Mohon tunggu...
Yusel_08
Yusel_08 Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA STAI AL-ANWAR SARANG REMBANG

TIDAK SUKA PERKARA YANG RUMIT

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

All Eyes On Papua: Kelapa Sawit Membawa Konflik

7 Juli 2024   19:39 Diperbarui: 7 Juli 2024   19:43 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Siapapun akan mempertahankan apapun yang sudah menjadi miliknya sejak mulai dari nenek moyangnya. Adapun kepemilikan tersebut, adalah kepemilikan yang bersifat mutlak. Sebagaimana adanya Hak yang menjadi fitrah dari manusia sejak lahir. Begitu juga dengan hak dari masyarakat adat Papua untuk mempertahankan tanah ulayatnya. Saat ini Papua sedang menjadi sorotan warga indonesia, konflik yang disebabkan oleh penanaman kelapa sawit oleh beberapa instansi yang hanya mementingkan diri mereka, tanpa memikirkan penduduk asli papua. Hal tersebutlah yang menjadikan warga papua berdatangan kedepan gedung Mahkamah Agung. Dan dari situlah munculnya ungkapan "All Eyes On Papua", dimana seluruh warga indonesia ikut bersuara dalam mempertahankan tanah ulayat atau tanah adat milik masyarakat adat Papua.

Dalam Podcast yang ditayangkan di channel youtube Greenpeace Indonesia. Dikatakan bahwa mulai adanya penanaman kelapa sawit sudah ada sebelum tahun 2013 tepatnnya berada di daerah hutan adat milik suku Awyu, dan terus berlanjut sampai saat ini, adapun instansi yang melakukan pembabatan hutan dan menggantinya menjadi lahan kelapa sawit merupakan instansi yang berbeda-beda. Mengenai izin diperbolehkanya penanaman kelapa sawit tersebut salah satu narasumber dalam Podcast tersebut mengatakan bahwa para instansi telah mendapat izin dari salah satu marga di suatu suku yang ada di papua, tetapi izin tersebut dikatakan telah mencangkup suku-suku yang lain termasuk suku Awyu, sedangkan suku Awyu sendiri tidak mengetahui adanya izin tersebut.

Kemudian dalam ungkapan yang ditulis di akun blog Greenpeace dikatakan bahwa hutan papua merupakan benteng terakhir untuk menghadapi krisis iklim. Krisi ini bukan untuk orang papua saja tetapi seluruh indonesia. Dalam risetnya, greenpeace mencetak sebuah buku dengan judul "Stop Baku Tipu: Sisi Gelap Perizinan di Tanah Papua" didalamnya dikatakan bahwa hutan papua telah menjadi hutan terakhir yang menjadi pemasok oksigen terbanyak di dunia. Dalam buku tersebut juga tertulis bahwa Papua merupakan salah satu pulau dengan keanekaragaman yang tinggi. 

Dari beberapa alasan diataslah yang menjadikan masyarakat adat meminta secara damai kepada pemerintah agar mendapat respon dari Mahkamah Agung mengenai upaya mempertahankan tanah ulayat mereka. Selain itu, juga terdapat  pasal dalam UUD 1945 yang menjadi acuan untuk mempertahankan tanah mereka,yaitu pada pasal 18B ayat (2) yang berbunyi "Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyaraka serta prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia ."

Dalam pasal tersebut secara langsung dikatakan bahwa mereka atau suatu Negara akan mengakui dan menghormati hak-hak daripada masyarakat adat. Adanya hak disini maka sudah menunjukan bahwa adanya klaim dan juga kebebasan secara moral ataupun legal yang akan dimiliki masyarakat adat. Adapun adanya hak ini yaitu untuk mlindungi kebebasan individu, memastikan keadilan sosial, dan menjaga kesejahteraan masyarakat. Tetapi jika kesejahteraan masyarakat tidak dapat dirasakan, lantas apakah masih berlaku hak-hak yang telah ditetapkan pada UUD oleh suatu negara tersebut?

