Mohon tunggu...
Nurhajati Husen
Nurhajati Husen Mohon Tunggu... -

Apoteker !

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Makan 3 Kali Sehari, Kebutuhan atau Budaya?

30 Januari 2015   09:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:07 2088
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_393977" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Shutterstock)"][/caption]

Makan tiga kali sehari, merupakan hal umum yang terjadi pada masyarakat di berbagai belahan dunia. Hal ini sudah menjadi kebutuhan yang membudaya. Tetapi apakah frekuensi makan seperi ini sesuai dengan kebutuhan manusia, tidak banyak dari kita yang paham tentang hal ini. Jumlah kasus obesitas dan diabetes mellitus yang tidak menunjukkan perbaikan signifikan setelah kemajuan ilmu pengobatan yang begitu jor-joran, seharusnya memunculkan pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya penyakit ini berkembang, dan definisi bahwa diabetes merupakan penyakit akibat kelainan metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein mengindikasikan bahwa penyakit ini harusnya memiliki kaitan dengan makanan, dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya.

Diabetes mellitus, terutama yang tipe 2 (tidak tergantung insulin) merupakan jenis diabetes yang awalnya disebabkan karena resistensi insulin, yaitu insulin ada tetapi tidak mampu berfungsi sebagaimana mestinya. Salah satu sebabnya adalah obesitas terutama di daerah perut. Lemak diare perut merupakan lemak yang gampang mengalami lipolisis menjadi lemak bebas, yang keberadaannya bisa mempengaruhi penggunaan glukosa dalam menghasilkan energi. Akibatnya jika asam lemak bebas tinggi maka gula darah tidak terpakai karena penggunaannya membutuhkan insulin sedangkan asam lemak bebas tidak. Penyebab terjadinya penumpukan lemak di perut adalah konsumsi makanan dalam jumlah berlebih dari yang dibutuhkan. Artinya jumlah makanan dan frekuensi makan turut andil dalam berkembangnya diabetes. Dengan demikian dalam upaya untuk pencegahan dan pengendalian penyakit terutama diabetes, penting untuk memahami kebutuhan energi yang mempengaruhi perilaku makan. Berapa banyak sebenarnya yang diperlukan dan berapa sering kita harus makan untuk tetap menjaga kebutuhan energi tetapi tidak menyebabkan kelebihan kalori yang memicu obesitas dan selanjutnya Diabetes Melllitus.

Dahulu, kebanyakan orang makan hanya sekali sehari. Orang Yunani  dan Inggris, terutama orang Yunani meyakini bahwa makan lebih dari sekali dalam sehari adalah tanda kerakusan dan tidak sehat. Ketiadaan pencahayaan malam membuat makanan hanya bisa disediakan dan dimakan sebelum gelap.

Tradisi makan mulai berubah terutama pasca Revolusi Industri di mana para pekerja perlu mengisi energi mereka agar bisa bekerja hingga istirahat siang. Penemuan teh dan kopi juga turut melahirkan budaya sarapan. Kehidupan monarki Inggris juga menyebabkan orang Inggris masa itu tak bisa makan malam maka, mereka pun baru bisa makan di pagi hari. Inilah alasan dari penamaan breakfast yang berasal dari break the night fast. Makan siang sendiri muncul sebagai akibat dari Revolusi Industri. Bekerja seharian menghabiskan tenaga dan menyebabkan lapar di siang hari, lalu lahirlah budaya makan siang. Sedangkan makan malam adalah budaya borjuis. Pasca Revolusi Industri di mana siang hari digunakan untuk bekerja, maka malam pun dijadikan waktu berpesta untuk menikmati kebersamaan dengan kerabat dan makanan menjadi bagian di dalamnya.

Lalu apakah tubuh memang butuh makan tiga kali sehari? Tubuh manusia dilengkapi dengan leptin yang jumlahnya berbanding lurus dengan jumlah lemak dalam tubuh. Senyawa ini bermanfaat sebagai indikator cadangan bahan bakar energi tubuh, idealnya orang gemuk nafsu makannya berkurang. Dan memang begitulah pada awal-awal kegemukan, tetapi sistem ini gagal ketika rasa kenyang diabaikan dan seseorang terus makan hingga terjadi obesitas. Leptin, memiliki siklus diurnal, yaitu pagi dan sore hari. Respon dari pelepasannya adalah rangsangan rasa lapar. Artinya, idealnya orang makan dua kali dalam sehari. Tetapi mekanisme Leptin tidak jadi satu-satunya perangsang lapar. Rendahnya gula darah dan kembang kempis lambung juga merupakan mekanisme timbulnya rasa lapar.

Tidak penting seseorang makan satu, dua, atau tiga kali sehari, terapi yang penting adalah mengonsumsi dalam jumlah yang dibutuhkan dan tubuh menyediakan mekanisme rangsang lapar kenyang. Dan sarapan amat penting untuk menjaga asupan makanan tidak berlebihan. Sarapan akan memberikan cadangan energi yang cukup, sehingga siang hari kita tidak makan berlebihan dan tidak memundurkan jam makan malam. Karena makan siang kebanyakan menyebabkan perut terlalu penuh untuk lapar di sore hari dan baru terasa di malam hari. Padahal makan di malam hari akan menyebabkan gula darah tinggi padahal ini mengganggu metabolisme lemak yang berlangsung di malam hari. Akibatnya pankreas bekerja berlebihan untuk memproduksi dan melepaskan insulin mengatasi keberlimpahan gula darah yang penggunaannya terganggu oleh banyaknya asam lemak. Jika kondisi ini berlangsung terus-menerus, maka akan terjadi resistensi insulin, yang memaksa pankreas bekerja lebih keras lagi (resistensi insulin diatasi dengan menambah jumlah insulin) untuk menghasilkan insulin sehingga ia rusak karena overwork dan tercetuslah diabetes mellitus.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun