Mohon tunggu...
Aenun Najib
Aenun Najib Mohon Tunggu... Guru - Guru

Menulis dan membaca.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nama Saya Amat

6 Desember 2014   16:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:55 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenalkan, nama saya Amat, seorang remaja miskin dari sebuah daerah yang jauh dari keramaian kota. Sebenarnya saya masih duduk di kelas 6 SD, tapi sudah 3 bulan tidak masuk sekolah. Ah, buat apa sekolah, toh sekolah tidak bisa menghasilkan uang. Setidaknya itulah yang selalu didengung-dengungkan ayah bila saya mengungkapkan keinginan untuk datang lagi ke sekolah.

Ayahku bernama Hasan, terkadang dia bilang namanya Acang, entahlah, rasanya tidaklah penting arti sebuah nama bagi seseorang yang tidak memiliki akte lahir seumur hidupnya. Dia seorang miskin, otomatis saya terbawa-bawa. Dia seorang buruh tani, saya pun kadang-kadang ikut juga. Pekerjaan ini sangat. membosankan; ikut ayah pergi ke ladang, bersusah payah mungkin sampai seharian, lalu berpuas diri untuk penghasilan dua puluh lima ribu. Biar begitu, terkadang ada enaknya juga karena dua puluh lima ribu tersebut bersih tanpa dipotong uang makan. Maklum, kami orang kebun, kalau perbekalan habis tinggal petik kelapa atau mencabut sebatang pohon singkong, cuma sebatang ini, toh yang punya gak bakalan tahu.

Dari pekerjaan saya seharusnya kalian sudah tahu bahwa keluarga saya bukan orang berpendidikan. Tidak perlulah dirunut ke atas untuk mencari kemungkinan apakah saya masih merupakan keturunan seorang Bangsawan Jawa yang berdarah biru. Cukuplah lihat nama, lalu cium bau keringat saya, pasti kalian akan mengira-ngira apakah saya salah satu produk gagal cetakan penguasa. Amat. Ya, Amat. Dari mana nama Amat? Amat sebenarnya bukan nama yang diinginkan orang tua saya sejak semula. Awalnya mereka menginginkan nama saya: Ahmad. Sayangnya, pelafalan A-h-m-a-d harus disebutkan dan ditulis oleh anak tertua bapak dari istri pertama yang cuma tamatan SD kelas 2, waktu mendaftarkan saya masuk sekolah saat delapan tahun usia saya. Jadilah, A-m-a-t. Nama saya meleset jauh dari yang diharapkan, jadi tidak heran cita-cita bapak dalam nama saya juga tidak menjadi kenyataan.

Ibu? Ibu sudah lama mati. Sebelum mati, dia dulunya bekerja sebagai pelayan di sebuah warung makan dekat terminal di kota. Konon penghasilannya lumayan. Dengar-dengar, di kota dia banyak yang suka. Bisa jadi karena ibu memang terkenal bahenol. Namun, cerita sukses tinggallah sekadar cerita, akhirnya ibu dipentung gagang pacul oleh kakek karena pulang-pulang bunting tiga bulan padahal enam bulan sebelumnya dia tak ada kabar, buah dari skandalnya dengan seorang sopir tembak bis antar kota. Ibu mati. Kakek dipenjara, kemudian mati pula ia di sana.

Dunia memang tidak adil. Siapa berani bilang dunia adil? Dasar hipokrit! Orang lain bisa bilang begitu karena tidak ada dalam posisi seperti saya. Setiap malam saya susah tidur. Bukan, bukan karena dinginnya udara malam yang masuk lewat sela-sela bilik rumah yang rombeng atau pun karena bau kotoran dari kandang kambing milik orang, yang dititipkan pada ayah untuk dipelihara. Tetapi karena di dalam tidur saya selalu tidak punya mimpi. Kalian mungkin enak bisa tidur dalam mimpi dan melamun dalam harapan. Berpikir di kamar tidur tentang akan jadi apa kelak kalian dalam lima, sepuluh, atau dua puluh tahun ke depan. Jenis mobil atau gadget apa yang akan kalian punyai setahun mendatang. Bahkan, akan pergi ke butik mana demi memesan pakaian untuk ke kondangan akhir minggu ini. Kalau saya? cuma bisa meringkuk di atas bale-bale kayu, tak ada yang bisa dipikirkan apa yang mungkin terjadi lima atau sepuluh tahun ke depan. Paling-paling semuanya tetap akan sama seperti hari ini, belum itu terpotong ganasnya inflasi akibat kenaikan harga BBM yang setiap berganti pemerintahan selalu saja terjadi. Tahu tidak, keadaan seperti ini menyakitkan sekali. Tidak ada impian, tanpa harapan. Saya dipaksa keadaan untuk berlaku seperti binatang yang cuma "berpikir dan merencanakan" : Makan apa hari ini? tanpa sama sekali memiliki sebuah kesempatan merencanakan perubahan di masa depan. Padahal, guru SD saya pernah bilang, bahwa perbedaan paling mencolok antara binatang dan manusia bukan pada nuraninya, melainkan pada kemampuan merancang rencana masa depan. Sialnya, kesempatan yang saya miliki ada pada posisi yang sejajar dengan binatang-binatang itu. Apa yang merupakan rekreasi saya malam ini paling cuma mendengar lagu dangdut dari radio butut. Peduli amat dengan hari esok.

Bukan cuma derita di tengah malam. Sakit hati di siang bolong pun tersedia. Kemarin saya hampir memukul si Kardun anak orang kaya di kampung tetangga, karena sengaja menyenggol saya. Emosi pun meletup-letup bukan karena luka memar di kaki, tetapi karena suara dari knalpot motor barunya angkuh meraung-raung dekat telinga saya. Juga teman wanitanya yang cantik bergelayut manja di belakang punggungnya. Semenjak kecil saya diajarkan bahwa mereka dengan klasifikasi seperti itu adalah musuh. Bukan sekali itu saya berurusan dengan emosi yang tak stabil, dulu pernah juga saya punya andil dalam mengkeroyok orang. Ingat suatu ketika saat di kebun, seseorang yang kurang beres ingatannya membacok kawan ayah sesama penggarap ladang. Dia lalu dikeroyok. Sigap, saya ambil pacul, saya getok kepalanya, lalu ayah sigap pula mencekik lehernya. Mati. Habis perkara. Kami bebas dari penjara karena polisi sampai sekarang tidak pernah mengusutnya, mungkin karena gak ada duitnya. Lagipula korban orang gila, yang sudah dibuang keluarganya.

Faktanya memang seperti itu, terkadang  ada beberapa dari orang seperti saya adalah jahat dan penuh emosi terhadap orang-orang kaya-raya dan sentimen terhadap status sosial. Jangan harap bisa bebas begitu saja ketika kalian berbuat masalah dengan saya. Anehnya, para orang kaya di televisi tidak melihat seperti itu. Terlihat dari sinetron-sinetron. Masakan malah ada orang dari jenis seperti saya ini (baca: melarat) yang menjadi pahlawan dan kaum yang super baik. Dalam banyak sinetron kaum saya dilukiskan sangat tabah dan sabar menghadapi kejahatan orang-orang kaya, seakan semua orang kaya adalah amoral dan kami adalah malaikat. Sialnya lagi, biasanya cerita berakhir bahagia, orang miskin akhirnya menjadi berkecukupan lahir maupun batin dengan bermodalkan ketabahan dan do'a.

Cukuplah saya muak dengan sudut pandang seperti itu. Tidakkah kalian tega melihat orang seperti saya kenyang dengan pencekokkan imej? Atau malah kalian berharap kelas manusia macam saya ini terus bertahan dalam kemiskinan namun tetap bermoral baik? Mustahil kawan. Sejak kecil saya sudah sering melihat lawakan macam ini. Mulai dari lurah, camat, hingga sekelas presiden  yang cuap-cuap tentang nasib sayah dalam kerangka yang mereka namakan "Kedaulatan Rakyat". Mereka bilang ini, mereka bilang itu, berbuat ini, berbuat itu, sabar, sabar, dan sabar. Apa yang terjadi? Justru yang kaya makin kaya, saya tambah melarat saja. Bukan cuma itu mimpi yang didagangkan kepada saya, terkadang juga jadi ajang rebutan para agamawan yang ingin memaksa saya makan makanan surgawi mereka tanpa mengenyangkan perut saya secara tuntas. Tak hanya tawaran untuk menjadi para militan mati syahid, para caleg oportunis pun mulai meleleh-leleh liurnya melihat kekosongan harapan dan kemiskinan saya ini. Sasaran empuk katanya. Pendek sekali pikiran mereka. Apa mereka pikir dengan menjejalkan seluruh doktrin mereka ke dalam kepala, saya akan hidup bahagia? Apa mereka pikir setelah saya berdoa sampai berpeluh darah, akan ada jatuh uang dan pekerjaan dari langit ke tujuh? Bodoh, mandor bangunan saja tak mau merekrut saya, apalagi surga.

Sudahlah, sudah. Tidak usah berbicara mengenai harapan, sebab saya memakai logika perut. Selama perut kosong dalam ketidakpastian, saya akan terus berperilaku seperti ini: kemapanan adalah musuh, selama kemapanan tidak mungkin menjadi milik saya. Berhentilah memberikan logika pikir kalian, entah itu ekonomi kerakyatan, kesejahteraan masyarakat, presiden pro wong cilik dan teori tetek-bengek lainnya, selama kalian tidak mampu mengenyangkan perut saya. Diam! dan jangan turun ke kampung saya dari mobil mewah kalian, demi sekadar mengajarkan bagaimana untuk hidup prihatin. Diam dan cari cara terbaik untuk memberikan saya uang, itulah surga saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun