi 13 cents/gallon pada tahun 1927 (pada saat itu tidak ada lagi monopoli BBM pasca pembubaran standard oil di tahun 1911 dan belum ada kartel atau oligarki di sector BBM selama beberapa decade pasca pembubaran standard oil).

Tentu saja momen krisis tidak dapat dijawab dengan cara melakukan impor, seandainya ini yang dilakukan Jerman dalam menjawab kelangkaan nitrat yang di embargo Inggris,  saya ragu bahwa proses Haber-Bosch dapat ditemukan di awal abad 20 di Jerman.

Justru di momen krisis inilah pemerintah seharusnya memusatkan perhatiannya pada riset dan pengembangan (R&D). Wiliam Burton tidak sekonyong-konyong menciptakan proses cracking, Alan Turing melakukan puluhan percobaan sebelum computer buatannya sanggup memecahkan kode enigma Jerman, begitupun dengan ratusan inventor lain.

Tentu saja dalam berbagai momen, peran negara sangat penting dalam mendukung R&D. Robert Watson-Watt tidak akan mungkin mengembangkan radar kalau pemerintah Inggris tidak mendukungnya. Seandainya pemerintah Jerman tetap bersedia mengimpor nitrat dari Chile yang dikuasai Inggris, mungkin Fritz Haber tidak akan menemukan proses Haber untuk membuat ammonia dari udara. Banyak pula inovasi-inovasi lain yang memang pada dasarnya mendapat dukungan pemerintahnya karena adanya kebutuhan yang besar dari barang yang bernilai strategis bagi pemerintah negara tersebut.

Itulah sebabnya untuk menjawab berbagai krisis yang dihadapi oleh bangsa kita, pemerintah sudah harus mulai fokus terhadap anggaran untuk melakukan R&D. Suatu proses inovasi tidak dapat terjadi apabila kita hanya mengundang investor asing untuk buka pabrik di dalam negeri dan berharap adanya proses transfer teknologi dari perusahaan tersebut.

Jepang tidak menjadi produsen mobil hanya karena General Motor membuka pabriknya disana, melainkan dengan upaya R&D yang terus menerus oleh inventor mereka yang tentu saja didukung oleh pemerintahnya. Tanpa R&D mustahil anak bangsa dapat membuat inovasi yang dapat mengalahkan produk yang dihasilkan bangsa lain. Tanpa dukungan pemerintah di sector R&D mustahil kita bisa menguasai sebuah teknologi yang belum dikuasai bangsa lain.

Lihat saja negara-negara tempat para investor asing berasal, dimana mereka memiliki pusat riset tempat para perisetnya dapat berinovasi. Sedangkan yang dibangun di negara kita hanya pabrik untuk produksi saja. Tentu saja, mereka berbagi ilmu tentang skema teknologi, cara memperbaiki serta cara merawat produk mereka. Tapi hanya itu, tidak lebih dan tidak kurang.

Lihat saja Toyota, sudah berapa tahun pabrik nya di buka di Indonesia, apakah kita bisa membuat mobil dari nol? Jika hanya memproduksi jelas bisa, karena aktifitas yang dilakukan hanya merakit, bongkar pasang, modifikasi dan memperbaiki. Tapi adakah aktifitas mencetak blok engine? Komposisi kimianya seperti apa? Metodenya seperti apa? Kalaupun ada biasanya untuk teknologi yang mereka anggap sudah obsolete atau usang dimana mereka akan bersedia berbagi teknologi yang sudah tidak mereka lirik lagi. Tentu saja pusat risetnya pun ya di negara induk mereka. Toyota mengembangkan mobil hybrid di Jepang bukan di Indonesia, PLTB yang dibangun di Sidrap, turbin anginnya di buat di Amerika bukan di Indonesia, bahkan mesin TBM yang digunakan untuk membuat terowongan MRT di Jakarta pun di bangun dan dikembangkan di Jerman bukan di Indonesia.

Jadi di sini jelas bahwa R&D merupakan hal yang sangat vital bagi sebuah bangsa jika ingin berdiri sejajar dengan bangsa lain yang sudah maju di dunia. Kalau pemerintah mengabaikan R&D dan berharap bahwa dengan mengundang investor asing masuk maka otomatis akan ada alih teknologi, maka silakan mimpi basah di siang bolong karena hal itu tidak akan pernah terjadi. Bahkan yang terjadi adalah ketergantungan dan tentu saja ketakutan apabila investor tersebut angkat kaki seperti yang terjadi pada sector otomotif kita dan berpotensi untuk terjadi apabila kita mulai mengimpor mobil listrik.

Pertanyaannya R&D seperti apa yang perlu di kejar oleh pemerintah? Mengingat anggaran kita di APBN juga sangat terbatas, belum lagi keinginan pemerintah saat ini untuk membangun infrastruktur secara massif. Menurut saya ini adalah jawabannya, tapi mengapa harus ini akan dibahas di tulisan berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun