Mohon tunggu...
Ayahauraa_
Ayahauraa_ Mohon Tunggu... Guru - As a ASN

Healing terbaik itu menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

SEPATU-sia

1 Maret 2022   22:49 Diperbarui: 1 Maret 2022   23:05 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pintu Kebaikan itu ada di hadapanmu, Kuncinya ada di tanganmu Kamu hanya perlu mulai menujunya.. Tanpa ragu - (Sebuah nasehat dikutip dari buku Muhasabah Cinta karangan Ustadzah Halimah Alaydrus)"

Sebuah tulisan ringan ini dimulai dari sekelumit bacaan yang baru selesai dibaca oleh Nuna, wanita yang tepat satu bulan telah resmi menjadi seorang istri.. Tria, pria yang dinikahinya melalui proses perjodohan keluarga besar. pernikahan yang dengan matang direncanakan dua keluarga yang sudah saling mengenal bahkan sejak Nuna dan Tria belum direncanakan akan berjodoh. Hubungan dua sahabat dekat yang telah berubah menjadi keluarga besar sejak mereka masih duduk dibangku perkuliahan, Ayah Nuna dan Ibunda Tria yang telah bersahabat sejak zaman kuliah. Pernikahan yang sudah harus disetujui kedua calon mempelai tanpa harus berkesempatan mengutarakan perasaan keduanya pada keluarga masing-masing.

"Mas, aku rasa kita perlu lebih banyak komunikasi deh" Nuna membuka dialog dengan suaminya yang sangat jarang disapa meski sudah satu bulan hidup bersama. Suasana rumah yang sangat dingin bahkan setelah mereka memulai hidup berdua jauh dari keluarga masing-masing.

"Ya udah, ngomong aja.. Kita kan emang harus saling bicara" jawab Tria singkat dan datar tanpa memandang istrinya sekilaspun.

"Iya sih, aku rasa kita berdua ini korban dari keegoisan keluarga kita. Kamu ngerasa nggak sih?" Tanya Nuna.

"Hmm, maksudnya kemana ini arah obrolan kamu?" Tria meminta penjelasan lebih detail lagi pada Nuna.

“Gini loh, kita ini dijodohin. Cuma dalam waktu 6 bulan perkenalan, itupun sat set sat set eh keluarga langsung main cocok-cocok aja. Aku pribadi merasa risih sih, dan anehnya lagi kenapa sih kita harus nurut juga” Nuna sembari melampiaskan kekesalan dan penyesalannya.

“Jadi kamu menyesa? Menikah sama aku?” Tria menjebak Nuna dengan pertanyaan itu.

“Ya bukan gitu. Maksudnya... “ Nuna terdiam sambil menahan napas sekitar 5 detik lalu menghela dengan helaan panjang “Ahhhh udah deh, udah terlanjur juga. Intinya gini ya, aku belum bisa menerima dengan ikhlas kalau aku sudah menikah, terus aku belum bisa menerima dengan lapang dada kalau suamiku itu kamu” Jelas Nuna sembari mengeraskan suaranya, menunjukkan kekesalan bahwa suaminya itu terlihat lelet sekali sehingga dia merasa tidak se-frekuensi.

“Kamu pikir aku suka jadi suamimu?” balas Tria pula. Mengingat usia keduanya yang tergolong seumur hingga masih terlihat ketidakdewasaan keduanya dengan sikap saling meninggi.

“Aku tuh heran, kenapa sih mereka mau jodohin kita padahal hubungan mereka juga bukan keluarga dekat. Yang bersahabat juga Papa dan Mama kamu kan, ga masuk akal banget deh” Nuna menimpali lagi.

“Atau jangan-jangan mereka dulu dekat, eh seperti berpacaran gitu. Iya bukan sih” Tria mencoba menebak latar belakang perjodohan mereka dengan menerka hubungan kedua Ayah dan Ibu mereka.

Tria adalah anak ragil dari Mama Emilia dan suaminya yang merupakan pasangan hasil perjodohan keluarganya juga. Sedangkan Nuna, adalah anak Tengah dari Papa Sulistio dan istrinya yang kebetulan menikah dengan hasil perjodohan keluarganya juga. Tria dan Nuna hanya mengetahui bahwa mereka adalah pasangan yang berhasil meneruskan tradisi keluarga masing-masing meskipun sedikitpun tiada cinta yang terpatri dihati keduanya.