Jika konflik mengenai pembukaan lahan kelapa sawit ini berkelanjutan maka, apa yang dicantumkan dalam UUD tersebut tidak diterapkan sama sekali. Hal itu juga akan berpengaruh pada HAM. Karena beberapa poin dalam pasal tersebut mengacu pada  penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat yang menjadi refleksi dari komitmen negara untuk melindungi hak asasi manusia. Konflik ini sangat bertentangan dengan teori Utilitarianisme, yaitu teori yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham. Jeremy Bentham megatakan bahwa hukum yang dibuat oleh pemerintah harus bersifat membahagiakan. Hal ini berarti baik buruknya atau adil tidaknya suatu hukum itu tergantung apakah hukum tersebut memberikan nilai kebahagiaan kepada manusia atau tidak (Darmodiharjo 1995). 

Jika asumsi kebahagiaan hanya ada pada diri penagak hukum tanpa melihat bagaimana kondisi masyarakat, maka hukum tersebut tidak sesuai dengan teori yang telah dikemukakan oleh Betham. Sama seperti yang dirasakan oleh masyarakat Awyu dan juga masyarakat adat lainya, bagi pemerintah tindakan penanaman kelapa sawit adalah suatu yang dapat menguntungkan bagi pemerintah, salah satunya adalah dapat mengembangkan perekonomian, yaitu meningkatkan pendapatan Nasional dan juga meningkatkan Investasi Negara. 

Mereka juga berasumsi bahwa tindakann tersebut dapat menguntungkan bagi masyarakat adat yaitu adanya penyerapan tenaga kerja. Dimana harapan bagi para pemerintah dapat memperkerjakan para masyarakat adat di hutan kelapa sawit tersebut. Tetapi faktanya asumsi dari pemerintah tidak terealisasikan sama sekali. Keuntungan tersebut tidak dirasakan oleh masyarakat adat, yang mereka rasakan malah sebaliknya, yaitu merasa dirugikan karena adanya kebijakan tersebut. Mereka kehilangan sebagian nyawa mereka, mereka kehilangan kehidupan dan juga harta yang diwarisi dari nenek moyang mereka.

Fakta kedua mengenai konflik ini juga bertentangan dengan teori yang dikemukakan oleh John Locke yaitu teori Kodrati Locke. Teori yang dikemukakan oleh John Locke berbanding terbalik dengan apa yang dikemukakan oleh Jeremy Bnetham. John Locke berpendapat bahwa pada dasarnya sejak manusia dilahirkan, mereka telah memiliki hak-hak yang melekat, termasuk dari hak hidup, kebebasan dalam berpendapat, dan hak kepemilikan. Menurut John Locke hak-hak tersebut berasal dari kodrat manusia. Kodrat sendiri dapat diartikan sebagai hukum alam. Dan yang kita tahu hukum alam merupakan hukum yang paten, yaitu tidak dapat diubah bagaimanapun caranya. Hal ini menunjukan bahwa hak asasi manusia yang meliputi hak untuk hidup, hak kebebasan dan Juga hak kepemilikan tidak dapat diubah oleh siapapun dan juga apapun.

Tanah ulayat milik masyarakat papua adalah tanah sah yang mereka warisi secara turun temurun, jadi tidak ada keraguan dalam kepemilikannya. Hal itu juga menjadi salah satu hak kepemilikan bagi mereka, dan sudah sepantasnya mereka perjuangkan dengan cara apapun. Jika hak mereka atas kepemilikan itu terus diabaikan, maka teori dari John Locke tidak dapat direalisasikan di Negara ini. Lantas teori seperti apakah yang dapat menggambarkan jalannya hukum di negeri ini? Sebagaiamana yang kita tahu pentingnya suatu teori dalam jalannya pemerintahan yaitu salah satunya untuk dapat melakuakn pembelaan dalam Hak Asasi Manusia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun