Wajah yang selalu tegar termakan usia yang seolah tak lelah tuk merengek
Tak pernah menuai emas dalam pundi dan saku bajunya yang lusuh
Masih berharap dan berharap agar dia bisa mengayuh kehidupan
Aku hanya bisa mencacinya, menelantarkan dan selalu membuat kalbunya menangis
Apakah itu disebut ayah, bapak atau papa yang selalu tegar diterpa badai
Apakah memang itu jalan terjal yang selalu dijajaki
      Karena ayah aku bisa menuai bangku sekolah yang kolot dengan pernak-pernik ketamakannya
      Dan karena ayah pula aku bisa menghujam esensi kehidupan melalui pendidikan
      Aku bersyukur kepada wajah tua renta yang seakan tak lelah tuk memberikan ketentraman
      Aku yang tak tahu diri ini hanya bisa berceloteh kepada sesosok wajah itu bagaimana harus bersikap tanpa tahu bagaimana harus Â
      bersikap secara manusiawi
Aku yang tak tahu terima kasih ini hanya bisa menorehkan tinta hitam dan terus menerus berkasak kusuk
Dasar memang aku tak tahu diri atau tak tahu balas budi
Siang, malam wajah itu selalu mengais intan demi keluargaku
Tapi coba lihat apa yang diperbuat anak-anak laknat termasuk aku hanya bisa memikirkan pribadi
Guratan wajah yang terkesan telah memudar dan otot-otot yang beringsut reot
      Tetap saja wajah itu selalu mengembangkan senyumnya
      Terimakasih ayah semoga kau suatu saat dapat menerima ganjaran dariku bukan lewat materi tetapi lewat esensi.
Puisi ini telah terbit di PoemHunter dengan judul An Old Face
18.31 sore/07-04-03
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H