Miris, dikatakan bahwa kekayaan 1% kaum kaya setara dengan gabungan kekayaan 99% penduduk dunia. Setidaknya begitulah kenyataan yang terjadi bila kita melihat realitanya sekarang ini. Ditambah kenyataan lain seperti yang disebutkan Pakar hukum Tata Negara Prof. yusril Ihza Mahendra yang mengungkapkan bahwa 74% tanah di Indonesia dikuasai oleh segelintir orang non pribumi yang jumlahnya hanya 0,2% dari total penduduk Indonesia. Sebagian besar orang geram dengan kenyataan tersebut. Ketimpangan antara si kaya dan si miskin amat nyata terjadi di depan mata. Namun, apakah kita sempat berpikir, bagaimana hal itu terjadi? Dan bagaimana bila kiranya kita sendiri termasuk pihak yang turut memberi andil sehingga hal itu terjadi?
Mari kita ambil contoh Summarecon, sebuah perusahaan properti yang disegani di indonesia, mengantarkan pemiliknya ke dalam daftar orang terkaya di Indonesia, tentu termasuk ke dalam 1% orang kaya di dunia karena dia memiliki kekayaan lebih dari 11 milyar rupiah. Lalu, ada apa dengan Summarecon? Atau pengembang lainnya? Tidak ada apa-sebenarnya, mereka hanya melakukan jual beli seperti biasa, jual beli rumah. Menjadi Istimewa karena dia menjual "rumah" yang jarang sekali orang biasa bisa membelinya secara tunai. Kemudian menjadi biasa dan mudah karena adanya perantara lembaga keuangan yang mampu memfasilitasi orang dengan penghasilan biasa untuk memiliki rumah secara kredit.
Secara kasat mata, tidak ada yang salah dengan paragraf diatas, namun bila kita dalami lebih lanjut. Peran kita untuk membeli produk perumahan secara kredit kepada developer secara tidak sadar telah membuat jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin semakin lebar. Si developer, semakin kaya secara eksponensial karena dia mendapatkan dana segar langsung dari lembaga keuangan sebagai sebab akad jual beli kredit dengan konsumen. Sementara, si konsumen terjebak dalam kewajiban memenuhi cicilannya.
Si kaya kemudian semakin melakukan ekspansi kekayaannya dengan membeli petak-petak tanah lain di berbagai daerah. Melakukan pola bisnis yang sama seperti yang sebelumnya dilakukan dengan bantuan lembaga keuangan tentunya. Tak ayal kekayaannya semakin menggurita. Kita hanya bisa berteriak sebagai penonton dan memprotes "KAPITALISME" tanpa kita sadari bahwa kita sendiri tengah ikut serta menumbuhkembangkan seorang monster KAPITALIS, dengan terlibat pembelian produk mereka dengan bantuan kredit di lembaga keuangan.
Para anak muda entry level tak mau kalah dengan para kapitalis yang telah sukses terlebih dulu. Dengan semangat perjuangan kebangsaan, mereka kemudian meniru pola bisnis tersebut dengan membangun area real estate, atau  property-property kecil dan menjualnya dengan iming-iming bantuan kemudahan kredit lembaga keuangan. Niat mereka jelas, ingin menyisihkan dominasi para monster kapitalis sebelumnya yang telah membeli lahan "pribumi".
Namun kemudian, tanpa mereka sadari, mereka pun telah menjelma menjadi kapitalis cilik yang lama-lama akan membesar. Bukankah pendiri Summarecon dulunya juga bermula dengan bisnis properti dalam skala kecil? Apakah dengan mengikuti pola bisnis para gurita kapitalis akan kemudian mengurangi ketimpangan si kaya dan si miskin? Mengurangi kemiskinan yang bersangkutan iya, tapi mengurangi ketimpangan tidak. Ketimpangan akan tetap ada, hanya orangnya yang berbeda. Ketimpangan akan tetap ada, persentasenya tetap sama, hanya nominalnya yang berbeda.
Bahkan, tanpa disadari, kemudahan mendapatkan rumah melalui skema kredit tengah membuat harga hunian semakin tidak terjangkau oleh rakyat secara umum. Dengan bantuan kredit perbankan, menjual rumah menjadi seperti menjual barang retail yang laku dimana-mana. Tentu, banyaknya permintaan membuat harga semakin melambung tinggi. Dengan banyaknya pengembang,  yang seharusnya menjadikan harga  property semakin terjangkau, justru tidak terjadi. Masing-masing pengembang semakin menaikkan harga agar kawasan properti miliknya terkesan "prospektif", menguntungkan untuk investasi, harga naik esok, dan berbagai kesan dengan bahasa marketing lainnya. Harga properti adalah sebuah ironi dalam hukum ekonomi, dan orang-orang secara umum mengikutinya begitu saja.
Semua pihak seolah tutup mata dengan fenomena ini. Pengembang diam, tentu saja, karena disitulah mereka mendapatkan keuntungan yang besar. Pemerintah diam, entah eksekutif atau legislatif, sunyi. Tentu diam, karena pemerintah diuntungkan dengan meningkatnya penerimaan pajak bumi bangunan. Penataan kota cenderung diabaikan, kerusakan alam diabaikan, bahkan bencana alam karena merebaknya bangunan di daerah resapan air pun seolah tidak mau ambil pusing, menyalahkan fenomena alam ekstrim, atau sikap klasik, menyalahkan pemerintah kota sebelah.
Semua berjalan seperti tidak ada dosa terhadap alam dan kehidupan sosial, demi hitung-hitungan pendapatan daerah, atau entah ada permainan licik di dalamnya. Konsumen pun diam, karena mereka tidak tahu menahu efek jangka panjangnya. Satu-satunya pihak yang berteriak adalah para rakyat kelas menengah ke bawah, semakin jauh dari nilai kemapanan seperti yang dimiliki orang-orang di "perumahan". Namun, apalah artinya teriakan mereka. Suara mereka tak berarti kecuali pada masa kampanye.
Akhirnya, jika semua pihak diam dan tidak bertindak. Ada satu cara efektif untuk mengakhiri ketimpangan ekonomi ini. Caranya ada pada diri kita masing-masing. Jauhi gaya hidup dengan berhutang, dalam hal apapun. Bergaya hidup dengan hutang, hanya akan menguntungkan kaum kapitalis secara umum, entah developer, produsen benda mewah, atau rekan-rekannya. Selain juga menguntungkan lembaga keuangan karena pinjaman berbunga yang mereka tetapkan. Kita hanya diuntungkan dengan terpenuhinya gaya hidup atau benda mewah yang kita inginkan dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
Percayalah, tanpa bantuan lembaga keuangan pun, kita bisa memiliki rumah, orang-orang terdahulu pun bisa miliki rumah tanpa bantuan lembaga keuangan, mengapa kita tidak? Bahkan bangunan kita terdahulu sangat ramah alam, berkonsep rumah panggung yang nyaman tanpa mengurangi penyerapan tanah. Dan percayalah, tanpa bantuan lembaga keuangan-pun, kita bisa memiliki kendaraan.