Tak dapat dipungkiri dalam menikmati menu perjalanan cinta, tentu, sesekali terdengar bunyi denting karena beradunya sendok dan piring. Tapi Pak Tjip dan Bu Lina, sampai hari ini, dapat menjaga sendok tidak patah, piring tidak pecah.
Baca saja tulisan-tulisan mereka di Blog Kompasiana. Dengan bahasa-bahasa sederhana, takada kesan jemawa. Tapi tersirat nasihat-nasihat dalam mengarungi kehidupan. Tulisan-tulisan hampir tiap hari mengalir.
Pak Tjip sendiri pernah pada bulan Agustus 2020 bertekad menggenapi jumlah tulisannya sampai 5000 artikel, tepat pada tanggal 17 Agustus. Dan itu tercapai.
Sebagai rasa hormat saya mengapresiasinya dengan membuat puisi di Kompasiana.
Lelaki dari Pulau KaramÂ
Kepada Tjiptadinata EffendiÂ
Mari membaca cahaya, yang berpendar di lima ribu perjalanan, tersusun pada untaian kata beribu-ribu, tentang lelaki yang ari-arinya tertanam di Pulau Karam, kampung kecil pinggiran kota PadangÂ
Cerita-cerita bagai mata air, setiap hari sejuk mengalir. Berbagi pengalaman hidup, bagaimana menegakkan mimpi saat jalan oleng, dan memercikkan api, ketika cahaya mulai redupÂ
Menunjukkan cara bersiasat meniti buih, berperahu di sela karang, hingga hilang rasa perih, dan mengantarkan sang buah hati menggapai ilmu di laut seberang
Pulau Karam, saksikan ituÂ
Dia seorang ayah, seorang guru, seorang sahabat. Kepada siapa saja menepuk dan menyapa hangat, seolah-olah kita telah mengenalnya bertahun lama, begitu dekatÂ
Seiring-sejalan, seia-sekata, tertawa dan sedih  bersama, dengan sang istri yang mendampingi dengan setia
Bapak Tjiptadinata Effendi, salam takzim untukmuÂ
***
Cilegon, Agustus 2020
***
Saya mengenal mereka juga di Kompasiana. Selalu memberi vote dan berkomentar secara hangat. Setelah tahu saya juga berasal dari Sumatera Barat, sesekali Pak Tjip dan Bu Lina berkomentar menggunakan bahasa Minang. Ini membuat jarak kami terasa semakin dekat.
Yang takkan terlupakan adalah ketika saya akan menikahkan anak perempuan saya. Seminggu sebelum acara Bu Lina menelpon langsung dari Australia (tempat tinggalnya kini). Mengucapkan selamat. Saya terkejut dan terharu, tak menyangka. Saya juga sempat berbicara dengan Pak Tjip. Tapi tak bisa lama-lama karena saat itu Pak Tjip menyetir kendaraan. Astaga, seusia itu Pak Tjip masih sehat mengendarai kendaraan.
Juga yang membuat saya makin terharu, Pak Tjip dan Bu Lina mengirim karangan bunga. Acara pernikahan anak saya yang cuma ala "tenda biru", di jalan sempit depan rumah, dapat kiriman karangan bunga. Tetangga-tetangga saya terheran-heran dan bertanya-tanya. Saya yang sehari-hari kehidupan ekonominya "nggak jelas" (orang Betawi bilang, keblangsak), kok ada karangan bunga "nyasar". Dari Australia, lagi. Ini menjadi sesuatu yang tak terlupakan.
Tahun depan pasangan indah ini, Tjiptadinata Effendi - Roselina Tjiptadinata, akan merayakan pernikahan berlian mereka.
Selamat, Pak Tjip dan Bu Lina. Tetap selalu menginspirasi.