Kecurigaan mulai merasuki hati dan pikiran mereka berdua, sehingga menimbulkan ide untuk saling mencari tahu pada keluarga masing-masing. Dengan misi yang tidak mudah untuk di telusuri, Tria dan Nuna akhirnya bekerjasama untuk mencari kebenaran sesungguhnya, meskipun semua sudah terlambat paling tidak mereka menemukan jawaban yang mereka harapkan sehingga bisa dijadikan alasan kuat untuk menggugat keluarga mereka agar bersedia memisahkan keduanya dan kembali hidup normal seperti yang ada dalam bayangan Tria dan Nuna.

“Kita buat perjanjian aja Mas, gimana kalo kita sama-sama mencari tahu apa alasan terkuat mereka ngejodohin kita. Kalau akhirnya dugaan kita benar, mereka menjodohkan kita karena memang sudah tradisi keluarga ya kita harus terima mau ga mau tapi kalau ternyata ada alasan lain, itu yang kita pakai sebagai senjata untuk kita akhiri pernikahan ini.” Nuna menjelaskan.

“Kamu yakin, mau membatalkan pernikahan kita meski udah berjalan. Kamu ga mau mencoba untuk jatuh cinta sama aku?” Tria mengetes Nuna untuk mendapatkan jawaban pasti.

“Iyaa, aku yakin. Kalaupun kita berdua coba untuk saling cinta belum ada jaminannya juga apakah akan berhasil” Tukas Nuna.

“Oke deh, deal ya” kesepakatan terjalin. Sembari mencari tahu kebenarannya mereka tetap tidak banyak bicara meskipun itu hal penting kecuali hanya mengenai latar belakang perjodohan mereka saja.

Nuna sesekali menelpon sang Papa, memastikan Papanya tetap dalam keadaan sehat sebab telah jauh darinya. Memastikan sang Papa agar tetap rutin menjalani kehidupan yang sehat mengingat pesan Mama sebelum meninggalkan dunia untuk selamanya. Sesekali ia juga menggali-gali informasi tentang hubungannya dengan sang Mama mertua yang katanya adalah sahabat dekat.

“Papa sehat? Jangan lupa untuk terus olahraga ya biar tetap fit dan bugar” Nuna membuka cerita.

“Oh iya dong, mana mungkin papa lupa nak.. papa harus tetap sehat sampai tiba waktunya punya cucu biar masih bisa ajak cucu papa main sama-sama” Tegas Papa Tio. Sontak membuat Nuna terkejut sembari menggumam dalam hati “ih si papa, gimana mau ngasi cucu orang kita juga mau mengakhiri drama keluarga ini juga.”

“Oh ya pa, siapa dulu temen dekat Papa pas kuliah selain Mama Emi siapa sih itu namanya lupa Nuna deh” Nuna merayu sambil berkelak dari rencana papanya untuk punya cucu.

“Yang siapa?” Papanya seakan lupa-lupa ingat. “eemmm,, Om hendra mungkin ya maksud kamu? Yang kemarin datang ke nikahan kamu kan?” Papa Tio memastikan.

“Iya.. Iya.. boleh ga Nuna minta nomor kontaknya Pa? Eee ini, kemarin ketemu sama anaknya itu loh, yang siapa itu ya pa?” Nuna berkilah, karena sejujurnya dia tidak pernah tahu dan tidak pernah bertemu dengan anak Om hendra. “Nuna, mau ada yang dibicarain soal pekerjaan kan kita satu jurusan Cuma kemarin pas ketemu belum sempat ngobrol lama karena ditempat umum juga Pa” tegas Nuna meyakinkan lagi.

“Emang ketemu dimana kamu? Seingat papa dia udah pindah keluar kota ikut Mamanya Naa..” Papa mencoba membuktikan kalau Nuna salah.

“Ehh iyaa Cuma kemarin kita itu... (menghela napas sambil mencari alasan lain) ee lagi honeymoon gitu loh istilah anak muda sekarang Paa, jadi kita perginya pilih ke Bandung. Iya kan? Di Bandung kan mereka tinggalnya?" Tanya Nuna lagi sambil menebak.

"Iya sih, oke deh nanti deh ya luang-luang waktu Papa kirimin kontak serta alamat lengkapnya" jawab Papa Tio.

"Baik Pa, Nuna tungguin loh soalnya ini ada pekerjaan yang harus Nuna diskusikan dengan anaknya Om Hendra itu" Nuna berusaha meyakinkan terus.

Bersambung ke Part 2 .......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun