“Baju baru Alhamdulillah, tuk dipakai di hari raya, tak punya pun tak apa-apa, masih ada baju yang lama…”
Lirik yang tenar di era 90an itu memang seharusnya sudah sejak lama kita terapkan di kehidupan sehari-hari untuk menurunkan angka inflasi. Sayangnya budaya konsumtif masih saja merajalela di masyarakat Indonesia terutama di bulan Ramadhan. Di hari-hari besar keagamaan, setiap orang berlomba-lomba untuk memberikan yang terbaik, bukan hanya rohani namun juga yang sifatnya fisik seperti makanan, pakaian, bingkisan, dan lain sebagainya. Dengan masyarakat mayoritas beragama Islam, maka di Indonesia ‘perlombaan’ itu akan makin terasa saat bulan Ramadhan.
Ketika Ramadhan tiba, umat muslim di Indonesia seperti memiliki kesepakatan tak tertulis mengenai daftar “sesuatu” yang harus ada dan disiapkan. Seperti baju lebaran, kue lebaran,ketupat, olahan daging, dan hidangan nikmat untuk berbuka yang berbeda dari hari biasanya. Dan kesepakatan tak tertulis lainnya yang pasti mengekor itu semua adalah: harga naik.
Kesal dengan harga yang melonjak tinggi ketika Ramadhan? Sadarkah itu semua juga merupakan ulah kita?
Ya benar, harga naik merupakan imbas dari meningkatnya permintaan pasar. Misalnya, ketika Ramadhan setiap orang akan berbondong-bondong mencari daging, namun pasokan daging di pasar tidak mencukupi, hal tersebut dijadikan peluang oleh pedagang untuk menaikkan harga daging yang mereka jual. Permintaan yang tinggi bila tidak didukung dengan persediaan yang cukup membuat barang menjadi langka, disitulah potensi harga suatu barang untuk naik.
Tanpa kita sadari, harga yang naik bukan hanya tanggung jawab pemerintah dan Bank Indonesia saja, peran kita sangat dibutuhkan disana. Kita memang tidak bisa memperbaiki jalur distribusi atau mengatur kebijakan agar harga stabil, namun ada satu hal kecil yang dapat kita lakukan yang akan memberikan efek besar bagi perekonomian Indonesia: mengubah pola pikir.
Mengubah pola pikir kita mengenai Ramadhan dan Idul Fitri adalah cara jitu agar harga tetap stabil bahkan ketika Ramadhan dan Idul Fitri datang. Pola pikir yang harus dirubah adalah mengenai budaya di bulan Ramadhan itu sendiri. Menyambut Ramadhan dan Idul Fitri tidak harus dengan pakaian baru atau makanan mewah, esensi Ramadhan dan Idul Fitri terletak pada rohani dan sisi keagamaan tiap individu itu sendiri. Sebagai masyarakat yang cerdas dan bijak, tentulah kita mampu untuk mengakali pengeluaran seperti itu. Misalnya mengganti daging dengan ayam, membeli baju tidak mendadak di saat Ramadhan, atau bahkan mendaur ulang juga memadupadankan barang-barang lama agar terlihat baru dan bagus.
Sebenarnya masih banyak lagi yang dapat kita lakukan. Poin utamanya ada pada pengelolaan pengeluaran rumah tangga. Mari menjadi masyarakat yang cerdas dan bijak dalam berbelanja, maka Ramadhan harga stabil bukan lagi sekedar wacana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H